• Sunday, 12 January 2020
  • Adica Wirawan
  • 0

Banjir yang melanda sejumlah wilayah di Indonesia pada awal tahun 2020 memang mengejutkan semua pihak. Tak hanya mengakibatkan kerugian materi, bencana yang terjadi dalam waktu singkat ini juga sampai merenggut korban jiwa.

Sampai tulisan ini dibuat, tercatat sebanyak 60 orang meninggal dunia akibat terkena banjir. Jumlah itu mungkin saja akan bertambah mengingat musim hujan belum berakhir, sehingga potensi banjir yang lebih besar masih bisa terjadi!

Seperti yang ramai diberitakan di pelbagai media, bencana alam yang satu ini terbilang cukup dahsyat. Hanya karena diguyur hujan sehari-semalam, volume air yang mengalir di permukaan langsung meningkat dan imbasnya sudah bisa ditebak: banjir terjadi di mana-mana!

Sejumlah orang kemudian mengungkapkan reaksi yang berbeda-beda atas kejadian ini. Ada yang berempati kepada para korban dan kemudian bergerak menggalang donasi.

Ada yang seketika menjadi sadar untuk mulai menjaga kebersihan lingkungan setelah tempat tinggalnya “dikunjungi” air bah. Ada pula yang terus menyalahkan pihak tertentu atas terjadinya bencana tersebut.

Apa pun reaksi yang muncul, bencana ini sejatinya bisa terjadi karena adanya suatu sebab, dan tentu sebab tersebut bisa lebih dari satu jumlahnya.

Dalam lingkup yang sangat luas, sepertinya mustahil sebuah bencana disebabkan oleh sebuah faktor tunggal. Oleh karena itu, kita seyogianya bersikap bijak dalam menyikapi bencana yang terjadi.

Oleh sebab itu, janganlah terlalu cepat “menghakimi” suatu pihak. Belum tentu pihak itu menjadi satu-satunya yang bertanggung jawab atas bencana tersebut.

Bisa saja, ada faktor lain yang memberi andil atas musibah yang terjadi, dan hal inilah yang mesti diungkap agar kita bisa menemukan solusi dalam mengantisipasi bencana pada masa depan.

Kisah Vidudabha

Dalam perspektif Buddhis, selain faktor kelalaian manusia dan lingkungan, bencana yang terjadi mungkin saja disebabkan oleh Hukum Kamma.

Dalam Dhammapada, terdapat sebuah kisah Raja Vidudabha yang terkena banjir sewaktu ia dan pasukannya berkemah di tepi Sungai Aciravati.

Perkemahan itu didirikan bukan dalam rangka piknik, melainkan untuk melepas penat. Maklum, pada siang harinya, Raja Vidudabha dan pasukannya habis menyerbu Suku Sakya. Tanpa ampun raja yang belum lama naik takhta ini membantai mayoritas anggota suku tersebut dan menghancurkan rumah-rumah yang masih tersisa.

Pembantaian itu sejatinya terjadi bukan tanpa sebab. Kalau kita menarik benang waktu, peristiwa itu bermula ketika Raja Pasenadi, Raja Kosala, berniat memperistri seorang gadis dari Suku Sakya.

Pilihan ini diambil karena Raja bermaksud menyenangkan hati Buddha yang berasal dari suku tersebut.

Sewaktu mendapat permintaan dari Raja Kosala, Suku Sakya menjadi bingung. Sebab, mereka umumnya melakukan pernikahan secara inses. Orang Sakya hanya boleh dinikahkan dengan orang Sakya juga.

Hal ini dilakukan untuk menjaga kemurnian darah Suku Sakya. Jadi, kalau ada orang yang ingin meminang gadis dari Suku Sakya, mereka biasanya akan menolak.

Namun, Suku Sakya takut menolak permintaan Raja Pasenadi karena Kerajaan Kapilavastu berada di dalam kekuasaan Kerajaan Kosala. Kalau keinginannya ditolak, dikhawatirkan Raja Pasenadi akan murka dan menyerang Suku Sakya.

Setelah para sesepuh berembuk, ditemukanlah sebuah solusi. Untuk tetap melestarikan kemurnian ras tanpa harus menolak permintaan raja, mereka kemudian “menipu” Raja Pasenadi dengan menyerahkan seorang budak perempuan bernama Vasabhakhattiya sebagai calon istri raja.

Di depan Raja Pasenadi, Suku Sakya menyebut Vasabhakhattiya sebagai bagian dari mereka dan tentu saja, Raja merasa senang karena keinginannya terwujud.

Dari pernikahan antara Raja Pasenadi dan Vasabhakhattiya, lahirlah seorang putra yang diberi nama Vidudabha. Pada umum 16 tahun, Vidudabha meminta izin kepada orang tuanya untuk mengunjungi kakek-neneknya di Kapilavastu.

Kunjungan inilah yang kemudian memicu “bencana” bagi Suku Sakya pada kemudian hari karena dari situlah Vidudabha mengetahui bahwa dirinya hanyalah anak dari seorang budak.

Suku Sakya dianggap telah mempermainkan orang tuanya pada masa lalu. Vidudabha kemudian memendam dendam dan bersumpah akan membantai semua Suku Sakya suatu saat nanti.

Bertahun-tahun berikutnya, setelah menjabat menjadi Raja, Vidudabha melaksanakan sumpahnya. Bersama pasukannya, ia datang menyerbu kerajaan Suku Sakya. Namun, serangan itu bisa diredam, setelah Buddha menghalangi langkahnya.

Pada saat itu, Buddha duduk bernaung di bawah sebuah pohon beringin, dan Vidudabha meminta beliau untuk pindah karena ia dan pasukannya hendak lewat.

Dengan kalem Buddha berkata, “Serindang-rindangnya naungan sebuah pohon, masih lebih baik bernaung di dalam keluarga sendiri.”

Vidudabha memahami kata-kata Buddha dan kemudian batal menggempur Suku Sakya.

Kejadian ini terus terjadi sebanyak tiga kali.

Namun, pada kesempatan keempat, Buddha tidak bisa lagi menyelamatkan keluarganya dari kehancuran karena kamma buruk mereka pada masa lampau sedang berbuah. Kamma buruk ini tercipta pada kehidupan lampau Suku Sakya. Dalam sebuah kehidupan, Suku Sakya diketahui pernah terlahir sebagai sekolompok nelayan.

Untuk memperoleh ikan dengan mudah, mereka menaburkan racun ke dalam sungai. Ada begitu banyak ikan yang mati akibat racun tersebut. Salah satunya ialah bakal Vidudabha. Sebelum mati, ikan yang kelak terlahir menjadi Vidudabha ini memendam dendam dan bersumpah akan membalas perbuatan para nelayan tersebut.

Kebencian yang tertanam sedemikian dalam tersebut akhirnya membuahkan pembunuhan massal pada kehidupan berikutnya.

Setelah menghancurkan Suku Sakya, pasukan Raja Vidudabha kemudian bermalam di tepi sungai aciravati. Akibat kelelahan setelah bertempur, mereka langsung terlelap. Mereka tidak sadar bahwa itu adalah malam terakhir untuk mereka. Sebab, tidak lama kemudian, banjir tiba-tiba datang menenggelamkan mereka semua.

Lagi-lagi, dalam peristiwa itu, kamma memainkan perannya.

Mawas diri

Biarpun telah mengubah momen pergantian tahun yang seharusnya membawa berkah menjadi penuh musibah, bukan berarti tidak ada hikmah yang bisa dipetik. Dengan adanya bencana tersebut, barangkali inilah momen bagi kita untuk mulai berbenah.

Kita jadi belajar memperbaiki apa pun, lingkungan, sistem drainase, hingga perilaku kita sendiri.

Telat? Saya pikir tak ada kata telat untuk memperbaiki keadaan setelah bencana datang. Sebab, bencana adalah sebuah keniscayaan. Ia susah diprediksi, dan suatu saat pasti terjadi. Jadi, sebagus apa pun persiapan yang sudah dilakukan, belum tentu dampak kerusakan yang terjadi tidak akan parah. Dulu begitu, sekarang demikian, dan esok pun boleh jadi akan seperti itu.

Oleh sebab itu, saya pikir, bukan sikap yang bijak kalau kita menyalahkan orang lain atas terjadinya bencana tersebut. Janganlah “meng-kambinghitam-kan” lingkungan, pemerintah, atau bahkan kamma.

Walaupun kamma buruk tertentu mungkin sedang berbuah ketika banjir tiba, bukan berarti kamma adalah satu-satunya faktor yang menyebabkan musibah tersebut. Masih ada faktor-faktor lain yang bisa menjadi penyebabnya.

Agar dapat terus bertahan di tengah bencana yang terjadi, kita seyogianya bersikap mawas diri. Sikap ini menyadarkan kita atas kesalahan yang sudah diperbuat, sehingga kita mempunyai kesempatan untuk memperbaikinya sebelum semuanya terlambat.

Jangan seperti Raja Vidudabha, yang lupa mawas diri. Karena menganggap pembunuhan yang dilakukannya sudah tepat, ia dan pasukannya pun akhirnya tewas dengan cara yang tragis.

Salam.

Adica Wirawan

Founder of Gerairasa

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *