“Braaak ….!!!,” aku menutup pintu dengan keras. Aku sendiri terkaget dengan dentuman suara pintu, untung di rumah tidak ada siapa-siapa. Suamiku sedang pergi ke bengkel motor, sementara Marsha putriku sedang bermain ke rumah tetangga.
“Maaf Mei, minggu ini aku tidak ke vihara …” jawab Shania via WA. Itu yang membuatku jadi emosi. Sebenarnya aku tidak boleh emosi, hanya saja akhir-akhir ini aku sedang memiliki masalah.
Shania adalah teman curhat-ku. Sudah tiga minggu Shania dan Syena putrinya tidak ke vihara. Dengan kabar via WA tadi, tepat sebulan Shania tidak ke vihara. Akhir-akhir ini, Shania sekeluarga pergi menjenguk mamanya yang sakit di luar kota. Iya, sebenarnya aku tidak berhak marah.
Entah mengapa, akhir-akhir ini vihara semakin sepi. Anak-anak SMB juga semakin sedikit, entah apa yang salah.
* * *
Senin pagi setelah urusan rumah beres, aku sempatkan main ke rumah Shania. Kebetulan sekolah libur, jadi Marsha bisa bermain dengan Syena, aku bisa ngobrol dengan Shania.
Shania teman satu kompleks denganku, hanya berbeda blok. Rumah Shania di blok paling belakang, sedang aku di depan, dekat gerbang masuk kompleks. Dari ujung ke ujung, aku harus naik motor kalau ingin berkunjung ke rumah Shania.
* * *
“Mei, aku bingung harus mulai cerita dari mana,” Shania memulai pembicaraan. Wah … seharusnya aku yang mau curhat, eh keduluan Shania yanag curhat.
“Cerita saja, ada masalah apa? Eh iya, gimana kabar Mama?” tanyaku.
“Sekarang sudah mendingan, aku bukan mau cerita soal Mama,” kata Shania. “Hmmm …,” Shania berhenti sejenak. “Aku ingat Dhammadesana Bhante. Kata Bhante, agama mana pun mengajarkan kebaikan. Kita pindah dan jadi manusia yang lebih baik itu lebih bagus daripada di agama ini tapi perilaku kita buruk,” Shania berhenti lagi. Aku menganggukkan kepala tanda setuju.
Aku mulai menebak ke arah mana pembicaraannya. “Ah … ini tentu tentang Rima, adik Shania yang pacaran dengan pria beda keyakinan. Ini artinya Rima akan segera menikah dan pindah keyakinan,” pikirku.
“Oh … Rima akan segera menikah dan pindah keyakinan ya?” kataku santai tapi dengan penuh keyakinan.
“Oh … bukan!” bantah Shania. “Meilani tentu sudah tahu aku dan suami juga beda keyakinan,” kata Shania. Saat Shania menyebut nama lengkapku, itu artinya ia minta perhatian khusus dariku. Aku duduk lebih tegap, siap menerima kejutan apa yang akan diucapkannya. Sebenarnya aku bisa menerka ke mana arah pembicaraannya, tapi hatiku menyangkal.
“Ko Simon sudah coba mengalah dan ikut pujabakti di vihara. Tapi ia kecewa dengan sikap umat di vihara. Apalagi saat ia tidak ikut pujabakti, ia datang hanya untuk menjemputku dan Syena. Tak seorang pun yang menyapanya. Ia berdiri diam mematung, sementara ada beberapa umat hilir mudik di sekitarnya. Tidak ada yang menyapanya hingga aku dan Syena selesai pujabakti,” Shania diam sejenak.
“Mei ingat ‘kan saat aku sakit DBD? Dua minggu aku tidak ke vihara, tak seorang pun umat Buddha yang datang menjengukku kecuali kamu,” lanjut Shania.
Aku terduduk lemas, meski Shania belum menyelesaikan ceritanya. Ini artinya Shania akan ikut agama suaminya. Beberapa kisah serupa juga aku alami, seolah film yang diputar ulang secara cepat.
Cici-ku yang tinggal di kota lain pernah mengeluhkan hal sama. Ia dan teman-teman dari orangtua anak SMB menjadi panitia pembuatan parsel Waisak. “Kami dua kali kumpul di vihara. Pertama rapat menentukan barang apa yang akan jadi isi parsel, siapa yang bertugas membungkus parsel, siapa bagian pemasaran, dan pertemuan kedua mulai mengerjakan parsel.
Tahu nggak waktu pertemuan ketiga, rapat untuk evaluasi, menghitung laba penjualan, dan pembubaran panitia. Banyak dari kami tidak bisa hadir karena anak-anak sedang ujian. Ketua panitia menulis di group WA, tiba-tiba mengundang Sonny, arsitek yang baru lulus S2 dari universitas luar negeri untuk ikut rapat. Tahu nggak rapatnya di mana? Di restoran, tentu saja sambil makan-makan! Bukan hanya Sonny yang diundang tapi juga istri dan anaknya.
Apa urgensi-nya mengundang Sonny dan keluarganya? Panitia parsel bukan, ahli keuangan juga bukan. Sonny aktif di vihara dan anaknya aktif di SMB? Tidak, ia umat kapal selam. Mungkin karena ia orang kaya dan lulusan luar negeri,” curhat Cici-ku penuh emosi.
Lain lagi kisah sahabatku nun jauh di seberang pulau. “Waktu itu ada acara Kemah Dhamma untuk anak SMB. Entah mengapa tahun itu tidak ada pengumuman di group WA. Begitu aku WA japri ke Cici Pembina SMB, kapan Kemah Dhamma diadakan dan kapan pendaftaran dibuka? Tahu apa jawabnya?” cerita Diana, sahabatku.
“Aduh maaf Cici, peserta Kemah Dhamma sudah penuh.”
“Lho, kok bisa? ‘Kan belum pernah diumumkan kapan pelaksanaannya, di mana lokasinya, kapan pendaftaran dibuka?”
“Iya Cici. Belum diumumkan, tapi sudah banyak yang mendaftar. Yang mendaftar sudah melebihi kuota.”
“Siapa saja yang terdaftar sebagai peserta?”
Cici Pembina SMB mengirimkan daftar peserta.
“Astaga …,” aku menjerit dalam hati. “Ada beberapa nama yang sama sekali tidak aktif di SMB tapi tercatat sebagai peserta. Dari mana ia mendapat info pelaksanaan Kemah Dhamma ini? Mengapa bukan anak-anak SMB yang aktif yang seharusnya diprioritaskan?”
“Di lain kesempatan, anak-anak yang tidak rutin ikut SMB, begitu juga orangtuanya, jarang ikut pujabakti di vihara. Eh… pas ada acara outing anak-anak SMB, anak-anak ini, kedua orangtuanya, dan dua orang bibinya ikutan. Ini acara anak SMB, acara untuk anak-anak. Kalau pun bukan anak-anak, paling ortu anak SMB yang ikut. Sekali lagi, ini acara SMB, pesertanya dipungut biaya murah, untuk intern, bukan tour and travel sehingga siapa pun boleh ikutan. Kasihan anak lain yang ingin ikut tapi terlambat daftar dan tidak bisa ikut karena kuota terbatas. Aku tak tau ini keputusan Cici Pembina atau ada intervensi dari orang yang berkuasa,” begitu curhat Diana, sahabatku nun jauh di seberang pulau.
“Mei …, kok melamun sih?” suara Shania membuyarkan lamunanku.
“Oh maaf. Tadi kamu cerita sampai mana?” aku berusaha kembali ke pembicaraan kami.
“Aku sudah memutuskan untuk ikut keyakinan suamiku. Maaf ya …, mungkin ini mengecewakanmu. Tapi kuakui, memang sambutan umat di vihara jauh dibandingkan tempat ibadah tetangga. Aku beberapa kali ikut suami ke rumah ibadahnya, aku merasa dimanusiakan. Aku disapa, diajak ngobrol dengan wajah penuh senyum,” kata Shania dengan berkaca-kaca.
Aku hanya mengangguk lalu memeluk Shania. “Shania, kamu tetap sahabatku,” ucapku sambil menahan air mata yang akan menetes.
* * *
Catatan: Cerpen ini diangkat dari curhat seorang pembaca yang tak ingin disebutkan namanya. Penulis percaya, kisah seperti ini bukan hanya terjadi di vihara. Hal ini dapat terjadi di mana pun. Curhat ini merupakan sebagian dari masalah yang ada dan menjadi masukan bagi kita untuk introspeksi. Hal ini menjadi PR bagi kita semua.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara