“Sayang anak, indikatornya apa?” tanya Prajna Dewi, seorang praktisi pendidikan selama 25 tahun kepada audiens di acara How Big is Your Love: Understanding Your Children’s Character di STAB Sriwijaya, Tangerang (4/05), sebuah acara yang diinisiasi oleh Badan Koordinasi Pendidikan Buddhis Indonesia (BKPBI), Penerbit Karaniya, dan Sekolah Tinggi Negeri Agama Buddha Negeri Sriwijaya (STABN Sriwijaya) .
Orangtua adalah status istimewa yang disandang tanpa perlu melewati pendidikan atau pelatihan khusus. Alhasil, terkadang orangtua tidak siap mendukung perkembangan anak, malah menjadi bumerang bagi buah hatinya sendiri.
Prajna Dewi bercerita bahwa ada orangtua murid yang mengeluh bahwa anaknya sering marah meledak-ledak, atau sering berbohong, berbuat onar atau tidak akur dengan saudaranya. Setelah ditelusuri, ternyata orangtua itu sendiri punya andil. “Jangan-jangan orangtua sendiri yang memberi contoh,” katanya.
Berikut beberapa langkah untuk membantu optimalkan anak;
1. Kenali karakter anak
Jika kita tidak mengenali karakter anak, kita bisa salah langkah dalam memacu anak. Ada anak yang introvert, ada anak yang ekstrovert; mereka butuh pendekatan yang berbeda. Salah pendekatan bisa-bisa malah membuat anak down.
2. Berhenti membohongi diri
Orangtua yang tidak mau mengakui bahwa anaknya butuh bantuan tidak bisa membantu anaknya mencapai potensi penuh mereka. Anak malah tidak berkembang.
Ada seorang anak tunarungu yang disekolahkan di sekolah luar biasa sehingga mampu membaca gerak bibir. Dengan kemampuannya ini, anak itu akhirnya mampu mengikuti pelajaran dan berprestasi hingga lulus kuliah di universitas umum.
3. Apresiasi
Apresiasi pertama adalah apresiasi proses berarti menghargai proses kemajuan yang dilakukan oleh anak. Ada orangtua yang merespons dengan, “Kok cuma enam?” Padahal anak itu sudah berjuang maju dari nilai empat. Atau ketika anak sudah berusaha dari nilai delapan menjadi sepuluh, orangtua sudah tidak menghargai karena menganggap wajar.
Tidak membandingkan dengan saudaranya atau dengan temannya. Ada orangtua yang mengeluh bahwa dua anaknya tidak akur, setelah ditelusuri hal itu disebabkan karena orangtua selalu mengadu anak-anak mereka sendiri menjadi kompetitor.
Baca juga: Menjadi Orangtua Tidak Menjamin Memahami Karakter Anak, Benarkah?
Prajna Dewi berbagi, “Ada siswa datang ke saya dan mengatakan tidak mau ikut lomba lagi.” “Kenapa?” “Karena apa pun yang saya hasilkan, koko selalu lebih baik. Percuma [saya berusaha].” Inilah yang disebut learn helplessness atau rasa tidak berdaya yang dipelajari, yang sering tanpa sadar dilakukan orangtua.
Totalitas hadir dan menyimak anak saat sedang berkomunikasi dengan anak. Jika orangtua menjawab sekenanya tanpa perhatian, anak bisa mengetahui itu karena bahasa tubuhlah yang lebih menunjukkan makna daripada kata-kata semata.
4. Kualitas
Orangtua harus berkomunikasi dengan berkualitas dengan anak, dengan cara: menjelaskan, menyimak dan memberi kesempatan. Orangtua seringkali menjadi maha kuasa dengan kata ‘pokoknya.’ Orangtua memberikan perintah pada anak tanpa mau menjelaskan mengapa anak itu harus melakukan sesuatu.
Orangtua juga seringkali tidak menyimak apa yang dimaksud oleh anak sehingga kehilangan empati pada anak dan hanya melihat dari sudut pandang orangtua saja. Selain itu, orangtua sebaiknya memberikan kesempatan bagi anak untuk memilih dalam batasan tertentu. Misalnya ketika mau beli baju, anak diberi kesempatan untuk memilih sendiri; tapi diberi batasan misalnya jika kebutuhan adalah baju pesta, maka waktu itu hanya boleh memilih untuk baju pesta, bukan baju olahraga.
5. Konsistensi
Orangtua harus konsisten antara nasihat untuk anak dan perilakunya sendiri karena anak-anak belajar dari melihat perilaku orangtuanya. Ada orangtua yang mengeluhkan anaknya yang suka berbohong, apakah orangtuanya juga sering mengatakan kebohongan-kebohongan kecil sehingga anak belajar dari mengamati orangtuanya?
6. Izinkan anak berjuang
Terkadang orangtua begitu sayang pada anak sehingga tidak ingin melihat anak menghadapi kesulitan, padahal dengan mengatasi kesulitannya sendirilah anak berkembang. Orangtua bisa mendampingi mereka untuk menjaga mereka, tapi bukan untuk menggantikan usaha mereka.
Jika mau anak tertawa nanti, biarkan dia menangis sekarang. Jika dia hanya tertawa sekarang, dia akan menangis nanti.
Mariani Dewi
Bekerja sebagai dosen, penerjemah, dan copywriter. Pengurus di gurubuddhis.org. Mencoba belajar dan menerapkan Buddhadharma dalam kehidupan sehari-hari.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara