RUU Permusikan yang sudah masuk dalam daftar Prolegnas (Program Legislasi Nasional) Prioritas menuai pro dan kontra. Kontra paling santer terdengar dari musisi independen dan bawah tanah. RUU berasal dari usulan Komisi X DPR RI. Yang kemudian disusun oleh Badan Keahlian DPR .
Alih-alih ingin melindungi musisi, justru draft RUU ini menuai banyak kontroversi. Mulai dari referensi akademisnya yang tidak kredibel karena mengambil dari makalah anak SMA, sampai banyak pasal karet yang ada dalam draft tersebut. Seperti ada sebuah usaha penggiringan terhadap strukturalisasi hingga pemojokan terhadap ekistensi dari sebuah karya.
Lalu apa hubungannya RUU ini dengan lagu-lagu Buddhis?
Selama ini kebanyakan lagu-lagu Buddhis yang beredar diproduksi dari kalangan sendiri. Dengan kata lain rata-rata label rekaman atau penyedia distribusi juga masuk ke dalam label rekaman indie, bukan label rekaman besar seperti Sony BMG, Nagaswara, dll.
Sedang di dalam RUU Permusikan Pasal 10 ayat 2 berisikan soal pendistribusian dilakukan oleh label rekaman atau penyedia jasa distribusi untuk produk musik dalam bentuk fisik; atau penyedia konten untuk produk musik dalam bentuk digital. Dan di Pasal 12 pelaku yang melakukan distribusi wajib memiliki izin usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ini yang agak memberatkan label musik lagu-lagu rohani, yang pendistribusiannya tidak dilakukan secara besar dan banyak juga yang bersifat tidak komersil.
Jikapun ada yang menggunakan label besar. Hanya kalangan tertentu saja, yang mempunyai modal besar tentunya. Dan akan menguntungkan label-label besar saja serta mematikan yang kecil.
Selama ini lagu-lagu Buddhis lebih digunakan sebagai media lain dalam mengembangkan Dharma. Menyesuaikan zaman, budaya, dan psikologi massa yang berkembang di masyarakat saat ini. Meski dalam vinaya, terdapat peraturan tidak boleh menyanyi dan mendengarkan lagu.
Makanya acara-acara di vihara pun kadang tak lepas dari unsur musik. Lomba Dharmagita, lomba cipta lagu Buddhis, Dharmasanti Waisak di vihara mungkin menjadi beberapa contoh pengembangan Dharma melalui musik dan lagu. Dalam acara Waisak Nasional Candi Borobudur beberapa tahun silam juga menampilkan komposer kelas dunia Imee Ooi yang berkolaborasi dengan Dewa Budjana gitaris band Gigi.
Baca juga: Seni Musik Masa Lalu
Namun jika RUU disahkan, maka akan sulit menyelenggarakan event musik di vihara-vihara. Karena di Pasal 18 RUU ini dijelaskan pertunjukan musik yang ada harus melibatkan promotor musik yang memiliki lisensi dan izin usaha pertunjukan musik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jadi event musik di vihara tidak bisa dilakukan secara mandiri.
Belum lagi Pasal 31-33 yang membahas soal melalui uji kesetaraan para pelaku musik yang memenuhi standar nasional pendidikan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah. Uji kompetensi seperti pada pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman bermusik yang dilakukan lembaga sertifikasi. Akan sangat repot untuk orang-orang yang pelaku musik secara autodidak.
Problematika umat Buddha seringkali pada proses administrasi semacam ini. Jangankan memikirkan sertifikasi untuk bermain musik dan mengadakan event musik, perizinan mendirikan vihara pun banyak yang tidak sesuai dengan perundang-undangan. Paling hanya satu dua golongan saja yang tertib administrasi.
Jika RUU ini sampai disahkan. Akan sangat merugikan umat Buddha dalam menyebarkan Dharma melalui musik dan lagu. Akan sangat menghambat proses kreatifitas anak-anak muda Buddhis yang cenderung lebih senang musik. Maka RUU ini bukan hanya perlu direvisi, tapi ditolak agar tak menjadi momok di kemudian hari.
Billy Setiadi
Penapak jalan Dharma
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara