• Saturday, 10 November 2018
  • Adica Wirawan
  • 0

Sewaktu akan berinvestasi di beberapa saham perusahaan peternakan, saya sering “dihantui” perasaan bimbang. Bukan karena takut uang yang saya tanamkan akan “tergerus” manakala tren pasar sedang turun. Melainkan karena khawatir bahwa dengan membeli saham di perusahaan itu, secara tersirat, saya sudah mendukung pembunuhan makhluk hidup alias melanggar sila pertama dari Pancasila Buddhis.

Hal itu tentu dapat dimaklumi. Pasalnya, perusahaan peternakan yang sahamnya tercatat di lantai Bursa Efek Indonesia umumnya tak hanya memproduksi pakan ternak. Untuk meningkatkan pendapatan, mereka juga mengelola sejumlah peternakan unggas.

Ada begitu banyak unggas, seperti ayam, yang dipelihara di peternakan tersebut. Selama berhari-hari, mereka diberi makan dan dirawat sebaik mungkin. Mereka pun terus bertumbuh dari waktu ke waktu. Hingga, akhirnya, setelah bobotnya sesuai, barulah mereka semua “dipanen”.

“Pembunuhan massal” jelas terjadi pada masa panen. Bisa dibayangkan betapa banyaknya unggas yang mati setiap hari. Betapa banyaknya ayam yang disembelih hanya untuk dijual memenuhi kebutuhan pasar.

Hal itulah yang kemudian membuat saya ragu untuk berinvestasi di saham sektor peternakan. Di satu sisi, saya merasa saham perusahaan itu punya prospek yang bagus, lantaran bisa mendatangkan keuntungan pada masa depan. Namun, di sisi lain, saya juga melihat ada potensi pelanggaran sila pertama kalau saya membeli saham-saham demikian.

Akibat pembunuhan massal

Kasus di atas memang agak sulit dianalisis. Sejauh ini, saya belum menemukan sebuah sutta yang secara khusus membahas topik tentang dampak dari kepemilikan saham suatu bisnis peternakan.

Namun demikian, sehubungan dengan pembunuhan makhluk hidup, pikiran saya tiba-tiba “terbang” pada sebuah ayat yang terdapat di Dhammapada 157. Ayat tersebut mempunyai latar cerita yang menarik dibahas. Sebab, isinya menceritakan akibat yang timbul atas “pembunuhan massal”.

Ceritanya begini. Pada masa Buddha Gotama, hiduplah seorang pangeran bernama Bodhirajakumara. Ia mempunyai seorang istri dan hidup nyaman di sebuah kerajaan.

Biarpun terkesan bahagia, sesungguhnya Pangeran memiliki satu kekurangan, yaitu tidak kunjung dikaruniai buah hati. Setelah menjalani “bahterah” rumah tangga selama bertahun-tahun, ia dan istrinya belum juga mendapat momongan.

Suatu hari, Pangeran Bodhirajakumara membangun sebuah istana baru. Setelah selesai, ia mengundang Buddha dan sejumlah bhikkhu untuk menerima dana makan.

Sudah lama Pangeran mendengar bahwa siapapun yang berderma kepada seorang Buddha akan memperoleh pahala yang luar biasa jumlahnya. Makanya, dalam hati kecilnya, ia berharap dengan melakukan kebajikan agung demikian, keinginannya untuk mendapat keturunan mungkin dapat terwujud.

Sebelum Buddha tiba di istana, Pangeran Bodhirajakumara membentangkan sehelai kain di lantai. Ia kemudian berucap dengan tekad kuat bahwa kalau Buddha menginjak kain tersebut, semoga ia dan istrinya segera mempunyai anak.

Tidak lama kemudian, Buddha pun sampai. Buddha melihat bentangan kain di lantai, tetapi Beliau enggan berjalan di atasnya. Beliau kemudian meminta kain itu disingkirkan lantaran tahu bahwa dalam kehidupan ini, Pangeran dan istrinya tidak akan bisa punya anak.

Buddha selanjutnya menceritakan kehidupan lampau Pangeran Bodhirajakumara dan istrinya. Dalam kehidupan silamnya Pangeran dan istrinya pernah mengalami kecelakaan di laut. Kapal yang mereka tumpangi hancur dihantam badai.

Semua orang tewas dalam kecelakaan itu, kecuali mereka berdua. Mereka pun terdampar di sebuah pulau yang kosong tanpa penghuni. Untuk bertahan hidup mereka membunuh burung-burung yang tinggal di pulau itu. Mereka menyantapnya tanpa rasa sesal.

Tak hanya itu, mereka pun memakan telur dan anak-anak burung di sana. Selama bertahun-tahun, mereka melakukan perbuatan buruk tersebut hingga akhir hayatnya. Oleh karena itu, ketika terlahir ulang, mereka “ditakdirkan” tidak mempunyai anak sebagai buah atas karma buruk pada masa lalu.

Setelah mendengar cerita Buddha, Pangeran dan istrinya dapat maklum. Mereka bisa menerima kenyataan, dan menganggap peristiwa yang mereka alami pada kehidupan sekarang sebagai “penebus” karma buruk yang telah mereka perbuat pada kehidupan lalu.

Pada akhir pembabaran, Buddha menyampaikan ayat berikut.

Jika orang menganggap dirinya berharga,

hendaknya ia menjaga dirinya dengan baik.

Pada salah satu dari tiga waktu jaga malam,

hendaknya orang baik berjaga.

Sebuah tanda tanya

Setelah menyimak kasus Pangeran Bodhirajakumara di atas, saya pun bertanya-tanya. Kalau saya memiliki saham di sektor peternakan, apakah saya akan “ikut” menanggung karma buruk orang lain, yang menyembelih hewan ternak milik perusahaan tersebut?

Walaupun tidak membunuh secara langsung, apakah saya bertanggung jawab atas kematian unggas di peternakan, dan akan “bernasib” seperti Pangeran Bodhirajakumara kalau saya membeli saham perusahaannya?

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang terus “berpolemik” di pikiran saya. Pertanyaan demikian jelas membutuhkan jawaban, yang sampai saat ini masih coba saya cari, supaya siapapun yang ingin berinvestasi saham di sektor peternakan bisa merasa lebih tenang. Jangan sampai investor yang awalnya ingin mendulang keuntungan lewat transaksi saham malah terdampak karma buruk akibat ketidaktahuannya.

Adica Wirawan

Founder of Gerairasa

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *