• Saturday, 3 March 2018
  • Yudhi H. Gejali
  • 0

“Saya adalah seorang pengusaha, bisnis saya berjalan sangat lancar, keluarga saya harmonis. Saya tidak kekurangan apa pun. Saya merasa bahagia dan hidup tanpa stres.

Tetapi semua berubah, sejak kejadian 3 bulan yang lalu, saat saya menonton di bioskop, dan di tengah-tengah film yang dimainkan, saya merasa mual, sulit bernapas, sekujur badan saya terasa berdenyut, saya merasa akan mati.

Pengalaman itu adalah pengalaman pertama saya diserang panik. Setelah kejadian itu, saya melakukan pemeriksaan kesehatan jantung, dan lain-lain, dan semuanya normal. Dokter meresepkan saya obat anti kecemasan, tetapi saya tidak mau mengonsumsinya. Hidup saya berubah semenjak serangan panik saat itu.

Saya merasa terobsesi dengan penyebab penyakit saya. Saya mengunjungi dokter yang satu dan dokter yang lainnya hanya untuk mencari tau kenapa saya panik. Saya takut saya akan mengalami panik lagi…” (Ryan, 34 tahun, bukan nama sebenarnya).

Cerita tadi adalah kisah nyata dari seorang klien yang saya tangani di klinik. Mereka yang mengalami serangan panik seringkali tidak hanya shock terhadap serangan tersebut, mereka juga mengalami sejenis trauma dan kebencian terhadap serangan panik tersebut.

Panic of panic ini memperburuk keadaan mereka yang terkena serangan panik. Belum lagi tanggapan dari orang-orang di sekitar mereka yang kurang paham mengenai serangan panik dan alih-alih membantu, malah tambah memojokkan penderita dengan mengucapkan kalimat seperti, “Kamu sih stres!”, “Dah…ga usah dipikirin!”, “Kamu gangguan jiwa…”, “Kamu diguna-guna…”, dan lain-lain…

Dalam pengalaman saya, nasihat “Jangan stres!” kepada orang yang sedang panik atau stres tidak hanya tidak berguna, malah memperparah persoalan. Apabila kita belajar meditasi Joy of Living, kita tau bahwa menekan emosi dan buah pikiran itu tidak berguna, malah tidak dianjurkan.

Di dalam meditasi, kita tidak berusaha menekan emosi apa pun, termasuk stres. Kita cukup menyadarinya. Pengenalan akan kesadaran yang menyadari emosi dan buah pikiran tersebut menjadi lebih penting daripada keberadaan buah pikiran dan emosi.

Malah dengan adanya emosi, kita mempunyai kesempatan untuk menggunakan emosi tersebut sebagai objek kesadaran, sebagai teman, dan pendukung meditasi.

Panic attack

Saya akan menjelaskan sedikit mengenai serangan panik (panic attack). Serangan panik merupakan bagian diagnosis medis yang tergabung dalam diagnosis Gangguan Kecemasan (Anxiety Disorder).

Gangguan kecemasan sendiri mempunyai 6 manifestasi, yaitu: Gangguan Kecemasan Menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder), Serangan Panic (Panic Attack), Fobia, Obsessive Compulsive Disorder (OCD), Social Anxiety Disoder, Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).

Panic Attack merupakan sindroma yang cukup khas. Gejala serangan yang dialaminya terjadi secara spontan, tanpa alasan, tidak dapat diprediksi, dan bukan hasil dari situasi yang penuh tekanan.

Selama serangan panik, seseorang akan merasa seperti akan mati, terjebak, dan kehilangan kontrol atas tubuh dan pikirannya. Mereka yang pernah mengalami serangan panik, biasanya akan trauma dan bingung, serta takut akan mengalami serangan panik lagi.

Diagnostic and statistic of mental disorder V (DSM V)

Menjelaskan bahwa serangan panik ditandai dengan paling sedikit 4 dari kumpulan gejala berikut ini: a. Jantung berdebar-debar. b. Berkeringat deras. c. Menggigil. d. Merasa tercekik. e. Kesulitan bernapas. f. Rasa tidak nyaman di dada. g. Sensasi perut yang tidak nyaman atau mual. h. Seperti kehilangan keseimbangan atau berkunang-kunang. i. Ketakutan akan kematian. j. Tubuh terasa dingin atau panas. k. Perasaan terpisah dari tubuh atau kenyataan (derealisasi dan depersonalisasi). l. Mati rasa/paraesthesia.

Dunia kedokteran belum dapat menentukan secara jelas apa yang menyebabkan serangan panik. Berbagai teori mengaitkan serangan panik dengan predisposisi genetik, faktor lingkungan, pengalaman masa lalu, dan atau kombinasi ketiganya.

Meskipun Panic Attack sendiri tidak berbahaya dan tidak sulit ditangani apabila diterapi secara profesional, namun apabila Panic Attack tidak ditangani dengan baik, bisa saja penderita akan mengalami penyakit lain sebagai akibat sekunder dari stres yang muncul akibat dari serangan paniknya.

Meditasi dan serangan panik

Sebagai seorang praktisi kedokteran integratif dan juga murid meditasi, saya selalu menganjurkan klien saya untuk mengikuti workshop meditasi Joy of Living level 1 (JOL 1) yang hampir setiap bulan diadakan di Tergar Meditation Centre Jakarta.

Hal ini cukup membantu saya, karena selain guru meditasinya adalah Mingyur Rinpoche (meskipun melalui program DVD), program meditasi Joy of Living sendiri menggunakan pendekatan sekuler dan universal, sehingga dapat dengan mudah diterima oleh banyak kalangan di Indonesia.

Beyond “feeling okay”

Saya telah melihat berbagai perubahan positif dari banyak orang yang secara rutin berlatih meditasi yang diajarkan Mingyur Rinpoche dalam program JOL 1. Cerita pengalaman hidup Rinpoche dan teknik yang diajarkan untuk “bersahabat” dengan panik telah berhasil mengubah banyak perspektif mereka yang selama ini bertarung dengan serangan paniknya.

Alih-alih menjadikannya musuh, mereka sekarang malah menggunakan rasa panik mereka sebagai pendukung mengenali kesadaran. Meminjam istilah Rinpoche, “turning the enemy into friend, the poison into medicine.”  Saya dapat melihat banyak hidup yang berubah. Tidak hanya bebas dari rasa paniknya, mereka bahkan bisa tidur lebih baik, merasa lebih tenang dan bahagia. Kehidupan sosial mereka juga berubah.

Saya berharap agar banyak dari mereka yang belajar meditasi JOL, tidak hanya merasa lebih baik, lebih bahagia, dan bebas dari rasa panik, tetapi bisa melangkah melampaui itu. Seperti yang ditulis oleh Mingyur Rinpoche bersama Eric Swanson di buku Joyful Wisdom:

“Rencana Buddha jauh melampaui sekedar belajar menjadi “oke”. Tujuannya untuk kita adalah agar kita menjadi Buddha-Buddha: untuk membangunkan kapasitas kita dalam merespon semua pengalaman – duka, malu, kecemburuan, frustasi, penyakit, bahkan kematian — dengan perspektif polos yang kita alami saat kita melihat pertama kali…sebelum ketakutan, penghakiman, kecemasan, dan opini kita mengintervensi… momen kesadaran murni yang melampaui adanya perbedaan antara pengalaman yang dialami dan pribadi yang mengalami.”

Yudhi H. Gejali, MD

Dokter medis, praktisi akupuntur, penyuka filosofi Buddhis, dan murid meditasi di Tergar Meditation Centre Jakarta.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *