Robert Wright, dalam buku terbarunya, Why Buddhism is True: The Science and Philosophy of Meditation and Enlightenment’’, menelusuri kebenaran Buddhadharma dari sisi psikologis dan evolusi, tanpa melibatkan sama sekali hal-hal yang tidak bisa dibuktikan sains seperti reinkarnasi dan karma.
Memang, Wright adalah seorang Buddhis sekuler. Walaupun demikian, ia berpendapat bahwa Buddha telah menemukan sebuah kebenaran, tentang bagaimana cara menjadi bahagia.
Apakah sumber ketidakbahagiaan? Menurut Wright, manusia adalah hasil dari proses evolusi yang panjang, dan otak manusia adalah hasil dari proses tersebut. Proses evolusi berkaitan dengan seleksi alam, dan otak manusia – yang mengondisikan perilaku kita – dirancang untuk bertahan hidup dan meneruskan keturunan, demi keberlangsungan spesies. Tetapi, untuk tujuan itu, otak manusia tidak dirancang untuk bahagia. Sebaliknya, otak dirancang untuk menipu dan memperbudak kita.
Mengapa demikian? Karena beberapa ilusi, mengenai sifat diri, mengenai sifat orang lain, dan beberapa hal lainnya, akan membantu manusia bertahan dari proses seleksi alam. Itulah sebabnya manusia tidak dapat melihat kenyataan sebagaimana adanya. Apa yang dikatakan Buddha sebagai ketidaktahuan (avijja), sudah terancang di dalam otak kita.
Penderitaan
Buddha mengatakan bahwa hidup diwarnai oleh penderitaan, karena kita tidak mendapatkan kepuasan dari objek-objek eksternal yang kita harapkan membawa kenikmatan. Mengapa demikian? Wright mengatakan ini karena otak manusia dirancang untuk selalu membayangkan harapan yang terlalu tinggi.
Tujuannya, adalah supaya manusia selalu mengejar objek-objek yang akan mempertahankan hidup dan melanjutkan gen ke generasi berikutnya. Mencari makan, berhubungan intim, bersaing dengan rival, mencari kehormatan. Meraih tujuan-tujuan tersebut akan menghasilkan kenikmatan, demikianlah otak kita dirancang.
Dan setelah manusia berhasil meraih sesuatu, kebahagiaan yang didapat tidak bertahan lama. Mengapa? Karena jika kenikmatan itu bertahan selamanya, manusia tidak akan mengulangi tindakan tersebut. Supaya manusia terus menerus mencari makan untuk bertahan hidup, tubuh manusia dirancang untuk merasakan lapar. Dan supaya gen diteruskan ke generasi berikutnya, manusia harus mempunyai banyak anak, dan itu membutuhkan banyak aktivitas seks.
Tetapi manusia tidak terlalu memikirkan bahwa kebahagiaan itu tidak bertahan lama, karena jika itu terjadi, kita akan mulai berpikir “apa tujuan dari semua ini?” Inilah yang disebut delusi.
Buddha mengatakan bahwa penderitaan, ketidakpuasan, adalah kondisi manusia. Sebab dari penderitaan adalah ketidaktahuan (avijja) dan kehausan nafsu (tanha). Dalam bukunya, Wright menyalahkan seleksi alam dan proses evolusi, yang menyebabkan otak manusia selalu mengejar kenikmatan-kenikmatan sesaat. Dengan kata lain, kehausan nafsu (tanha) juga terancang dalam otak kita.
Sejauh ini, klaim Buddhadharma mengenai penderitaan dan sebab penderitaan, terbukti melalui perspektif psikologi dan evolusi. Tetapi sains modern belum dapat memberikan solusi pada pertanyaan, ‘lalu apa yang harus manusia lakukan supaya bisa menjadi bahagia?’
Buddha telah menjawab pertanyaan tersebut 2.600 tahun lalu. Sebuah praktik meditasi yang menembak langsung ke akar masalah, yaitu bagaimana cara kita memandang dunia.
Meditasi
Meditasi Vipassana, atau disebut juga ‘berkesadaran’, ‘pandangan terang’, dipraktikkan oleh Wright selama bertahun-tahun dan ia menemukan bahwa metode ini efektif menyelesaikan masalah. Dia mengatakan bahwa meditasi ini, “memberi sudut pandang lebih baik dari berbagai segi pikiran yang dirancang oleh evolusi. Meditasi ini memberi kesempatan untuk mengubah hubunganmu dengan mereka.”
Wright juga menjelaskan mengapa manusia mempunyai ilusi tentang ego/diri. Dalam konteks evolusi, mempertahankan hidup dan gen adalah tujuan utama makhluk hidup. Ilusi tentang diri yang permanen akan membuat manusia menghargai hidupnya.
Kemelekatan pada tubuh adalah sebuah keniscayaan, karena tubuh adalah kendaraan untuk gen, maka kita akan mempertahankannya dan merawatnya. Ilusi bahwa tubuh adalah diri menjadi sangat masuk akal jika dilihat dari konteks seleksi alam.
Berlatih meditasi Vipassana adalah seperti pemberontakan pada seleksi alam. Bagaikan berenang melawan arus melawan warisan evolusi. Kita hidup dalam dunia ilusi yang nyata – seperti di film Matrix, yang dihasilkan dari rancangan otak kita sendiri, yang mencegah kita untuk bahagia. Demikianlah argumen Wright.
Terlepas dari ketidakpercayaan dia mengenai karma, kelahiran kembali, dan hal-hal supernatural lainnya, Robert Wright memberikan perspektif baru dari sudut pandang sains mengenai kebenaran Buddhadharma.
Seno Panyadewa | Penulis buku Misteri Borobudur.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara