• Sunday, 4 February 2018
  • Lani Lan
  • 0

Terkadang perasaan gundah bukan karena seseorang tapi karena situasi. Kesadaranku belum utuh terkumpul ketika ponselku berdering dan segera kuangkat, ada suara sumringah di ujung sana. Suara Bella yang tertawa riang dengan sejuta ceritanya.

“Kak Anna, aku diramal bahwa tahun ini aku akan menikah,” seru Bella.

“Ya, selamat ya. Semoga jadi kenyataan, yang terbaik deh buat kamu, muach!” balasku.

Maacih, aku juga meramal Kak Anna loh,” lanjut Bella.

“Eh? Aku gak percaya yang begituan Bella,” jawabku.

“Terserah, tapi hari ini akan ada kejutan buat Kak Anna.”

“Ya deh, bye…” kututup ponselku dan terdengar suara rengekan Bella sebelum ponsel benar-benar kumatikan. Lalu aku membuka pintu kamar dan berdiri di balkon merasakan angin yang berhembus dan sinar mentari yang menghangatkan tubuhku.

Aku menghela napas. Hidup ini memang aneh, gumamku. Entah bagaimana, Filan sudah berdiri di teras rumahku menatapku lekat sambil tersenyum. Figur tampannya yang tertimpa cahaya matahari membuatnya berkilau. Mata bulatnya pun terlihat begitu jelas, untuk apa Filan menemuiku?

“Hai…” sapa Filan. Aku melambaikan tangan dan segera turun, berlari meraih gagang pintu dan kaget karena Filan sudah berada tepat di balik pintu.

“Filaaannn…” teriakku dengan napas terengah-engah. Filan hanya terkekeh melihat reaksiku dan ekspresi menjengkelkan seperti waktu itu, merasa menang.

“Apa kabarmu Filan? Datang dan pergi semau sendiri, jadi horor deh aku,” ledekku.

Filan melangkah masuk memandangi setiap sudut rumahku, matanya yang selalu berbinar itu menatap sebuah foto yang tergantung di dinding, tangan kanannya mengusap foto itu.

“Kabarku buruk Anna,” balas Filan.

“Tanpa kamu, aku selalu buruk loh,” lanjut Filan. Aish! Aku mendesis, Filan memang tidak ada duanya di dunia ini. Yang selalu membuat hati para wanita melayang dan tergila-gila. Filan mengeluarkan sesuatu dari saku celana jeansnya, aku menatapnya tampak terpesona. Filan menarik jemariku dan menyerahkan sebuah kotak berwarna abu-abu.

“Oleh-oleh dari Jepang,” kata Filan sumringah.

“Akhirnyaaaaaaaa… arigato Filan,” aku memeluknya erat karena girang dan kangen dengan segala kegilaannya. Rindu yang telah sekian lama tertahan kini membuncah tanpa jaim. Lalu kubuka kotak kecil itu, selalu saja Filan tahu apa yang aku mau. Bibirku tersenyum lebar, jam tangan yang sangat cantik.

“Anna, piknik yuk?” tanya Filan.

Nggak mau, nanti kamu jadi jatuh cinta sama aku,” sahutku sambil bersedekap.

“Aih.. ge er-nya. Aku juga udah punya pacar ‘kali,” tutur Filan sambil menjulurkan lidah.

Filan sudah punya pacar? Baguslah. Sejak awal memang sudah kuprediksi bahwa kami tidak akan pernah bisa menjalin hubungan selain menjadi sahabat. Apa ini yang dimaksud ramalan Bella. Ah, gak terkejut tuh. Dasar si Bella, gerutuku. Cinta pertama akan selalu ada di dalam hati, walau apa pun yang terjadi karena cinta adalah anugerah, namun kadang kala bertemu dengan orang yang salah membuat cinta dihujat.

Aku dan Filan berbicara banyak hal, mulai dari perpisahan kami dahulu hingga mimpiku yang ingin sekali mengalami hujan bunga sakura. Kehadiran Filan sedikit menghapus luka yang menganga di dalam hatiku dan selalu membuatku tersenyum.

Tak berapa lama kemudian Filan berpamitan, ingin rasanya untuk menahannya supaya tidak pergi. Tiba-tiba aku menjadi serakah ingin meminta Filan mendengarkan semua ceritaku, isi hatiku, gelisahku, dan segala yang kurasakan tentang hidup ini. Karena aku tahu Filan adalah sosok yang cukup bijak untuk diajak berbagi.

Rasa

Hatiku rasanya sudah tidak berdebar lagi, ingin meminta penjelasan dari Rico tapi percuma. Ini hanya masalah waktu untuk bisa melupakan dan memulai kembali. Mataku melirik jam dinding, cepat sekali waktu berputar, sekarang sudah menunjukkan pukul delapan malam, perutku keroncongan dan mendadak ingin makan nasi goreng buatan Mang Diman. Maka kakiku segera beranjak menuju warung tenda, tempat biasa aku pesan nasi goreng. Dan mungkin benar, aku butuh piknik.

Setelah selesai menggosok gigi aku beranjak ke kasur, jam tangan pemberian Filan ada di atas meja, bersebelahan dengan kotak warna putih. Argh!

Aku baru ingat, itu adalah hadiah yang kusiapkan untuk ulang tahun Rico, tapi sekarang aku ingin menyimpannya kembali ke dalam laci yang takkan pernah terlihat oleh siapa pun. Liontin Buddha. Sebab aku memujinya sebagai orang yang baik dan sampai detik ini pun aku percaya kalau Rico adalah orang baik. Segera kuraih ponselku untuk mengecek pesan masuk, dan benar saja, ada banyak sekali pesan dan telepon. Salah satunya dari Rico. Segera kubaca.

“Anna, ada banyak sekali yang harus kujelaskan padamu,”

Lalu pesan dari nomer yang tidak kukenal.

“Kak Anna, Filan masuk rumah sakit, livernya kambuh sekarang lagi di UGD, Metta,”

Mataku terbelalak. Segera kutelepon Metta, adik Filan dan aku siap menyusul ke rumah sakit. Filan selalu begitu, selalu merasa baik-baik saja dan ini membuatku frustasi, katanya profesor tapi tidak mampu menjaga diri, aish! Emosiku naik turun, hanya dapat menghela napas, kemudian segera menyalakan sepeda motorku.

Tidak peduli apa yang kukenakan, baju tidur, sendal jepit akh! Bodo amat, bahkan rambutku acak-acakkan. Aku membayangkan yang tidak-tidak jangan-jangan hari ini adalah pertemuan terakhirku dengan Filan. Ouch! Pikiranku penuh dengan Filan dan Filan.

Setelah memarkir motor, kususuri lorong panjang rumah sakit dan kudapati Metta sedang duduk menutupi wajahnya. Air matanya berderai, aku tidak tega melihatnya, segera kupeluk Metta.

“Metta, gimana Filan?” tanyaku dengan suara gemetar.

“Sekarat kak Anna,” balas Metta. Penyakit liver Filan memang sudah akut, sejak zaman kuliah dulu, ternyata belum sembuh sampai sekarang. Metta terus sesenggukkan, kami menunggu dokter yang tak kunjung keluar.

“Mama sama papa lagi di luar kota urusin bisnisnya, sebentar lagi paman datang begitu Metta minta,” tiba-tiba Metta bicara.

“Oke kita tunggu ya,” aku mencoba menenangkan remaja lima belas tahun yang sangat cantik dan lemah lembut. Rambutnya yang hitam terurai, tingginya yang sudah sama denganku dan andai saja aku adalah seorang remaja lelaki, aku sudah jatuh hati pada Metta. Bisa-bisanya aku berkhayal.

“Mettaaa..” suara seseorang memecah keheningan yang tercipta di antara kami.

“Paman…” Metta segera berdiri dan berhambur menghampiri pamannya dan memeluknya. Aku berdiri dan menatap mereka tanpa berkedip. Mematung dan tanpa mampu berkata apa-apa. Lidahku kelu, dan segera teringat kata Bella. Hari ini kak Anna akan mendapat kejutan! Apakah aku harus percaya dengan ramalan itu? Dan haruskah aku juga mencoba mencari tahu akhir kisah hidupku sebenarnya?

Ri..co! desahku. Kejutan macam apa ini? Dan aku benar-benar frustasi kali ini. Waktu seolah berhenti, semua benda tidak bergerak begitu juga dengan aku, seperti berhenti bernapas. Kenangan Filan dan Rico memenuhi pikiranku, aku merasa terbunuh seketika.

Ilustrasi: Agung Wijaya

Lani Lan

Penulis cerpen, guru sekolah Minggu di sebuah vihara, menyukai dunia anak-anak.

Hobi membaca, jalan-jalan, dan makan.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *