“Mom, it’s story time, read me one story before I go to sleep please!” pinta Henry kepada ibunya.
“Alright then…” Dengan lembut ibunya membelai rambut anaknya dan mulai meraih buku yang ada di rak buku. “… today I’m going to tell you a story about a frog prince,” kata si ibu sambil mengiringi putra satu-satunya itu menuju tempat tidurnya.
“Frog prince? Did you tell me that story before, didn’t you?” tanya Henry.
“Hmm… yes, but I bet you might haven’t heard this one,” sahut ibunya.
“What would make different? Tell me more please!” kata Henry sambil masuk ke dalam selimutnya.
“Okay, this story will be in Bahasa Indonesia, and it will be good for your listening practice,” kata ibunya.
“Okay,” Henry pun merebahkan kepalanya di atas bantal dan mulai mendengarkan ibunya dengan penuh perhatian.
“This story is about Pangeran Kodok dan Burung Parkit.”
Suatu ketika ada seorang pangeran tampan yang dikutuk menjadi seekor kodok dikarenakan perangainya yang buruk dan sombong. Si pangeran akan kembali menjadi manusia jika ada seorang putri bangsawan yang memperbolehkan dia duduk dan makan bersama di piring emasnya serta tidur di atas bantal bersama sang putri selama 3 hari berturut-turut.
Karena sebab itulah pangeran kodok hidup di dalam kolam di dekat perkarangan rumah seorang putri bangsawan, berharap suatu hari nanti ia bisa menemui sang putri.
Sebelum pangeran kodok bertemu dengan putri tersebut, pangeran kodok menghabiskan hari-harinya bermain di pinggiran sungai layaknya seekor kodok biasa. Di sungai itu ia ditemani oleh seekor burung parkit yang senang bernyanyi merdu di pagi hari.
Burung itu adalah satu-satunya teman yang diajaknya bicara dan berbagi cerita. “Hi sis, suaramu hari ini terdengar merdu seperti biasanya,” kata pangeran kodok menyapa burung parkit. “Cuit cuit cuit… terima kasih. Makan apakah kau hari ini bro? Engkau terlihat amat bersemangat!” kicau si burung parkit sambil mengibaskan sayapnya. “Seperti biasalah, nyamuk dan lalat. Krook krook krook…” Burung parkit pun kemudian ikut tertawa dan bernyanyi merdu untuk temannya si pangeran kodok.
Kedekatan pangeran kodok dan burung parkit sudah layaknya seperti saudara satu spesies. Mereka saling berbagi makanan; yang sudah tentu parkit akan makan biji-bijian dan si kodok memakan serangga-serangga kecil; berbagi cerita dan membantu satu sama lain. Hari itu pangeran kodok menceritakan pertemuannya dengan seorang putri bangsawan yang ia tolong dan berjanji akan mengabulkan apa pun yang dimintanya.
“Oh… jadi kamu ini sebenarnya seorang pangeran?” tanya burung parkit. “Iya benar sis, kamu ke mana aja?” “Kau tak pernah menceritakannya padaku yeee…,” sambut burung parkit “Oh ya…! Bagaimana mungkin aku belum menceritakan hal ini kepadamu. Hmm…” “Oke lalu???” tanya burung parkit “Oh… oke lanjut kembali cerita. Jadi satu-satunya cara agar aku bisa kembali menjadi manusia adalah melalui bantuan sang putri.
Jika saja sang putri mau membawaku duduk dan makan bersamanya serta bersedia menemaniku tidur di atas bantalnya selama 3 hari, maka kutukan ini akan segera berakhir. Namun hingga saat ini sang putri belum juga menepati janjinya.”
“Jangan khawatir teman, suatu saat putri itu pasti akan menepati janjinya. Lagi pula kalau ternyata ia tak datang menemui kau, kenapa bukan engkau saja yang datang menemuinya?” usul burung parkit.
Seketika saja pangeran kodok merasa tercerahkan. “Wah ide bagus, aku akan datang ke kediamannya dan menemuinya besok pagi.”
Pangeran kodok itu pun mendatangi sang putri keesokan pagi harinya, dan menagih janji yang telah diucapkan sang putri kepadanya. Namun janji tinggal janji, jangankan rela memegang pangeran kodok dengan kedua tangannya yang halus, melihat parasnya saja sang putri sudah merasa jijik, apalagi bersedia makan dan tidur bersama. Sang putri pun mengusir pangeran kodok kembali ke sungai tempatnya tinggal.
Sekembalinya ke sungai, burung parkit yang melihat sahabatnya kelihatan murung datang menghampirinya. “Kau kenapa bersedih bro? Bagaimana tadi pagi berhasilkah? Hmm… kurasa kau tak perlu menjawab pertanyaanku. Pasti gagal yak! Cuit cuit cuit” “Yeah yeah… tega sekali kamu menertawaiku.
Dia mengusirku,” sahut pangeran kodok. “Hmm… kalau boleh tahu, memangnya kenapa kau sampai dikutuk menjadi seekor kodok?” tanya burung parkit. “Kau bukannya membantu malah kepo mau tahu urusanku…” kata si kodok sambil melanjutkan, “Begini ceritanya, aku ini ‘kan pangeran paling tampan sejagat raya di kerajaanku….” cerita si pangeran kodok.
“Ehemm….” si burung parkit merespon. “…yah kamu takkan mengerti karna kamu seekor burung parkit,” lanjut pangeran kodok. “Ehemm…,” respon burung parkit sekali lagi. “Oke.. oke sori, aku minta maaf. Aku memang terlalu sombong sebagai seorang pangeran.
Aku tak pernah mau berteman dengan kaum perempuan yang tidak cantik yang tergila-gila mengejarku untuk dijadikan kekasihnya. Tidak juga mau berteman dengan para lelaki yang bukan dari golongan bangsawan. Tak peduli seberapa baik mereka terhadapku, aku hanya memikirkan mereka seperti itu dikarenakan aku anak raja.”
“Oh… kau pangeran yang malang,” sahut burung parkit. “Ya kamu benar…, namun setelah lama dikutuk menjadi seekor kodok aku menjadi mengerti banyak hal; perbuatanku salah.”
Janji
“Itu bagus. Kau tak perlu bergundah hati dan menyesalinya, kau harus terus berusaha…,” kata burung parkit sambil melanjutkan, “… Aku tahu putri bangsawan yang kau maksud. Dia adalah anak dari seorang bangsawan yang baik hati dan selalu menepati janji.
Tidak seperti para penjabat lain pada umumnya yang bisanya cuma mengobral janji. Cobalah kau datangi sang putri di sore hari, ketika ia sedang makan malam bersama ayahnya. Jika ayahnya tahu sang putri telah berjanji kepada kau, maka pasti ia akan membantu engkau,” sahut burung parkit memberi saran.
Pangeran kodok yang telah tercerahkan akhirnya bersemangat kembali ke kediaman sang putri. Ia pun mengetuk-ngetuk pintu rumah sang putri dan memanggil-manggilnya dari luar, dan tak lama kemudian benar saja apa yang dikatakan oleh burung parkit.
Sang putri keluar membukakan pintu buatnya, mengangkat tubuh pangeran kodok dan menaruhnya di atas piring emas dan duduk makan bersama. Setelah selesai makan, sang putri membawanya ke kamar dan menaruhnya di atas bantal, tempat sang putri tertidur.
Di hari kedua pangeran kodok kembali datang menemui sang putri dan menagih janjinya. Putri bangsawan itu terkejut melihatnya datang lagi, namun demi menuruti kata-kata ayahnya, sang putri yang sedikit agak kesal itu pun kembali memperlakukan pangeran kodok seperti di hari sebelumnya.
Malam pun berlalu, pangeran kodok kembali pulang di pagi hari dengan hati bahagia. “Cuit cuit cuit… kau tampak senang sekali bro! sapa burung parkit, “Tapi sepertinya bahagia kau kali ini bukan disebabkan oleh nyanyian merduku ‘kan?” “Yippi… krook krook krook…,” pangeran kodok meloncat kegirangan, “… besok adalah hari terakhirku menjadi seekor kodok sis!” serunya.
“Wow, itu hal yang bagus, aku harus mengucapkan selamat,” sahut burung parkit. “Terima kasih kamu telah banyak membantuku,” kata pangeran kodok. “Tak usah sungkan, itulah gunanya seorang teman.” Burung parkit seketika terdiam memandangi wajah sahabatnya yang sibuk berlompat kembali ke atas daun bunga lili, tempat favoritnya menangkapi serangga kecil makan siangnya.
“Eh… mengapa banyak sekali serangga kecil yang berjatuhan di atas daunku. Wah hari ini memang hari keberuntunganku, aku tak perlu capai berusaha menangkapi makananku. Terima kasih Tuhan!” “Yeah… mungkin Tuhan tahu kalau hari ini adalah hari terakhir kau sebagai seekor kodok…,” timpal burung parkit. “… entah bagaimana aku tanpa kau bro, takkan ada lagi seekor kodok yang mendengarkan nyanyianku di pagi hari, cuit cuit cuit…,” burung parkit tertawa lalu terdiam. “Kamu jangan murung sis, aku berjanji akan datang menemuimu lagi, tapi bukan sebagai seekor kodok,” kata pangeran kodok.
***
“Poor parkit bird, will the frog prince change and come to see her again?” tanya Henry dengan nada suara mulai mengantuk kepada ibunya. “I don’t know sweet heart. I hope he will keep his promise.”
“The parkit bird must be lonely without him, but why doesn’t she find other parkit bird to be her friend?” tanya Henry merasa heran.
“Hmm… maybe the frog prince is a good friend for her and sometimes that’s the way we make friend with other. We don’t have to be the “same” to be a friend, right! Skin color, race, and religion shouldn’t be a barrier to us for making friend.”
“Yes mommy you are right! People are different; from now on I’ll be a good friend for everyone in school,” sahut Henry. “Wow that’s a good thing to hear dear,” si ibu pun tersenyum. “So what will happen next to the frog prince mom?” “Okay then…”
Sebuah sore
Di sore hari seperti biasa, pangeran kodok kembali menemui sang putri bangsawan di kediamannya. Sekali lagi karena menuruti kata-kata ayahnya sang putri pun dengan berat hati melayani pangeran kodok.
Memberikan makanan untuknya, membawa dan menaruhnya di atas bantal tempat sang putri tertidur sehabis selesai makan malam. Pangeran kodok pun dengan bahagia mulai menutup matanya dan hampir tertidur. Lalu seketika saja terdengar suara isak tangis dari balik pintu kamar.
Tangisan itu tak lain adalah tangisan sang putri yang sedang berbicara dengan ayahnya. “Ayah sampai kapankah engkau memintaku untuk tidur bersama dengan seekor kodok? Aku sudah tidak sanggup lagi ayah,” sahut sang putri.
“Seorang bangsawan yang bermatabat harus bisa memenuhi janji yang telah dikatakannya!” seru si ayah. “Apakah engkau seorang ayah yang tega membiarkan putri kesayangan satu-satunya tidur dengan seekor kodok jelek yang bau dan berlendir itu? Aku lebih baik pergi meninggalkan rumah ini dan tinggal bersama sepupuku jika ayah terus memintaku melakukan hal ini,” ancam sang putri.
“Kau jangan melakukan itu putriku. Besok hari jika ia ternyata datang kembali, ayah akan berbicara kepadanya dan memintanya untuk tidak datang lagi. Ayah akan memberikan harta apa saja yang ia minta agar ia tidak kembali lagi,” jelas si ayah menenangkan putrinya. “Sekarang kau pergilah tidur ke kamar ibumu,” lanjut si ayah.
Mendengar percakapan itu, pangeran kodok bersedih hati dan meneteskan air mata. Ia mengingat perangainya yang buruk, bahwa hal kelakuannya dahulu tidaklah jauh berbeda dengan sifat sang putri. Ia kembali bersedih, menyadari bahwa ia terlalu sibuk memikirkan dirinya sendiri dan sedikit pun tidak memerdulikan perasaan orang lain. Di dalam kesedihannya ia pun jatuh tertidur dengan lelap.
Membuka mata
Keesokan harinya benar saja, ketika pangeran kodok membuka matanya, ia melihat dirinya kembali berubah menjadi seorang pangeran tampan. Ia pun melompat dan berteriak bahagia hingga seluruh isi ruangan dipenuhi oleh suara teriakannya yang riang gembira. Lalu tak lama kemudian sang putri membuka pintu kamarnya dan menemui dirinya di dalam sana.
Tertegun, terheran serta takjub melihat wajah pemuda tampan di hadapannya sang putri pun menanyainya, “Siapakah kau wahai pemuda tampan?” “Aku sesungguhnya adalah seekor kodok yang kamu bawa tidur setiap malam selama 3 hari di atas bantalmu. Sekarang kutukanku telah sirna berkat apa yang telah kamu lakukan. Sekarang aku kembali menjadi manusia, terima kasih karena telah menolongku.
Awalnya aku bermaksud ingin menikahimu dan menjadikanmu pendamping hidupku, namun sayang sekali ternyata sedikit pun kamu tidak pernah menyukaiku sebagai seekor kodok. Sebagai balas budiku aku akan meminta ayahku mengirimkan harta kekayaannya untukmu. Selama tinggal tuan putri, semoga kau mendapatkan pelajaran atas kejadian ini.”
Pangeran pun meninggalkan kediaman sang putri dan berjalan menelusuri kolam di dekat perkarangan rumah itu. Ia teringat janjinya kepada burung parkit dan ingin menemuinya. Ia pun bergegas menghampiri dahan pohon yang biasa dihinggapi burung parkit, namun ia tak di sana.
Lalu pangeran teringat oleh nyanyian burung parkit, dan bersiul menyanyikan alunan nada yang biasa ia dengarkan dari suara merdu sahabatnya itu. Tak lama kemudian burung parkit pun muncul di hadapannya dan hinggap di atas dahan seperti biasa ia melihatnya.
“Kau ternyata menepati janjimu pangeranku,” sahut burung parkit. “Ayo ikut aku ke istana,” pinta si pangeran. “Maafkan aku, aku tak bisa meninggalkan dahan ini dan ikut bersama kau pangeran,” jawab burung parkit.
“Tapi kenapa? Kau harus ikut denganku sahabatku. Aku sudah tahu mengapa kemarin pagi banyak serangga kecil berjatuhan di atas daun lili tempatku mencari makan. Itu pasti bukan perbuatan Tuhan, itu perbuatanmu, kamu yang melakukannya untukku,” kata pangeran.
“Iya… mengapa engkau tidak membawa sang putri pergi bersamamu ke istana dan menikah dengannya?” tanya burung parkit. “Aku tahu teman baik mana yang sesungguhnya tulus ingin menemaniku. Akan tetapi jika kau tidak ingin ikut denganku, biarkanlah aku memberikan salam perpisahan.”
Pangeran yang tampan itu mendekati burung parkit dan menciumnya. Jreng… seketika saja burung parkit berubah menjadi sosok seorang perempuan yang manis. “Ah… ternyata kamu juga seorang manusia!…” seru pangeran terpana. “…mengapa kamu tidak menceritakannya kepadaku?” lanjutnya. “Hahaha… syarat kutukanku lebih sulit daripada kutukanmu, tau!” Mereka berdua pun tertawa bahagia.
Tak lama kemudian pangeran kodok membawa putri parkit ke istananya dan menikahinya. Seluruh istana menyambut gembira dan mereka berdua pun hidup bahagia selamanya. The end.
***
Usai menutup buku cerita, Henry pun sudah tertidur lelap di atas ranjangnya. Ibunya mencium keningnya dan mengucapkan selamat malam padanya. “Good night my dear.”
Penulis Buddhis, guru pre-school.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara