• Saturday, 3 February 2018
  • Hendry F. Jan
  • 0

Ketika kebaikan hati bertutur dalam keindahan sikap. Dari hal inilah, bunga-bunga mekar menjadi senyuman Buddha.

Aku memandang Zinta dari tempatku memilih sayuran di swalayan terbesar di Kota Bandung. Hari Minggu, setelah pujabhakti di Vihara Vimala Dharma, kami sekeluarga berkunjung ke mal untuk makan siang dan belanja keperluan sehari-hari.

Melihat gelagatnya, aku menduga Zinta, putri bungsu kami sedang kumat jahilnya. Jahilnya asli turunan dari Papanya. Dengan sedikit mengendap, aku berjalan mendekat ke Zinta yang berjalan menuju konter buah semangka. Aku ingin nguping karena penasaran.

“Om, ini buah apa?” tanya Zinta. “Oh… ini semangka merah tanpa biji. Kalau yang ini semangka yang ada bijinya, dan yang ini melon,” kata mas penjaga konter buah dengan ramah. “Lebih enak semangka tanpa biji, makannya nggak repot. Tinggal makan, nggak usah bersihin bijinya dulu. Adik mau beli buah apa?” tanya mas penjaga.

“Saya mau tanya-tanya, boleh nggak Om?” tanya Zinta. “Oh tentu boleh Dik,” jawab mas penjaga ramah. “Om, kalau tanam melon pakai apa?” tanya Zinta. “Pakai bijinya,” jawab si mas. “Kalau tanam semangka?” tanya Zinta lagi. “Pakai biji juga…” jawab si mas sambil tersenyum ramah. “Nanti mau minta mama beliin semangka tanpa biji. Om, kalau saya mau tanam semangka tanpa biji gimana? ‘kan di semangka itu nggak ada bijinya?” tanya Zinta.

Aku bisa menatap ekspresi wajah mas penjaga konter buah, ia tersenyum sambil garuk-garuk kepala. Mungkin tak pernah terpikir olehnya, pertanyaan seorang anak TK yang membuatnya terdiam karena bingung. Nggak tau harus jawab apa? “Om, tanam semangka tanpa biji pakai apa?” Zinta kembali bertanya.

“Zinta, ayo kita sekarang ke konter biskuit. Zinta mau beli biskuit apa?” sengaja aku memanggil putri bungsuku. “Iya Mama,” jawab Zinta. “Sampai jumpa lagi Dik…” kata si mas dengan perasaan lega. Aku hanya tersenyum melihat ekspresi wajahnya.

“Zinta, kamu jangan jahil ya?” kataku pada Zinta. “Bener Ma, si Om bingung waktu Zinta tanya gimana cara tanam semangka tanpa biji,” Zinta tersenyum jahil. “Ssst…” aku meletakkan telunjuk ke bibirku.

“Papa dan Koko Bodhi ke mana ya? Katanya tadi mau ke ATM sebentar, kok belum balik?” kataku pada Zinta. “Mungkin Papa dan Koko sedang ke toilet Ma,” kata Zinta.

* * * * *

Kami sedang duduk di foodcourt, menanti hidangan makan siang yang sudah kami pesan. Seorang menepuk bahuku. Aku menoleh, “Eh… Stella, apa kabar?” aku berteriak histeris. Stella adalah sahabatku waktu SD, sudah lama sekali aku tak mendengar kabarnya. “Baik, apa kabar kamu Adinda?” Stella balik tanya. “Baik juga. Kenalkan, ini Andre suamiku. Ini anak pertama kami, Bodhi, dan si bungsu, Zinta,” aku memperkenalkan keluarga kami. Stella pun memperkenalkan anggota keluarganya.

“Hai cantik, siapa namanya?” Stella mengelus pipi anakku. “Zinta, Tante. Pake huruf Z,” jawab anakku. “Lho mengapa bukan Cinta?” tanya Stella. “Karena kata Papa, Zinta anak bungsu, nggak akan punya adik, jadi pakai huruf Z,” terang Zinta. “Aduh…lucunya, gemes deh,” kata Stella. “Sampai jumpa,” Stella dan keluarga pamit setelah kami saling bertukar nomor ponsel.

* * * * *

“Adinda, maaf mengganggu sejenak. Sebenarnya aku malu untuk mengatakan. Kami sekeluarga sedang dapat musibah. Rumah kami habis terbakar ketika kami sedang pergi, tak ada harta yang terselamatkan. Jika tak keberatan, aku ingin pinjam uang satu juta,” begitu pesan Stella via WA. Aku menunjukkan pesan itu pada suamiku. “Bagaimana Pa?” tanyaku. “Jika Mama percaya pada Stella, transfer saja,” kata suamiku.

Untuk kesekian kalinya air mataku mengalir. Suamiku memang orang yang baik dan selalu siap membantu orang yang sedang kesusahan. “Bantulah orang yang sedang kesulitan jika kamu mampu. Jangan tunda kesempatan berbuat kebajikan yang datang kepadamu,” itu yang selalu ia ucapkan.

Aku jatuh cinta pada sifat baik Andre, rekan sekerjaku di sebuah bank swasta. “Pa, aku telepon dulu ya untuk memastikan ini memang pesan dari Stella. Khawatir ponsel Stella dicuri dan pesan ini merupakan kerja iseng penjahat,” kataku. “Iya,” jawab Andre.

“Halo… Stella,” sapaku. “Iya Dinda. Maaf ya…” kata Stella, dengan suara terisak. “Tolong kirim nomor rekeningmu,” kataku. “Terima kasih Dinda, terima kasih sekali…” ucap Stella penuh haru.

Aku memandang Andre suamiku dengan mata berkaca-kata. Kebaikan hatimu meluluhkan hatiku. Aku tidak pernah menyesal menerima pinanganmu, batinku.

*Tulisan ini dipersembahkan sebagai kado ultah untuk Revata Dracozwei Jan (4 Feb 2018). Semoga panjang umur, sehat selalu, dan jadi anak yang berbakti.

Ilustrasi: Agung Wijaya

Hendry Filcozwei Jan

Suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Hendry F. Jan

Hendry Filcozwei Jan adalah suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.

Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

http://www.vihara.blogspot.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *