• Sunday, 21 January 2018
  • Lani Lan
  • 0

Bandung, 31 Desember 2017

Sore ini senja tampak indah, pemandangan dari balkon rumah begitu menyejukkan. Langit dengan lukisan awan yang masih menawan dibarengi warna kemerahan menandakan sunset telah tiba.

Bulan sabit tampak malu-malu menunjukkan keberadaannya. Bibirku tersenyum bahagia dengan kedua bola mata memandangi langit dengan kemegahannya. Angin menerpa rambutku dan menyeka wajahku, dingin.

Ah, betapa bodohnya jika aku mengadili hidup seseorang, karena setiap kehidupan punya alasan atas keberadaannya. Sejenak tenggelam dalam lamunan, seseorang berteriak memanggil namaku dari arah bawah.

“Anna!” senyumnya menyeringai.

“Rico.” Aku memicingkan mata, memastikan lelaki yang memakai kemeja warna putih dan memanggilku itu adalah Rico.

Rico melambaikan tangannya, tatapan matanya yang tajam, alisnya yang tebal beraturan dan senyumnya yang membuat hati ini meleleh seketika. Jantungku berdegup kencang, rasa yang tak karuan menyeruak di dalam dada.

“Ayo Anna,” seru Rico masih dengan senyuman yang membuat nyaman.

“Oh, aku…” aku hanya bisa menganggukkan kepala. Ada rasa tak biasa jika melihat senyumnya yang terus mengembang. Aku segera turun ke bawah untuk membuka pintu dan wajah itu masih tersenyum lebar.

“Halo Anna, sudah siap?”

Aku tersadar ketika mendengar suara Rico.

“Begini saja?” sahutku.

“Maunya begitu? Hmm, boleh sudah cantik kok,” puji Rico. Pujian itu rasanya membahagiakan, meski kadang ada kebohongan di balik kalimat itu.

Rico membukakan pintu mobil sedannya. Aku bagai tuan putri yang akan menghabiskan malam terakhir di tahun 2017. Aku menatap Rico yang sedang menyetir mobilnya sambil tersenyum, wajah yang dewasa dan menenangkan. Lekukan wajahnya yang terlihat lelah, namun berhasil ia tutupi. Spontan Rico menggenggam tanganku.

“Kok dingin?”

Aku tersentak dan menepis tangannya.

“Eh ya, salaman dulu dong, kita ‘kan belum pernah jabat tangan secara resmi,” jawabku gugup. Rico terkekeh. Aku dan Rico berjabat tangan, betapa lembut tangan itu, tetapi hanya tanganku yang menggenggam erat dan kemudian terasa hambar. Lagi-lagi aku merasakannya, itulah sebabnya aku berpikir keras selama ini. Antara hati dan logika yang tidak menyatu.

“Anna, kamu sabar ya?” pinta Rico.

“Rico, kau nyaman denganku?” aku menatap lurus ke arah depan, kemacetan Bandung yang kian hari bertambah padat. Lagi-lagi Rico tersenyum.

“Aku menginginkan semua yang ada pada dirimu, tentu saja aku nyaman. Tapi tolong mengertilah untuk saat ini dengan keadaanku.”

Ponsel Rico berdering sebelum aku membalas perkataannya. Rico mengangkat telepon, terdengar suara wanita sedang memakinya. Aku menatap foto yang terpampang di ponsel Rico. Anak kecil yang imut dan ganteng dengan senyum lesung pipi.

“Arggh! Aku jadi serba salah sekarang.” Rico terlihat kacau.

“Anna, aku anter kamu ke kafe ya, kamu boleh pesan apa pun, semua sudah aku bayar. Pacarku membuntutiku. Aku benar-benar minta maaf Anna, aku salah, sangat salah,” Rico menghela nafas.

“Udahlah kamu balikan saja sama pacarmu itu dan ajak aja dia pergi bareng kita, silakan perbaiki semuanya,” tegasku.

Gak mungkin Anna, pacarku sudah menyakitiku.”

Aku tidak mampu untuk berkata apa-apa lagi, hanya menatap jendela mobil dan Rico terdiam mulai menyetir dengan tergesa-gesa. Aku hanya bisa bersumpah serapah dalam hati, memakinya, menyebutnya lelaki plin-plan.

Tak berapa lama kemudian kami tiba di kafe yang sudah dipesan Rico. Aku membuka pintu mobil, Rico menarik tubuhku dan memeluk sangat erat. Sesak di dalam dadaku membuat mata ini berkaca dan hampir meneteskan air mata.

Well, itu foto siapa yang ada di ponselmu?” jawabku sambil menepuk pundaknya.

“Anakku Anna,” jawab Rico sambil terisak. Aku mendorong tubuhnya menjauh dan meninggalkan Rico tanpa menoleh.

Kali ini aku benar-benar menangis tersedu-sedu, bahkan tidak peduli orang melihatku seperti orang gila. Mobil sedan Rico meluncur meninggalkanku di malam dingin yang membuat perasaanku membeku.

Setelah puas menangis aku menyesap udara, menghembuskan napas dengan lega. Aku menyandarkan punggungku di kursi, duduk di bawah langit yang bertabur bintang. Aku memilih mengikuti langkah kakiku daripada berkumpul dengan orang-orang yang berpesta di kafe.

Aku menatap orang-orang dengan nanar, semua sibuk meniup terompet merayakan pergantian tahun baru. Dalam kesesakan yang tercipta, kelegaan pun mengikutinya, akhirnya aku memercayai bagaimana logika dan hati bekerja.

Bahwa cinta bukan sekedar keindahan fisik, kemapanan materi, dan keegoisan pribadi. Cinta adalah bagaimana mau menanggung risiko atas perasaan yang disirami setiap hari. Rico terus menelepon namun kubiarkan ponsel terus bergetar semaunya.

Happy new year… kembang api bertebaran di langit, sangat indah. Aku menunjuk kembang api yang meluncur paling tinggi dan mengucapkan satu tekad. Apakah aku gagal merayakan tahun baru? Terkadang apa yang kita harapkan tidak sesuai dengan apa yang terjadi.

“Hai Anna…” seseorang menepuk pundakku. Aku terdiam sejenak.

“Filan?”

Dia mengangguk. Yup, Filan adalah cinta pertamaku sejak aku mengenalnya. Senyumku kembali mengembang. Ada hadiah yang tidak disangka dalam kepedihan yang telah berlalu.

Ilustrator: Agung Wijaya 

Lani Lan

Penulis cerpen, guru sekolah Minggu di sebuah vihara, menyukai dunia anak-anak.

Hobi membaca, jalan-jalan, dan makan.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *