• Sunday, 7 January 2018
  • Hendry F. Jan
  • 0

Mungkin ini hari tersial dalam hidupku. Ini hari kedua aku di Bandung. Kemarin sore aku baru tiba. Niatku ke kota ini adalah mencari teman sekotaku yang bekerja di sini.

Aku juga ingin bekerja. Kerja apa saja, yang penting bisa dapat uang untuk mempertahankan hidup. Tapi aku memang terlalu nekat karena datang ke Bandung tanpa alamat lengkap yang kutuju. Hanya berbekal nama sebuah jalan.

Hujan deras mengguyur Kota Bandung. Sesekali terdengar suara petir menggelegar. Sudah satu jam lebih aku berdiri di halaman depan vihara, menanti angkot yang lewat. Namun angkot kosong yang kutunggu tak kunjung datang.

Sebenarnya, kedatanganku ke kota ini adalah bentuk pemberontakan. Aku marah besar ketika ibuku selalu mengatakan, “Tom, jangan pulang terlalu malam. Paling telat jam 10 malam sebaiknya kamu sudah di rumah.”

Aku marah besar karena teman-temanku tidak dilarang seperti aku. Mereka boleh main hingga tengah malam, bahkan pulang pagi. Aku sudah dewasa, sudah tamat SMA dan seharusnya sekarang kuliah. Namun karena ortuku tak mampu, aku harus cari kerja.

Kemarin sore, di terminal aku bertemu seorang teman se-Dhamma, Rozko namanya. Dulu aku kenal dengan Koko saat ia dan rombongan viharanya berkunjung ke vihara di kotaku. Aku beruntung, Koko berbaik hati mengajakku untuk menginap di tempat kost-nya.

Hari ini aku datang ke vihara meski bukan hari Minggu. Ini atas nasihat Koko. Vihara, tempat yang dulu rutin aku kunjungi setiap hari Minggu, tapi akhir-akhir ini sudah lama tidak aku kunjungi. Setelah ber-namaskara dan meditasi sejenak, aku baru akan mencari teman sekotaku yang tinggal di Bandung.

Saat menunggu angkot di halaman vihara inilah aku baru menyadari, dompet dan ponsel-ku sudah lenyap. Aku pasti kecopetan saat naik angkot ke vihara, bedebah!

Saat turun dari angkot aku membayar dengan uang yang ada di saku depan sebelah kanan celanaku. Aku sama sekali tidak menyentuh dompet di saku belakang celanaku atau ponsel di saku kiri depan sehingga aku tak menyadari aku telah kecopetan dompet dan ponsel.

Ini hari tersial dalam hidupku. Aku tidak bisa menghubungi Koko karena aku tak hafal nomor ponsel-nya. Datanya ada di ponsel-ku yang hilang.

Duaaar… suara petir yang sangat keras mengembalikanku ke masa kini. Aku masih berdiri di halaman vihara, belum ada angkot yang lewat.

Aku melihat seorang pemuda yang usianya mungkin beberapa tahun di atasku, mengendarai motor masuk ke halaman vihara. “Kak, numpang tanya Pak Biksu ada?” tanya pemuda itu. “Wah… kurang tau Mas,” jawabku. “Saya orang baru di kota ini?” lanjutku. “Saya Tom,” aku mengulurkan tangan. “Ahmad Amin…” jawabnya ramah.

Refleks aku mengernyitkan dahi mendengar namanya. Ia langsung paham dengan bahasa tubuhku. “Saya muslim. Tidak masalah ‘kan saya berkunjung ke vihara?” tanya Amin, yang membuatku salah tingkah. “Oh… tidak masalah. Selamat datang di vihara,” jawabku.

Pak Biksu

Singkat cerita, aku takjub mendengar ceritanya. Kisahnya mirip kisahku. Pemuda dengan jiwa pemberontak. Bedanya, Amin dari keluarga kaya. Pemberontakannya, kebut-kebutan dengan motornya. Hingga suatu saat ia mengalami kecelakaan tepat di depan vihara ini.

“Pak Biksu yang pertama menolong saya. Pak Biksu yang meminta penjaga vihara untuk  mengantar saya ke rumah sakit. Saya merasa sangat berhutang budi pada beliau,” kisah Amin dengan mata berkaca-kaca. Setelah sembuh, saya sering berkunjung ke sini dan ngobrol dengan Pak Biksu.

“Wajar kita pernah melakukan kesalahan dalam hidup kita. Tapi yang terpenting, segera sadari kesalahan kita, minta maaf lalu mulailah hidup di jalan yang benar.

“Hidup ini sangat singkat, jangan larut dalam hal tak berguna. Kamu harus jadi manusia yang berguna bagi sesama. Harus berbakti pada orangtua yang telah merawat dan membesarkanmu,” begitu nasihat Pak Biksu kepada pada saya, kata Amin.

“Saya juga pernah melakukan kesalahan, pernah jadi anak yang nakal. Kamu bisa lihat dari tatto di lengan saya. Di sekolah, saya sering berbuat onar. Jadi preman, baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah.

“Sampai pada sebuah titik, saya begitu terpukul ketika melihat ibu saya menangis karena merasa bersalah, tak dapat mendidik saya menjadi anak yang baik. Sejak saat itu, saya berjanji pada diri sendiri. Saya tidak boleh lagi membuat air mata ibu menetes.

“Kalaupun menetes, itu karena air mata haru atas prestasi saya, bukan kesedihan atau penyesalan akibat ulah saya,” itu kata-kata Pak Biksu yang menyadarkan saya.

“Sejak saat itu, saya juga bertobat dan berjanji akan jadi anak yang baik. Setamat SMA, saya kuliah di Yogyakarta. Sudah jadi sarjana dan bekerja di Yogya.

“Sekarang saya dalam rangka tugas kantor ke Bandung. Selain mengunjungi orangtua dan bertemu teman, saya sempatkan main ke sini. Saya ingin ketemu Pak Biksu dan ngobrol, lagi,” Amin mengakhiri ceritanya.

Tak terasa air mataku mengalir. Benar kata Bhante, semua yang ada di dunia ini adalah netral. Pikiran kita yang membuatnya menjadi positif ataupun negatif. Kita tidak perlu mengubah hal di luar kita karena banyak hal yang tak dapat kita ubah.

Kita ubah pikiran kita dan reaksi kita terhadap suatu kejadian. Hari ini, dengan kehilangan ponsel dan dompet, tadi aku merasa ini adalah hari tersial dalam hidupku.

Sekarang sepenuhnya berbeda. Andai tadi ponsel dan dompetku tidak hilang, mungkin aku sudah menelepon ojek online dan tidak menunggu angkot sekian lama. Jika itu terjadi, mungkin aku tidak bertemu dengan Amin yang menceritakan kisah inspiratifnya.

*Sebuah Cerpen

Hendry Filcozwei Jan

Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung. 

Pengelola dua blog, yakni www.vihara.blogspot.com dan www.rekor.blogspot.com

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Hendry F. Jan

Hendry Filcozwei Jan adalah suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.

Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

http://www.vihara.blogspot.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *