• Saturday, 16 December 2017
  • Hendry F. Jan
  • 0

Di Mana Keberadilan?

 

Bi Narti,

Aku tau isi hatimu,

sejak awal aku kerja,

kau sudah senior di sini.

 

Bi Narti,

aksesbilitasmu tinggi,

meski dalam balutan kesederhanaan,

orang sering over spekulasi.

 

Bi Narti,

secara simbolis,

kau membuat suasana kerja jadi

jernih dan sejuk.

 

Bi Narti,

kau meningkatkan persatuan,

meski keberadilan tak berpihak,

doaku untukmu.

 

Bi Narti,

kau dituduh mencuri,

aku yakin kau tak bersalah,

semoga keadilan akan menang.

 

Bi Narti,

kalaupun kau diberhentikan,

tetaplah semangat,

agar kehidupan tetap terpancurkan.

Aku nyaris tertawa terbahak-bahak kalau saja aku tak dapat menahan diri. Siapa yang begitu iseng menempelkan kertas berisi puisi “Di Mana Keberadilan?” ini di kaca mading?

Suasana SMA Dwi Kencana Inspirasi masih sangat sepi. Mungkin hanya penjaga sekolah yang sudah beraktivitas. Buktinya, gembok gerbang sekolah sudah dibuka sehingga aku bisa masuk. Tapi Pak Mardi tidak terlihat, mungkin sedang membersihkan kamar mandi di lantai dua.

Perlahan aku melepas kertas HVS berisi puisi hasil print komputer yang hanya ditempel dengan selotip di keempat sisinya. Kertas puisi ini menempel pada bingkai kaca yang biasanya berisi mading atau terkadang pengumuman dari kepala sekolah.

Aku melipat kertas berisi puisi itu lalu memasukkannya ke dalam tas tanganku. Lenyap sudah keinginanku pagi ini untuk memeriksa ulangan bahasa Indonesia anak kelas  11. Hari ini aku datang pagi-pagi sekali agar bisa menyelesaikan tugasku memeriksa ulangan. Kemarin aku langsung pulang setelah habis mengajar karena ada keperluan lain.

* * *

Pikiranku masih melayang ke puisi tadi. Siapakah penulis puisi itu. Aku menduga ia salah seorang guru di sini, itu dari bait pertama puisi: “… sejak awal aku kerja, kau sudah senior di sini.”

Hmmm… tapi bisa juga ia seorang siswa di sini. Penulis puisi bisa saja mengandaikan ia jadi orang lain. Tapi yang jelas, ia seorang yang cerdas. Aku tahu, meski bahasa Indonesia-nya tidak bagus, tapi pastilah itu bukan karena ketidakmampuannya berbahasa Indonesia yang baik. Justru di sanalah kepiawaiannya menyatukan semua istilah yang sempat viral di medsos menjadi sebuah puisi menggelitik.

Ah… siapakah gerangan sang penulis puisi itu?

Aku yakin, ini pasti ada hubungannya dengan petugas kebersihan di sekolah ini, Bu Minarni. Kami menyapanya Bu Narni. Ia jadi tersangka hilangnya smartphone milik Reno, anak orang terkaya di sekolah ini. Ayahnya adalah salah satu donatur besar untuk sekolah ini. Tingkah Reno memang sangat memuakkan. Sok jagoan, jadi preman di sekolah, malas buat PR, dan tak nyaris tak ada guru yang berhasil menundukkannya.

Jangankan guru, kepala sekolah pun seakan tunduk padanya. Ayah Reno juga teman baik ketua yayasan sekolah ini.

Bu Narni jadi tersangka karena hari itu ia-lah orang terakhir pulang. Pak Mardi, penjaga sekolah yang tinggal di sekolah, hari itu sedang izin mengunjungi saudaranya. Bu Narni yang dititipi tugas mengunci semua ruang kelas dan menggembok gerbang sekolah. Meski tidak berani terang-terangan, hampir semua guru yakin Bu Narni bukanlah pelakunya.

* * *

“Met pagi Bu Lisna. Tumbén pagi-pagi sudah datang,” sapa Rifan, guru olahraga. “Oh… Pagi Pak Rifan,” jawabku. “Ada tugas yang harus kuselesaikan pagi ini,” jawabku. “Saya tinggal dulu Bu, mau menyiapkan perlengkapan olahraga untuk kelas 10 A. Olahraga adalah pelajaran pertama,” kata Pak Rifan setelah meletakkan tas-nya di meja kerjanya. “Oh… silakan Pak,” jawabku.

Aku melanjutkan lamunanku. Susah menegakkan disiplin dan susah untuk adil jika pimpinan tidak bisa tegas. Dana dalam jumlah besar yang diterima dari ortu siswa, membuat ketua yayasan pun tak berkutik.

Aku dengar dari beberapa guru, seharusnya Reno tidak naik ke kelas 11 karena nilainya jelek. Tapi apa daya, kepala sekolah, bahkan ketua yayasan memberi petunjuk bahwa Reno tidak mungkin tidak naik kelas. Pilihannya hanya 2: wali kelas harus “menaikkan” nilai Reno agar Reno naik kelas atau wali kelas keluar dari sekolah ini. Ibu Dita sang wali kelas memilih berhenti jadi guru di sekolah ini! Salut atas pilihan Ibu Dita.

* * *

“Bu Lisna, bagaimana dengan permintaan kepala sekolah. Ibu sudah memilih 2 anak yang akan mewakili sekolah kita untuk lomba puisi?” tanya Bu Susan saat kami pulang bersama. “Belum Bu. Aku baru menemukan 1 kandidat,” jawabku. Aku teringat puisi “Di Mana Keberadilan?” yang aku baca tadi pagi, tapi aku sama sekali tidak punya petunjuk, siapa penulisnya, batinku.

“Siapa Bu?” tanya Bu Susan antusias. “Ups… aku belum bisa kasih tau namanya Bu. Masih kandidat, masih harus dipelajari terlebih dahulu bagaimana kemampuannya,” kataku. “Bu Susan, saya baca sekilas di selebaran lomba, bukannya tiap sekolah diminta mengirimkan 3 karya peserta?” tanyaku.

“Iya, kita memang akan kirim 3 karya dari 3 siswa untuk lomba puisi. Tapi 1 peserta sudah ditetapkan, ibu tinggal cari 2 siswa lagi,” Bu Susan tersenyum.

“Siapa peserta pertama?” cecarku. “Kok aku belum dikasih tau?” tanyaku.

“Lho… masa’ Bu Lisna belum tau? Reno. Nanti Bu Lisna yang kebagian tugas membuatkan puisinya. Saran saya, jangan buat puisi yang terlalu bagus Bu. Kalau jadi juara 1, nanti Bu Lisna sendiri yang repot. Susah mempertanggungjawabkannya. Kalau bisa, juara harapan sajalah…” terang Bu Susan.

Aku terdiam. Akhirnya tiba juga giliranku untuk menghadapi ujian bagaimana seharusnya bersikap.

* * *

Bagaimana jadinya jika banyak lembaga pendidikan terkontaminasi uang seperti sekolah tempatku mengajar? Bukankah sejatinya seorang guru harus mengajarkan nilai kejujuran?

Semua kembali terlintas dalam benakku. Seperti film yang diputar ulang secara cepat. Ketidakadilan yang dialami Bu Narni, haruskah ia jadi korban? Aku yakin, meski tidak ada bukti, jika smartphone itu tidak kembali ke Reno, Bu Narni akan jadi tumbal.

Jika memang puisi yang tertempel di bagian luar kaca mading dan kuambil itu adalah karya siswa sekolah ini, seharusnya ia jadi salah satu kandidat untuk ikut lomba puisi. Kemampuannya dalam menulis puisi dan keberaniannya bersuara meski hanya dalam bentuk puisi anonim, layak diapresiasi. Tapi bagaimana menemukan orangnya?

Salahkah aku mengambil puisi itu sehingga tidak ada yang membaca protes lewat puisi ini? Dan terakhir, haruskah aku membuatkan puisi atas nama Reno untuk diikutkan dalam lomba?

Aku belum setahun mengajar di sekolah ini, haruskah aku mengundurkan diri dan mencari pekerjaan lain?

Huuuh…. Aku menghembuskan napas panjang. Kunyalakan laptop. Aku mulai mengetik surat pengunduran diriku.

Aku memang belum yakin akan melamar kerja ke mana, tapi untuk sementara jadi guru les privat bisa jadi pilihan. Aku benci harus mengambil keputusan ini, aku belum mampu menentang ketidakadilan secara terbuka. Aku tidak berani protes atau mengajak guru lain untuk berdemo. Tapi kupikir langkahku ini, setidaknya membuat hatiku nyaman, tidak dihantui perasaan bersalah karena menentang hati nurani sendiri.

Sebait kalimat dari Pancasila di halaman depan diary-ku selalu jadi pengingat:

Musāvādā veramaī sikkhā-pada samādiyāmi.
Aku bertekad akan melatih diri menghindari ucapan yang tidak benar.

Hendry Filcozwei Jan

Penulis cerpen Buddhis, suami dari Linda Muditavati, ayah dari 2 putra (Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan), pengelola blog www.vihara.blogspot.com dan www.rekor.blogspot.com, suka sulap dan pendiri group WA: KCB (Komunitas Cerpen Buddhis), tinggal di Bandung.

 

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Hendry F. Jan

Hendry Filcozwei Jan adalah suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.

Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

http://www.vihara.blogspot.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *