“Selamat jalan Mamaku, … Banyak rencana yang belum sempat kita wujudkan … ” status di IG seorang temanku. “Sabbe sankhara anicca Ciciku, semoga dengan jasa-jasa kebajikan yang telah dilakukan dapat mengondisikan Cici terlahir di alam yang lebih bahagia …” status rekan kerjaku. “Inalilahi Wainalilahi Rojiun, semoga husnul khotimah …” status temanku di group WA.
Aku terhenyak. Beberapa hari terakhir ini, berita kematian begitu akrab di telinga dan mataku. Buka medsos, banyak sekali berita orang-orang meninggal, juga saat menyaksikan tayangan televisi. Saat ke warung untuk membeli mi instan, aku melihat di dua gang yang berdekatan terpasang bendera kuning, tanda ada warga yang meninggal. Dan info dari pemilik warung, keduanya meninggal akibat Covid-19.
“Tok … tok … tok …” terdengar ketukan di pintu kamar kost-ku. Ujang, penjaga kost menginformasikan ada driver ojol yang mengantar makanan pesananku.
Aku sudah selesai makan siang. Semua tugas kantor sudah selesai. Biasanya aku menikmati hari Minggu dengan bangun agak siang, menyaksikan FTV, berselancar di dunia maya, atau video call dengan keluarga dan teman. Hanya itu yang aman dilakukan di saat pandemi Covid-19 ini. Hari ini aku akan menulis di blog-ku. Hal yang sudah lama tidak aku lakukan, curhat atau menulis apa saja yang ingin aku tulis. Aku bebas menulis apa saja keluh-kesahku. Semua orang bisa membacanya, aku tak khawatir karena aku menggunakan nama samaran dan tanpa foto. Kunyalakan laptop. “Oh … Covid” aku menuliskan judul tulisanku di blog.
Berita orang-orang yang meninggal akibat Covid, bukan hanya dari lingkungan terdekat, seperti dari rekan kerja, teman sepermainan, teman sekolah dulu, tapi juga dari kalangan public figure. Dari kalangan public figure ada nama Raditya Oloan, suami Joanna Alexandra, dalang Ki Manteb Sudarsono, Arief Harsono, Ketua Umum Permabudhi, Rachmawati Soekarnoputri, dan Jane Shalimar, yang meninggal akibat Covid.
Hidup jadi tidak seperti dulu lagi. Bertemu teman tidak sebebas dulu, tidak bisa saling jabat tangan, berpelukan, cipika-cipiki, ngobrol berdekatan. Protokol kesehatan harus selalu dijalankan. Cuci tangan pakai sabun, pakai masker, jaga jarak, hindari kerumunan, dan tidak bepergian jika bukan hal yang penting sekali.
Sejak pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia, semua sisi kehidupan berubah. Sekolah dari rumah, kerja dari rumah, belanja online adalah hal yang jadi keseharian. Semua sisi kehidupan terkena dampaknya. Pekerja jadi pengangguran karena terkena PHK dan pengusaha pun kesulitan keuangan karena penghasilan yang menurun drastis.
Kejadian yang tak pernah diduga oleh siapa pun. Berawal dari Kota Wuhan, Tiongkok, lalu menyebar ke seluruh dunia. Tak ada yang siap! Apa yang muncul dari pandemi Covid-19 ini? Yang baik bermunculan, yang jahat pun tidak kalah banyak.
Manusia-manusia jadi lebih peduli sesama, banyak organisasi berbagi makanan, masker, dan uang. Bahu-membahu menghadapi kejadian tak terduga ini. Tapi ada yang melihat kesulitan akibat pandemi Covid-19 ini sebagai kesempatan emas untuk mendapatkan uang di tengah kesusahan orang lain. Mereka memburu masker, hand sanitizer, vitamin, alat tes Covid-19, dan segala yang diperlukan di masa ini untuk dijual kembali dengan harga gila-gilaan. Yang terakhir heboh rebutan susu di pasar swalayan dan kelangkaan tabung oksigen.
Itu saja? Masih banyak yang lain. Dana bantuan sosial untuk masyarakat terdampak dikorupsi. Di tengah bencana, ada yang tega menggunakan tes antigen bekas demi keuntungan pribadi. Ada pula yang menjual surat keterangan bebas Covid.
Begitu banyak korban berjatuhan, tapi masih saja ada orang yang tak percaya. Ada keluarga yang mengambil paksa jenazah Covid-19 dan memakamkannya sendiri. Ada yang menantang bahwa dia berani pegang orang yang terkena Covid-19, ada yang berteriak-teriak marah saat diminta memakai masker. “Saya punya hak untuk tidak pakai masker,” katanya. Di tempat lain juga ada mahasiswa yang sudah kena Covid pun tetap ngeyel tak mau pakai masker.
Ada saja yang ngeyel tetap berkerumun, dari sekedar nongkrong di café, sampai menggelar pesta meski sudah ada larangan.
Aku menahan diri, tidak pulang ke rumah. Bukan tidak kangen dan tidak sayang orangtua dan adikku. Aku tak mau kedatanganku nanti malah membawa petaka. Apalagi orangtuaku menderita diabetes, sakit jantung, dan darah tinggi. Kami hanya melepas rindu via video call.
Smartphone-ku bergetar, pertanda ada pesan masuk. “Dibutuhkan segera, plasma darah konvalesen, golongan darah O, rhesus +, dengan persyaratan …” sebuah BC yang kuterima dari Liza, rekan kerjaku dari kantor Jakarta. Aku langsung share ke semua group WA-ku.
“Liza, yang butuh plasma konvalesen itu siapa?” tanyaku via video call WA.
“Adik tetangga saya, ia tinggal di Bandung,” jawabnya.
“Oke. Saya sudah bantu share. Semoga segera ada donor. Eh iya, bagaimana keadaan di Jakarta?” tanya saya lagi.
“Covid-19 makin mengganas, rumah sakit banyak yang penuh, jumlah yang meninggal semakin banyak, petugas pemulasaran jenazah dan pemakaman kewalahan. Nggak tau keadaan ini sampai kapan,” kata Liza dengan nada putus asa. “Sekarang ini, tetangga saya juga ada yang meninggal karena Covid. Kami sekeluarga tak berani melayat. Saya bener-benar paranoid jadinya,” kata Liza.
“Daerah dekat tempat kost saya juga begitu. Tapi saya lihat, masih banyak yang cuek. Bawa anak jalan keluar tanpa masker. Ada yang pakai masker tapi lubang hidung tidak tertutup masker, ada yang pakai masker di dagu atau di leher. Bapak-bapak dengan santai nongkrong tanpa masker. Kita minum vitamin agar kondisi fit dan tak mudah terkena Covid, eh … mereka merasa virus Corona masih kurang menantang. Mereka berani nongkrong tanpa masker, malah mereka melemahkan imunitas tubuh dengan merokok. Luar biasa!” jawabku.
“Kangen seperti dulu lagi. Bisa ngumpul bareng teman, ngobrol berdekatan tanpa masker, dan liburan. Capek dan bosan begini terus,” keluh Liza.
“Sama … Kita berharap orang-orang tidak egois, mau menahan diri. Mungkin saja mereka memang manusia super, yang kebal virus Corona, dan kalaupun mereka kena Covid, mereka adalah OTG. Tapi harus disadari, mereka bisa menjadi pembawa virus dan menularkan kepada orangtua mereka atau anak-anak mereka,” aku mengeluarkan keluh kesahku.
“Liza, waktu awal Covid-19 masuk Indonesia, aku berpikir ini hanya akan berlangsung satu atau dua bulan, lalu berakhir. Sekarang, penyakit yang awalnya ditemukan di Wuhan pada Desember 2019, kemudian menyebar ke seluruh dunia, sudah menyebabkan kita dua kali merayakan Waisak secara online. Entah kapan semua ini berakhir,” lanjutku.
“Vaksin sudah diberikan, namun varian baru Covid-19 yang semakin ganas bermunculan. Mungkin bisa disebut Covid-19, Covid-20, Covid-21, dan tak tau sampai Covid berapa,” aku berhenti sejenak. “Nenekku di Semarang kini juga sedang dirawat karena Covid. Semoga Nenekku segera sembuh, Liza minta doanya ya … Aku sangat sayang pada Nenekku. Waktu kecil aku dirawat oleh nenek, karena Papa dan Mama sibuk mencari nafkah. Aku dan Nenekku sangat dekat,” mataku berkaca-kaca. Liza hanya diam mendengar curhatan-ku.
Smartphone-ku yang satu lagi berdering. “Liza, sebentar ya, ada panggilan masuk,” kataku sambil menghampiri kasur.” “Mama memanggil …” tulisan yang tertera di layar smartphone-ku. “Hatiku berdebar kencang, ada apa ini?” batinku.
“Halo Ma …” sapaku.
“Mona, Nenek meningggal,” kata Mama sambil terisak.
Seketika suasana jadi hening. Lalu terdengar suara keras “Gubraaak … !!!”
“Mona …. Mona …,” terdengar suara Mama Mona memanggil-manggil nama anaknya.
“Mona … Mona …. Kamu baik-baik saja ‘kan?” suara Liza penuh kekhawatiran.
Tidak ada sahutan.
Catatan:
Permabudhi = Persatuan Umat Buddha Indonesia
OTG = Orang Tanpa Gejala
[MM]
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara