Dulu aku pernah menjadi seorang remaja. Dandananku sederhana, penampilanku biasa saja, bahkan bisa dikatakan standar. Nggak yang terlalu istimewa dari diriku. Fisik standar, wajah standar, prestasi pun juga standar-standar saja. Tidak ada sesuatu hal yang bisa dibanggakan banget..
Dari SD, SMP, SMA, menuju bangku kuliah menurutku tidak ada suatu hal yang sangat berkesan dan sulit dilupakan. Pengalaman pacaran juga biasa-biasa saja, bahkan seringnya aku hanya menonton dan menemani teman-temanku asik menghabiskan malam minggunya bersama kekasihnya, dan aku hanya duduk menikmati pemandangan malam, atau asik bermain di Timezone, atau hanya duduk-duduk di kafetaria sambal membaca buku dan menghabiskan makanan kesukaanku.
Padahal kata ibuku, masa SMA adalah masa paling indah…
Tapi kok rasanya aku tidak pernah mengalami keindahaan masa itu yah…nggak suram juga sih masa SMA ku, tapi nggak terlalu indah-indah banget juga..jadi kalau sekarang berkunjung ke sekolah saya di jaman SMA, guru-guru tidak terlalu mengingat saya atau berkesan banget ketika melihat saya.
Perlu beberapa menit dulu baru bisa mencerna siapa nama saya, tahun berapa angkatan saya, bahkan terkadang harus bertanya dulu siapa saja kira-kira teman seangkatan saya, barangkali satu atau dua diantaranya masih ada yang diingat oleh sang guru tersebut.
Ahh sudahlah, kok sepertinya suram sekali yang saya ceritakan..hehehe
Meskipun sekolah SMA saya itu dikenal sebagai salah satu sekolah paling borjuis dan mahal di kota saya saat itu, juga sampai saat ini sih..tapi saya kok tidak pernah merasakan keborjuisan itu. Bahkan teman-teman saya pun masih banyak yang naik sepeda atau jalan kaki ke sekolah, diantara banyak teman-teman seangkatan kami yang lain yang diantar jemput dengan mobil mewah keluaran terbaru.
Tetap ada teman kami yang baju seragamnya sampai sudah using dan tipis, bahkan ada sobekan di beberapa bagian, dimana ada teman-teman seangkatan kami yang lain yang memakai sepatu boot tinggi selutut yang baru saja dibeli di Eropa saat liburan sekolah bulan sebelumnya.
Namun kami bahagia-bahagia saja dengan kondisi itu, tidak merasakan adanya perbedaan status sosial yang mengganggu pada saat itu. Kami berteman tanpa pandang bulu, kami akrab dengan semua kalangan. Bahkan dengan security penjaga sekolah kami, tukang bersih-bersih di sekolah kami, dan penjual es jeruk serta batagor di depan sekolah kami pun, saya akrab dengan mereka, bahkan hingga hari ini.
Keakraban itulah yang lebih saya ingat dibandingkan pesta-pesta sweet 17th yang hampir setiap minggu ada undangan baru di meja saya, merayakannya di restoran-restoran dan ballroom termutakhir di masa itu setiap hari Sabtu malam. Tapi entah mengapa saya sulit jika diminta mengingat-ngingat mana pesta yang paling berkesan, mana yang paling tidak berkesan. Rasanya semua berlalu begitu saja untuk urusan senang-senangnya. Hehehe
Beda hal nya dengan anak remaja jaman sekarang, entah mengapa mereka itu rasa-rasanya masa SMA nya lebih menyedihkan lagi dari saya. Menyedihkannya begini, di kala era gadgeting semakin tinggi sekarang ini, dari mulai membuka mata di pagi hari hingga menutup mata kembali di malam hari, tangan tidak terlepas dari gadgetnya barang sedetikpun.
Meskipun sedang mengikuti pelajaran di kelas, cara apapun akan dilakukan untuk mencuri-curi tetap melihat gadgetnya dan melihat ada pesan dari siapa yang masuk, entah dari kekasih hatinya atau dari sahabatnya.
Ketika ditanya siapa nama teman di bangku sebelahnya, padahal sudah masuk sekolah satu minggu, mereka belum tahu. Ketika ditanya hari ulang tahun ibunya, mereka butuh waktu lama sekali untuk menjawab. Boro-boro menjawab, seringnya jawabannya malah “Nggak tau”,,, “Nggak Inget”,,, “Ehmm, coba aku liat di FB dulu”… waduh…eladalah…anak jaman sekarang….
Saya kok jadi semakin prihatian melihat anak remaja jaman sekarang ini, yang dengan tetangga sebelah rumahnya saja nggak pernah bertegur sapa, apalagi kenal nama dan sekolahnya dimana.
Sudah nggak ada lagi momen-momen menantikan kartu ucapan selamat natal dan tahun baru dari teman-teman sekelas di tong surat mereka ketika menjelang liburan akhir tahun, sudah nggak ada lagi susah payah berebut diskon untuk membeli majalah kesayangan yang sudah limited di bulan itu, nggak ada lagi namanya keringetan untuk merekam ulang rekaman tape dari band kesayangan karena kalau harus beli ori harganya cukup mahal rekkkk untuk kantong anak SMA.
Kebersamaan-kebersamaan yang saya miliki dulu di jaman SMA saya, misalnya menunggu jemputan yang cukup lama pas pulang sekolah, tanpa adanya HP, membuat kami mau nggak mau cuman bisa ngobrol aja satu sama lain, beli jajanan bersama, makan satu bungkus batagor rame-rame kalo lagi tanggal tua.
Neriakin temen-teman sekelas kami yang lagi pedekate. Apalagi ketika tau kalo mereka ternyata udah jadian. Wah semakin rame nyorakinnya. Kemudian rasa malu kami ketika harus disuruh keluar kelas karena lupa ngerjain PR hari itu, atau wajah yang memerah ketika dibagikan nilai ulangan tapi nilai saya yang paling rendah sekelas.
Lalu betapa girangnya kami jika ada acara sekolah pada hari tertentu, dan kami diberikan pengumuman kalau sekolah akan memulangkan kami lebih awal. Wahhh senangnya…apalagi kalau lagi mendapat tugas untuk keluar kelas untuk rapat pengurus OSIS, atau meminta bantuan dana ke kakak kelas kami, atau memberikan pengumuman buat teman-teman kami di kelas-kelas yang lain.
Kebetulan saya waktu itu pernah menjadi wakil pengurus OSIS di SMP dan SMA, jadi ya lumayan familiar deh dengan pengalaman beginian.
Kok hal-hal sederhana dan kecil begitu sudah membuat kami begitu girang dan senang ya?
Tapi balik lagi ke anak SMA jaman sekarang, saya kok susah sekali ya melihat senyuman bahagia dan lepas dari wajah-wajah mereka? Sepertinya sulit sekali untuk hanya memberikan satu senyuman yang manis kepada orang yang baru dikenalnya.
Apakah rasa tidak aman dan ancaman-ancaman bahaya di jaman sekarang bagi para anak-anak sekolah segitu berpengaruhnya bagi kondisi kesehatan mental mereka? Sampai-sampai hanya untuk memberikan salam atau berpamitan saja ke orang yang baru dikenal begitu tabu nya?
Di jaman yang semakin canggih, maju dan mutakhir ini, kenapa semakin sedikit kebahagiaan dan keceriaan yang kita lihat dari wajah-wajah remaja jaman sekarang? Mengapa tersenyum dan tertawa itu begitu mahal harganya bagi mereka?
Sudah tidak adakah lagi sentuhan-sentuhan kehangatan dengan mengobrol sejenak dengan tukang bersih-bersih sekolah? Sudah tidak ada lagikah momen untuk saling bertukar sapa dan bercanda ria dengan penjual es jeruk di depan sekolah? Sebegitu sibuknya kah anak SMA jaman sekarang dengan berbagai les, tuntutan belajar, serta kegiatan-kegiatan lainnya sehingga security di skeolahnya saja tidak kenal?
Belum lagi ditambah dengan banyaknya keluhan-keluhan ”mood swing” yang sering mereka gadang-gadang dan banggakan ketika bertemu dengan psikolog di ruang konseling? Kemudian setelah berkonsultasi dan mendapatkan arahan, bukannya semakin memperbaiki diri, tapi malah bangga dengan dirinya, dan esok harinya dijadikan bahan bercerita ke teman-teman sekelasnya.
Bahwa mereka sudah ke psikolog dan mendapat diagnosa ”mood swing”.
Saya kok masih nggak paham dimana kebanggaannya dengan menyandang status “penderita mood swing”?
Bukankah lebih bangga untuk menyandang gelar pemegang nilai ujian dan prestasi terbaik di sekolah? Dan ketika hari kelulusan tiba, orangtua kita dipanggil namanya untuk maju ke depan dan mendapatkan piala kehormatan itu dari sang kepala sekolah?
Bukannya lebih membanggakan bisa menginspirasi teman-teman satu angkatan dengan memiliki prestasi di bidang non akademik? Misalnya jadi juara karate tingkat daerah, lomba menyanyi di acara 17 Agustusan, atau menjadi atlet badminton yang dikirim ke tingkat nasional?
Apakah tekanan belajar membuat mereka-mereka ini menjadi kaku dan datar ekspresinya ketika bertemu dengan orang lain? Hanya sibuk memandangi gadgetnya, mengecek siapakah teman-teman seangkatannya yang akan memposting feed tentang gaya terbaru fashion di sekolahnya, atau postingan tentang liburan akhir tahun ke luar negeri yang begitu prestise dan membanggakan?
Marilah kita sebagai pendidik, pemerhati pendidikan, orangtua, bersama-sama menjadikan hal ini sebagai sebuah renungan, apa yang telah berubah dan tidak lagi dimiliki anak-anak kita di jaman sekarang? Terlalu banyak kah pengaruh teknologi masuk ke dalam pemikiran dan sanubari mereka? Sehingga kepekaan terhadap lingkungan social pun menjadi semakin jauh berkurang?
Atau kita sebagai orang tua yang terlalu banyak menuntut anak kita dengan berbagai kegiatan, les, kursus agar prestasinya tidak kalah dengan anak tetangga sebelah? Supaya kita tidak malu jika nanti ketika arisan ditanya oleh orangtua murid yang lain, ranking berapa anak kita di sekolah?
Atau kita sendiri yang sudah mulai jarang menyentuh hati anak-anak kita dengan obrolan-obrolan ringan dan hangat? Mengajak mereka untuk lebih peduli dengan lingkungan sekitar dan orang lain melalui kegiatan-kegiatan social dan aksi kepedulian? Ataukah kita yang terlalu sibuk mengejar materi duniawi hingga melupakan bahwa anak-anak kita adalah harta terpenting? Untuk apa segala materi yang kita cari jika bukan untuk membahagiakan hati anak-anak kita?
Tapi sudahkah mereka bahagia?
Terlebih lagi, sudahkah anda sendiri bahagia dengan kehidupan anda saat ini?
Karena orangtua yang bahagia dan penuh cinta, rumah yang penuh kehangatan dan canda tawa adalah kunci kebahagiaan seorang anak, kunci prestasi yang baik bagi seorang anak, pengunci seorang anak dari pengaruh-pengaruh negative di jaman sekarang. Karena jika “Rumah” adalah tempat berpulang yang paling nyaman di dunia ini, mengapa harus mencari kebahagiaan lagi di luar sana?
Marilah kita bangun Rumah yang bukan hanya sekedar “Rumah”, namun menjadi “Tempat” yang paling nyaman untuk berpulang bagi diri kita dan anak-anak kita terlepas dari semua kegiatan yang telah usai di sepanjang hari. Maka generas-generasi berikutnya yang penuh cinta dan kegembiraan akan terus berkembang, menyinari kehidupan ini, dunia ini, dan menjadikan bumi ini tempat yang lebih indah untuk ditinggali.
Menarik kan ngikutin artikel dan tulisan di laman ini. Kalau masih penasaran, kami menyediakan tulisan-tulisan lain yang juga asik untuk dibaca mengenai dunia Psychology, Love, Life and Beauty dari Kak Rani dan Tim. Simak terus yah update artikel terbaru dari kami…
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara