• Thursday, 19 March 2020
  • Ngasiran
  • 0

Hasym Wihyawari (Mahasiswa STAB Nalanda dari Papua)

Dusun Krecek, 10 Maret 2020. Teh manis sudah tersedia di atas meja saat saya bangun pagi. Di depan rumah tempat saya tinggal, Bapak Musiman dan Ibu Tuminah terlihat sedang memangkas bunga hias. Aku keluar dengan maksud membantu mereka. Dari beranda rumah ku arahkan pandanganku ke kejauhan melihat sepasang gunung.

“Bapak, itu gunung namanya apa?” tanyaku mengawali perbincangan dengan Bapak dan Ibu. “Sebelah kiri Gunung Sumbing dan yang kanan Gunung Sindoro,” kata Bapak. “Itu sangat indah Gunung Sindoro,” kataku. Dengan sinar matahari yang baru terbit dari ufuk timur, pemandangan sangat luar biasa dari depan rumah. Pagi itu waktu bersama keluarga baru kami habiskan dengan saling ngelucu, hingga panggilan dari Ibu untuk sarapan pagi.

“Bapak, kakak ayok sarapan dulu,” ajak Ibu Tuminah. Dengan spontan saya menjawab “Iya Ibu.” Kemudian kami lahap menikmati makanan yang disajikan dengan penuh cinta Ibu Tuminah. Di tempat ini saya benar-benar merasakan keluarga yang sesungguhnya.

Selesai makan pagi, Roni dan Catari – kawan dari STAB Nalanda datang ke rumah. Mereka mengajak jalan ke Curug Krecek bersama Mulatno dan beberapa anak dusun. Hampir setengah hari kami menghabiskan waktu untuk menikmati air terjun yang menjadi salah satu destinasi wisata Dusun Krecek. Di tempat itu juga kami mendapatkan foto-foto indah.

Bapak Musiman sudah berangkat ambil rumput (ngarit) sekembalinya aku dari curug. Di rumah hanya ada Ibu Tuminah. Melihat aku duduk sendirian di rumah, Ibu datang dan mengajak aku ngobrol. Ibu bercerita kehidupan mereka sehari-hari. “Ibu sama Bapak dulu pacaran tidak?” aku bertanya dan Ibu menjawab tidak. Saya pun kaget dan bertanya kembali “Ibu dan Bapak tidak pacaran?”

“Kami tidak pacaran, tapi langsung menikah, karena Bapak menyukai aku,” kata Ibu. aku pun tersipu malu mendengarnya kata Ibu Tuminah. Katanya dulu tidak suka menikah dengan Bapak Musiman tapi lama kelamaan rasa sayang tiba-tiba muncul karena nyaman. Kata Ibu mereka hidup damai dalam membangun keluarga hingga sekarang di tahun 2020. Dari pernikahan mereka dikaruniai satu orang anak yang dikasih nama Mulatno. Kata Ibu, ia masih ingin tambah satu anak lagi supaya ada teman.

Hari itu pelajaran yang aku dapat adalah tentang alam, Dusun Krecek yang indah dan juga melihat kembali kehidupan sebagai satu keluarga. Pelajaran yang saya ambil dari keluarga Bapak Musiman dan Ibu Tuminah dari desa Krecek, Temanggung. Di Dusun ini, masyarakatnya ramah, sopan, sapa dan senyum. Mereka menunjukan budaya asli Nusantara kita, budaya sesungguhnya Indonesia.

Dusun Krecek bukan hanya menjaga nilai-nilai luhur saja, mereka menerapkannya dalam kehidupan bersama, membuka mata kepada setiap orang yang datang untuk belajar sebuah nilai. Yaitu kehidupan berbudaya, sebuah kehidupan yang harmonis dalam keberagaman.

Hasyim paling depan

Yulia Lio (Peserta dari Lampung)

Saya bisa bilang saya beruntung, karena saya tadinya yakin tidak bisa ikut ke acara ini dikarenakan saya sudah ada jadwal sebelumnya. Ternyata alam berbicara lain kepada saya, karena acara yang saya akan ikuti yang bertepatan dengan acara Nyadran ini dibatalkan. Saya dengan sigap dan gerak cepat beralih mendaftarkan diri ke acara ini.

Saya tertarik untuk mengikuti acara ini, dan mempelajari budaya dusun ini yang kabarnya sudah dari leluhur mempertahankan tradisi dari Ajaran Buddha. Saya menempuh perjalanan yang cukup panjang dari Lampung seorang diri demi mengikuti acara ini. Ternyata keletihan saya terbayar saat saya tiba ke dusun ini. Dari sebelum acara ini dibuka, saya sudah disambut dengan keramahan penduduk desa dan induk semang saya.

Saya merasa bahagia di sini, di mana saya tidak merasa sendiri dan kecil karena saya bersama saudara dalam Dharma. Namun saya juga cukup terkejut karena saya juga bertemu dengan peserta lainnya yang berasal dari ragam agama yang juga hadir untuk mencicipi kegiatan ini secara langsung. Di sini, kami bersama menyatu sebagai manusia yang berbudaya merayakan perdamaian dan persatuan manusia dalam keindahan naungan Dusun Krecek.

Yulia Lio memakai baju putih

Elma Ayu Suryani (Mahasiswi Universitas Negeri Semarang)

Awal mula saya mengetahui Dusun Krecek karena disarankan oleh dosen pembimbing saya untuk meneliti tentang sastra Buddha. Saya mencari refrensi di internet dan menemukan situs berita buddhis BuddhaZine.com. Dari itulah saya mendapat ide untuk meneliti tradisi potong rambut gombak di Dusun Krecek.

Pada bulan Febuari saya pertama kalinya datang ke dusun ini. Tidak ada yang kenal di dusun ini, tetapi warganya sangat ramah dan mengarahkan saya untuk bertemu Pak Kadus. Hari ini kedua kalinya saya mengunjungi Dusun Krecek, tak pernah kapok rasanya saya berkunjung ke sini dengan medan jalan yang cukup jauh bagi saya kalau dari Unnes, dan saya hanya berdua dengan teman saya bernama Mey Lusi. Dia sangat antusias ketika saya menawarkan untuk mengikuti kegiatan ini, dan dia bersedia menemani dan ingin menambah wawasan di Dusun Krecek ini, dia sangat senang sekali ketika sudah masuk di Dusun Krecek.

Suasana Krecek yang sangat damai dan toleransi antar agama sangat bagus membuat saya betah di sini. Kebetulan saya kedua kalinya ke sini dengan cuaca yang cerah, awan yang indah dan Gunung Sindoro yang tegak terlihat jelas.  Hanya saja saya belum terbiasa dengan anjing-anjing di sini. Sebenarnya saya suka tapi masih takut karena memang belum terbiasa mungkin hari-hari selanjutnya di sini bisa lebih santai dan tidak takut lagi.

Tujuan saya ke sini sebenarnya ingin mencari data bahan skripsi. Kebetulan ada acara tradisi Sadranan Perdamaian. Hari pertama acara ini yaitu perkenalan, saya datang ketika peserta lain sudah kumpul, saya merasa malu dan grogi saat disuruh perkenalan diri saya, tapi seiring berjalannya waktu saya merasakan kenyamanan di sini dan peserta lain juga sangat friendly.

Malam pukul 19.00 acara pembukaan pun dimulai, acara kenduri dan makan bersama, baru kali ini saya makan kenduri dengan banyak orang dan makanan sepanjang itu. Walaupun saya juga anak desa, belum pernah merasakan hal semacam ini. Saya sangat senang malam ini, walaupun rumah untuk istirahat saya dan teman saya di ujung Dusun Krecek, yaitu rumah Bapak Darmono. Kami berdua disambut di keluarga ini. Sangat senang rasanya. Dan saya ingin lebih tahu dan menambah wawasan kehidupan masyarakat di Dusun Krecek ini. Selain itu ingin menambah pengetahuan tentang nyadran di dusun ini.

Elma memakai jilbab abu-abu

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *