Setiap orang pasti mengenali rasa iri. Entah mereka pernah mengalaminya, atau melihat orang yang saling iri hati satu sama lain. Mengapa orang merasa iri hati terhadap orang lain? Jawaban singkatnya, sebagaimana diuraikan oleh Antonio Cabrales, peneliti dari Universitas Madrid, adalah karena rasa iri hati sudah ada di dalam genetik manusia.
Rasa iri memiliki peranan besar di dalam perkembangan manusia sebagai spesies. Ia membantu manusia untuk memperoleh sumber daya yang memang terbatas dalam persaingan dengan manusia lain, ataupun spesies lain. Di dalam kelompok purba, rasa iri memacu orang untuk memiliki lebih banyak harta benda, daripada orang-orang lainnya. Pemilik harta benda terbanyak lalu dianggap sebagai orang yang paling tepat untuk membangun keluarga yang unggul, sekaligus menjadi pemimpin kelompok. (Kupczik, 2014)
Rasa iri
Di dalam tradisi filsafat Eropa Abad Pertengahan, rasa iri hati dianggap sebagai salah satu dosa terbesar. Memang, di balik rasa iri, ada perasaan tidak nyaman yang bercampur aduk, mulai dari marah, cemas dan sebagainya. Pendek kata, iri hati adalah sebuah perasaan yang sama sekali tidak nyaman.
Rasa iri muncul, ketika orang melihat orang lain lebih berhasil daripadanya, baik dalam soal ekonomi, keluarga, prestasi dan sebagainya. Orang tidak bisa menerima sebuah keadaan, bahwa ada orang yang lebih baik dan lebih beruntung daripadanya. Jika tidak dikelola dengan seksama, rasa iri bisa mendorong orang bertindak jahat. Ia tidak hanya menciptakan penderitaan bagi orang yang mengalaminya, tetapi juga pada orang lain yang menjadi objek iri hatinya.
Kajian ilmiah
Iri hati juga banyak menjadi perhatian para ilmuwan. Tidak hanya para filsuf dan psikolog, para ilmuwan politik dan sosiolog juga tertarik terhadap tema ini. Ini terjadi, karena iri hati memainkan peranan besar di dalam tindakan seseorang, terutama dalam tingkat politik dan ekonomi. Selain amarah dan takut, iri hati juga mengandung kesedihan, begitu kata Rofl Haubl, peneliti dari Universitas Frankfurt. Orang merasa sedih, karena orang lain lebih berhasil daripada dirinya.
Haubl melakukan penelitian tentang iri hati melalui kuesioner yang ia sebar kepada 2500 orang di Jerman Timur dan Barat. Dari penelitiannya terlihat, bahwa perempuan lebih sering merasakan iri hati, ketika ia melihat ada orang lain yang lebih berhasil daripada dirinya. Pria juga memiliki emosi yang sama, walaupun dengan jumlah yang lebih sedikit, namun dengan tingkat iri hati yang lebih dalam.
Haubl lalu membagi dua jenis rasa iri hati. Pertama adalah rasa iri hati yang menginginkan kegagalan orang lain. Sumber dari rasa iri hati ini adalah kebencian, ketakutan dan kesedihan. Ia bagaikan pisau bermata dua, yakni melukai diri sendiri dan orang lain.
Kedua adalah rasa iri hati yang berpijak pada keadilan, yakni dorongan untuk menciptakan keadaan yang lebih adil bagi semua, dan bukan hanya untuk beberapa kelompok elit semata. Hal ini sudah terjadi sejak lama. Rasa iri hati merupakan ekspresi dari rasa keadilan yang mendalam untuk perubahan sosial yang mendasar. Ini lalu menjadi gerakan sosial yang menciptakan perubahan sosial di masyarakat.
Dalam arti ini, kita bisa melihat, bahwa rasa iri hati juga memiliki sisi positif. Rasa iri hati, sebagaimana dikatakan Haubl, bisa mendorong orang untuk bekerja lebih baik dan rajin. Dalam soal bisnis, rasa iri bisa mendorong orang meningkatkan mutu bisnisnya, supaya bisa mengalahkan saingannya. Ini berlaku baik dalam sektor jasa maupun barang.
Zen dan rasa iri
Lepas dari sisi positifnya, rasa iri tetap merupakan sebentuk penderitaan. Ia menciptakan rasa kesepian, stress, depresi dan bahkan penyakit fisik. Dalam jangka panjang, sebagaimana dicatat oleh Kupczik, rasa iri menurunkan kemampuan untuk berkonsentrasi. Sarah Hill, peneliti dari Texas, bahkan menemukan, bahwa rasa iri hati di dalam dunia olahraga justru menurunkan kinerja para atlet.
Haubl juga menegaskan di sisi lain, bahwa rasa iri hati tumbuh di dalam proses pendidikan. Rasa iri terhubung erat dengan rasa tidak pernah cukup di dalam memiliki sesuatu. Rasa ini tumbuh dari keteladanan orang tua, atau dari budaya keluarga. Jika tidak disadari dan dikelola dengan tepat, rasa iri dan rasa tidak pernah cukup ini bisa membawa penderitaan panjang di dalam hidup seseorang.
Belajar dari tradisi Zen Buddhis, langkah terpenting untuk mengelola iri hati adalah dengan menyadarinya. Orang menyadari pola iri hati yang muncul di dalam pikirannya. Iri hati juga seringkali melibatkan emosi yang kuat, seperti marah, takut dan sedih. Hal ini pulalah yang perlu disadari sepenuhnya, ketika ia muncul dalam diri.
Iri hati tidak harus ditekan. Ia juga tidak harus diekspresikan. Ia hanya perlu disadari sebagai gerakan emosi sesaat dari kebiasaan yang terpola sejak lama. Seperti semua emosi lainnya, rasa iri hati itu sejatinya kosong. Ia datang dan pergi, serta tak memiliki inti, seperti layaknya asap atau awan.
Di dalam kesadaran semacam ini, rasa iri lalu bisa digunakan seperlunya. Orang memiliki rasa iri, tetapi tidak melekat padanya. Rasa iri lalu bisa digunakan untuk mendorong keadilan yang lebih besar di dalam hidup bersama. Ia juga bisa digunakan untuk mendorong orang untuk meningkatkan mutu hidup ataupun kerjanya. Di titik ini, iri hati tidak lagi mengandung emosi-emosi jelek, tetapi justru mengandung kebijaksanaan hidup yang mendalam.
Reza A.A Wattimena
Pelaku Zen, tinggal di Jakarta
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara