• Sunday, 4 February 2018
  • Mariani Dewi
  • 0

Ga salah kalian suruh anak orang jadi guru? Harusnya dilatih jadi pengusaha, biar makmur.”

“Anakmu sekolah gak? Perlu guru gak?”

“Ya perlu, tapi jangan suruh orang jadi guru.”

Trus siapa yang jadi guru?”

Cuplikan ini bukan dari komedi, tapi kisah nyata dan terjadi tidak hanya sekali. Biarpun latah, kekhawatiran mereka ada dasarnya. Untungnya, ini belumlah akhir dari cerita.

Gaji guru lebih rendah dari gaji buruh

Untuk menjadi guru pelajaran apa pun, guru harus kuliah minimal 4 tahun. Beberapa sekolah, terutama yang ada di kota-kota besar, sudah memberikan gaji yang cukup layak bagi guru-guru mereka. Tapi masih banyak guru-guru yang diupah lebih buruk daripada gaji buruh pabrik dan dampaknya ini sangatlah mengenaskan.

Guru-guru ini merasa bersalah kepada keluarga mereka karena tidak mampu menghidupi mereka dan tidak bisa upgrade kemampuan mereka; mau mengabdi tapi sengsara; tidak mengabdi tapi tidak sesuai panggilan hati.

Misalnya, tahun lalu tim Program Beasiswa Guru Buddhis mendapat permintaan spesial untuk membantu menguliahkan seorang guru TK, bernama Bu Iis, agar bisa dapat gelar sarjana pendidikan anak usia dini (PAUD).

Ini akan membantu kebutuhan akreditasi sekolah dan juga bantu mereka memahami teknologi mengajar yang cocok untuk anak balita. Karena sudah berbekal gelar sarjana agama, beliau hanya perlu transfer SKS dan menambah 2 tahun lagi. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya beliau diterima jadi penerima beasiswa—tapi tim malah mendapat telepon yang mengejutkan.

“Terima kasih sudah kasih saya beasiswa. Sekolah kami memang perlu saya kuliah. Tapi saya tetap tak bisa kuliah,” kata Bu Iis. Mengapa?

“Saya tidak mampu bayar ongkos transportasi ke kampus. Untuk transportasi saja, gaji saya bisa habis. Apalagi kalau kuliah pasti ada print, fotokopi begitu. Anak saya masih kecil, butuh biaya. Saya tidak sanggup.”

Kisah beliau agak menggembirakan. Beliau akhirnya dibantu biaya transportasi, dan dasar memang guru yang jujur, kadang-kadang beliau minta jangan ditransfer dulu karena ‘masih ada sisa uangnya’.

Kisah beliau tidak unik, karena hampir semua guru-guru di sana bernasib serupa. Bahkan ada yang gajinya kurang dari Rp 500.000.

“Saya dan rekan-rekan kerja dari pagi hingga siang waktu anak sekolah. Lalu setelah anak-anak pulang, kami siapkan materi untuk hari berikutnya. Kadang sore baru pulang. Tapi kami juga paham karena memang sekolah tidak ada uangnya.

“Anak-anak dari keluarga sederhana, bayar uang sekolah ala kadarnya. Bhante yang mendukung sekolah harus mengasuh banyak sekolah padahal dananya terbatas. Kami juga tak bisa menuntut. Tapi situasi ini sangat berat.

“Ada teman-teman yang malah nombok untuk mengajar karena gajinya bahkan tak cukup untuk beli bensin dari rumah ke sekolah. Tapi kami mengajar karena kami diperlukan anak-anak ini. Kalau tidak, anak-anak sekolah di mana?”

Tapi apakah profesi Pahlawan Tanpa Tanda Jasa ini penerang masa depan anak memang hidupnya harus kelam terus?

Apakah mungkin membuat profesi guru menjadi profesi unggul?

Ada satu buku terbitan Direktorat Pajak yang berjudul ”Berbagi Kisah & Harapan: Perjalanan Moderninasi Direktorat Jenderal Pajak”. Buku ini berisi kisah-kisah pribadi yang ditulis oleh para petugas pajak dan di bagian Sekapur Sirih-nya tertulis: “Sebagian tulisan menggambarkan betapa pahit dan getirnya bergulat di masa lalu mempertahankan integritas dengan gaji yang rendah…

“Di sejumlah tulisan kita menemukan para petugas pajak yang dahulu tidak berani atau malu memberitahu secara terbuka bahwa dia bekerja di Kantor Pajak, maka setelah modernisasi mereka merasa punya harga diri untuk mengaku bekerja di Kantor Pajak. Menarik untuk dicermati bahwa untuk petugas pajak faktor perbaikan gaji berperan sangat penting.”

Para petugas pajak bercerita betapa mereka mendambakan lingkungan yang membuat mereka tak harus memilih antara kesejahteraan anak mereka dengan integritas mereka.

Betapa mereka ingin bekerja dengan baik dan benar sesuai dengan hati nurani, tapi bagi mereka hampir mustahil karena untuk hidup layak saja tidak bisa. Tapi kondisi itu berubah total setelah reformasi. Jika dulu orang yang mau jadi petugas pajak sering dianggap karena mau menyelewengkan kekuasaan, sekarang menjadi pegawai pajak adalah suatu kebanggaan.

Cerita-cerita itu mengingatkan pada nasib guru-guru di lingkungan Buddhis di masa kini, terutama yang berkarya di daerah. Mereka mendambakan untuk mengabdikan diri membangun masa depan anak-anak orang lain, tapi masa depan anak mereka sendiri terasa gelap.

Sekolah kecil pasti merugi. Jadi gimana?

Ada seorang teman yang menjalankan sekolah, dan dia bilang sekolah minimal harus memiliki ratusan siswa untuk bisa tutup ongkos operasional. Tapi sekolah-sekolah di daerah, mana mungkin bisa punya murid ratusan orang? Jadi wajar jika keuangan sekolah tidak memadai.

Di luar negeri, lembaga-lembaga pendidikan sudah lumrah mendapatkan sumbangan finansial dari para dermawan. Harvard University, National University of Singapore, Cambridge University dan masih banyak lagi universitas top selalu bisa menelurkan lulusan-lulusan terdepan karena staf mereka selalu terlatih dan fasilitas mereka selalu update. Dana sumbangan dermawan berperan sangat besar. Di sana, masyarakat sudah mengerti pentingnya pendidikan bagi masa depan bersama.

Kita sering berdoa ‘semoga semua mahkluk berbahagia’, tapi kita lupa untuk melakukan apa yang selayaknya kita lakukan. Masa lalu sudah tidak bisa ubah, kondisi pendidikan kita sudah sedemikiannya. Tapi sampai kapan kita berlindung di balik kedok kepasrahan, padahal saat ini begitu banyak yang masih bisa kita lakukan untuk mengondisikan masa depan yang lebih baik.

Ada banyak caranya, misalnya dukunglah anggota-anggota Sangha yang sedang mendirikan sekolah atau menjalankan sekolah, bantulah sekolah-sekolah yang ada, bantulah komunitas-komunitas yang bergerak di bidang pendidikan. Bantuan pun bisa beraneka-ragam, bisa berupa dukungan finansial atau berbagi pengetahuan yang memang relevan untuk pendidikan.

Seperti ketika Direktorat Pajak melihat mirisnya kondisi perpajakan, mereka bukannya memecat semua petugas pajak, tapi melakukan reformasi sehingga sekarang menjadi salah satu tulang punggung negara kita.

Seyogianya kita juga belajar dari dunia sekuler, bahwa bukanlah dengan menghentikan orang menjadi guru, tapi tugas kita sebagai umat Buddha adalah membantu meningkatkan kesejahteraan guru agar mereka bisa menjadi guru yang menjadi salah satu tulang punggung Buddhadharma di bumi Indonesia.

Yang Mulia Thich Nhat Hanh pernah berkata: Happy Teacher Changes the World (Guru yang Bahagia Dapat Mengubah Dunia). Will you help them change the world?

Mariani Dewi

Bekerja sebagai admin, dosen, penerjemah, dan copywriter. Pengurus di gurubuddhis.org. Mencoba belajar dan menerapkan Buddhadharma dalam kehidupan sehari-hari.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *