• Friday, 20 September 2019
  • Hartini
  • 0

Penyair Sufi, Bidil, secara puitis menulis:

Ombak dan gelombang tidaklah berbeda dengan laut

Selain (perbedaan) dalam nama 

Yang lainnya tidaklah mewujud

Dengan menyangkal dirimu sendiri

Kita menuai penegasan tentang Dikau 

Kami harus berjalan melalui taman

Melalui penyangkalan tentang warna kami sendiri

Ketika debu-debu kami, laksana sang pagi

Dilontarkan pada angin

Kami hanya mencerahkan cermin dari Sang Surya

Bidil menjabarkan tentang kemutlakan Realita dari Tuhan melalui puisi sufinya. Saya dengan sangat bersemangat tertangkap oleh kebijaksanaan sufinya karena ia juga mencerminkan kesempurnaan kebijaksanaan Zen.

Ombak dan lautan

Ombak dan gelombang berasal dari lautan. Dengan kata lain, lautan menciptakan ombak dan gelombang. Dengan ketidakhadiran lautan, ombak, dan gelombang juga tidak ada. Tetapi sebaliknya, bahkan jika ombak dan gelombang tidak ada, lautan tetap ada. Demikian pula halnya, makhluk tidak ada tanpa Tuhan Sang Pencipta.

Ombak dan gelombang merupakan fenomena tidak kekal dan dapat berubah. Demikian pula halnya, makhluk ciptaan atau fenomena adalah tidak kekal dan dapat berubah. Lautan merupakan nomena atau penyebab yang permanen dan tidak dapat berubah.

Kebenaran tentang kemanunggalan

Sufi yang terhormat Ibn ‘Arabi mendefinisikan Tuhan sebagai Keberadaan Yang Esa. Dalam agama Buddha, segalanya yang merupakan Hakikat Yang Esa mengacu pada Anatta atau Sunyata. Anatta adalah kondisi tanpa aku. Sunyata merupakan kekosongan dari identitas diri.

Orang pada umumnya selalu memahami diri mereka sebagai individu yang saling tergantung terhadap yang lain. Kita memisahkan diri dari Keberadaan yang Manunggal, Tuhan. Pemisahan ini menghasilkan dosa atau karma yang tidak menguntungkan.

Manusia menjadi penuh dosa atau jahat saat mereka memisahkan diri mereka dari Tuhan. Sebagai contoh, ketika ombak tsunami dipisahkan dari lautan, ia menjadi raksasa pembunuh yang berbahaya. Saat ombak tidak terpisah dari lautan, ia berada dalam kendali lautan dan berhenti bersifat merusak.

Saat ia sepenuhnya terpisahkan dari lautan, ia menjadi membahayakan. Demikian pula, saat manusia dikendalikan oleh keberadaan Tuhan atau Zen, maka ia penuh kedamaian dan tidak membahayakan. Semua agama dunia dapat dipertemukan melalui kebijaksanaan tentang filosofi proses.

Saat seseorang menyangkal dirinya, maka ia kembali pada Hakikat Manunggal dari Tuhan. Secara Buddhis bisa dikatakan, saat seseorang menyangkal dirinya, pada saat kembali pada jati diri yang sejati dari Ketanpaakuan.

Kita hidup dalam taman surgawi atau tanah suci saat seseorang mengabaikan identitas diri di dunia. Identitas diri atau jati diri tidak pernah ada.

Bidil menulis dengan puitis,

Dari segala yang memasuki lingkup pertumbuhan

Beserta semua yang dijadikan pokok pembicaraan

Jika kau membuka matamu

Keindahan-Nya terwujud di sana

Dan jika kamu mendengarkannya

Kamu akan mendengar suara-Nya

Buddha menyatakan, “Setiap makhluk hidup pada hakikatnya diberkahi dengan hakikat Buddha.” Akibat kemelekatan dan gagasan pikiran yang salah, maka hal ini tidak disadari.

Sutra Avatamsaka dari agama Buddha Mahayana membabarkan konsep tentang Jati diri kosmis (Dharmadhatu) dalam pengertian yang terkait dengan prinsip kemunculan yang saling bergantungan (Pratityasamutpada). (Diterjemahkan dari tulisan Wong Weng Hon)

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *