• Friday, 12 June 2020
  • Ngasiran
  • 0

Pada umumnya masyarakat Kabupaten Temanggung mengenal (minimal pernah dengar) nama Desa Traji. Pasalnya Desa yang berada di Kecamatan Parakan itu mempunyai tradisi unik yaitu, ritual kirab pengantin lurah pada malam pergantian tahun baru, 1 Suro.

Pada ritual itu kepala desa (lurah) bersama istri didandani layaknya pengantin baru. Dengan aneka sesaji berupa jajanan pasar, gunungan hasil bumi, dan penerangan obor mereka diarak dari kantor kepala desa menuju Sendang Sidukun, sebuah mata air yang oleh masyarakat sekitar dipercaya mempunyai nilai historis.

Uniknya ritual itu tak hanya menarik perhatian warga sekitar tapi juga turis mancanegara. Karena itu, Desa Traji menjadi salah satu desa yang paling dikenal di Kabupaten Temanggung. Namun siapa yang menyangka bahwa di desa ini terdapat sebuah vihara kecil dengan sejumlah orang yang memegang teguh ajaran Buddha dharma.

Vihara Metta Lokha

Vihara Metta Lokha berada di Kampung Grogol, Desa Traji, Kecamatan Parakan, Temanggung. Letaknya tak jauh dari Sendang Sidukun, berjarak sekitar dua ratus meter. Seratus meter ke arah timur vihara dari vihara ini juga terdapat sebuah situs peninggalan sejarah, Candi Setapan. Candi Setapan berupa reruntuhan batu-batu candi yang oleh beberapa pemerhati situs ditengarai sebagai bangunan stupa.

Masuk ke gang sebelah kiri dari jalan Ngadirejo – Parakan, Vihara Metta Lokha berada di sebelah kanan jalan. Vihara ini berada di pojok perumahan warga, sebelah kiri vihara sudah tanah pertanian warga.

Menurut penuturan Budi Harjo – salah satu pengurus vihara – vihara itu dibangun di atas tanah bengkok kepala Dusun Grogol. Tanah itu dihibahkan oleh kepala desa kepada umat Buddha sekitar tahun 90’an untuk digunakan membangun vihara.

“Vihara ini dibangun sekitar tahun 1950’an. Sebelum ada vihara ini umat melakukan puja bakti di rumah warga, rumah itu dulu kosong tapi sekarang ditempati oleh cucu pemiliknya. Persis sebelah barat rumah ini,” tutur Budi Harjo, menunjuk rumah yang dimaksud.

Vihara Metta Lokha terdiri dari dua bangunan. Ruang dhammasala sebagai bangunan utama, dan ruang serbaguna yang sudah tampak tua di sebelah kanan bangunan utama. “Sejak tahun 1995 vihara bentuknya ya memang seperti ini, belum pernah dipugar. Meskipun begitu, vihara ini tetap aktif, dan nyaman sebagai tempat melakukan puja bakti,” lanjut laki-laki yang akrab disapa Mbah Bud.

Ruang dhammasala tidak terlalu besar. Berukuran sekitar 6 x 8 meter. Altar utama terdapat dua Buddharupa, yang berukuran besar terbuat dari batu berwarna hitam, sedangkan yang lebih kecil berwarna kuning emas. Tidak banyak hiasan, semua tampak sederhana. Di dinding sebelah kiri terdapat sebuah gambar Buddha, sedangkan pada dinding sebelah kanan terdapat bagan struktur kepengurusan vihara dari folio A4 dengan tulisan tangan.

Yang cukup memperihatinkan pada vihara ini adalah plafon yang terbuat dari anyaman bambu. Cat putih pada kepang itu sudah mulai memudar dimakan usia. Beberapa bagian bahkan tampak berlubang akibat tetesan air dari atap yang bocor ketika hujan datang. Meski begitu, vihara ini selalu tampak rapi karena dibersihkan secara berkala. “Saya bersihkan terus,” kata Istri Mbah Bud yang ikut dalam obrolan kami.

Kilas Sejarah Umat Buddha Traji

Saat ini setidaknya terdapat 29 orang, terdiri dari 15 kepala keluarga yang melakukan puja bakti di Buddha Vihara Metta Lokha. Jumlah itu tak hanya dari Dusun Grogol, tetapi juga dari Dusun Kebagusan, dan Medari. Mereka biasanya melakukan puja bakti bersama satu minggu sekali pada hari Rabu malam. Sementara untuk anak-anak sekolah minggu gabung dengan Vihara Dwipa Loka, Parakan.

Berbeda dengan umat Buddha di Kecamatan Kaloran, Jumo, Wonoboyo, dan Candiroto yang berkembang setelah tahun 1966, umat Buddha vihara ini justru muncul lebih dulu. “Kalau menurut bapak saya yang menjadi generasi pertama umat Buddha di sini ada sejak tahun 1962. Mulanya dari Parakan, istilah yang digunakan oleh bapak saya itu tertular parakan,” terang Mbah Budi.

Menurut Mbah Budi Harjo, pada awal perkembangannya umat Buddha di Traji cukup banyak, meskipun dalam setiap keluarga tidak utuh. Artinya dalam satu keluarga ada yang Buddhis, juga ada yang beragama lain.

“Kalau dulu umat Buddha di sini banyak, biasanya satu rumah terdiri beberapa agama. Misalnya suami Buddha, istrinya tidak, si suami meninggal ya tidak ada penerusnya. Bubar tidak ada sejarahnya seperti itu,” sesalnya.

Selain itu yang menjadi sebab menurunnya umat Buddha Traji menurut Mbah Budi juga karena pemahaman terhadap ajaran Buddha Dharma yang susah dimengerti. Terutama bagi pandangan dari luar.

“Yang menjadi sebab begini mas, banyak agama ini kalau dilihat dari luar agama Buddha ini paling susah dimengerti. Tapi kalau bagi saya, dan harusnya yang mengikuti ajaran Buddha itu mudah. Kalau di tempat kita itu tidak ada iming-imingnya. Maksudnya begini kalau mau mengikuti agama ini masuk surga.

“Tapi kalau di tempat kita ini kan gak ada iming-iming seperti itu. Kalau kita kan tergantung perbuatan sendiri. Angger nandur seng apik, tukule juga barang seng becik. Ajaran kita kan begitu, kalau kita tidak menanam tidak akan memetik hasil. Tidak ada barang meminta, kan harusnya lebih enak,” pungkasnya.

Di Dusun Grogol sendiri hanya terdapat 5 kepala keluarga yang masih menganut ajaran Buddha. Mereka semua masih sanak family Mbah Budi. Meskipun begitu, Mbah Budi dan keluarga tetap aktif dan semangat ke vihara, meskipun dalam pandemik korona. Tentu dengan standar pencegahan penularan virus korona sesuai imbauan pemerintah.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *