• Tuesday, 25 April 2017
  • Andre Sam
  • 0

Berapa agama yang Anda kenal di Indonesia? 6? Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu? Benar! Itu agama yang diakui secara sah oleh negara. Selain itu, tidak diakui sebagai agama yang resmi oleh pemerintah. Berarti, selain keenam agama di atas termasuk kategori apa? Penghayat kepercayaan kepada Tuhan YME, alias bukan agama.

Syarat untuk diakui sebagai agama harus mempunyai kitab suci, nabi, ajaran yang baku, dan pengakuan internasional. Itu terjadi pada 1952 yang diterbitkan oleh Kementerian Agama. Belum lagi ditambah unsur agama samawi pada 1959, setiap keyakinan yang menghendaki pengakuan sebagai agama haruslah memiliki “Wahyu Allah”.

Sementara menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) definisi agama adalah ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan dan peribadatan kepada Tuhan YME serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia serta manusia dan lingkungannya. Menurut Kamus Jawa Kuna Indonesia, agama merupakan sebuah aturan suci karya suci, dan ajaran suci. Secara umum bagi manusia Jawa, agami yakni agemaning aji, busana untuk hati.

Sebuah agama tua di Jawa

Weddo Djojo sampurno ditulis oleh Resi Budhojawi/Wisnu yang menerangkan bahwa agama Budhojawi/Wisnu bangkit kembali di Surabaya pada 19 November 1925. Orang yang berperan mengembangkan kembali ajaran ini adalah Rama Resi Kusumodewo. Pria dengan nama kecil Slamet. Ia merupakan tokoh seangkatan Bung Karno, Supriyadi, dan Hamengku Buwono IX.

Agama Budhojawi/Wisnu terdiri dari beberapa unsur, Tantra Vajrayana, Kejawen, dan Hindu Wisnu. Tantra Vajrayana dicirikan dengan mantra pembuka, yakni Hong Wilaheng, sebagaimana tertera dalam kumpulan mantra suci dalam bahasa Jawa yang dihimpun oleh Wiku Dewadharmaputra Maha Sthavira dari Wihara Buddhayana, Rembang (2012). Contoh, Hong wilaheng awighnam astu namah siddham, yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa menjadi, Rahayu sagung dumadi saindengin buana. Sayektine temen-temen metu sakarasanigsun sedaya. (Selamat sejahtera semua yang tercipta di seluruh alam. Sejatinya semua benar-benar keluar dari kehendak saya pribadi).

Kejawen, tampak dari praktik-praktik budaya yang diturunkan sejak sebelum pengaruh Islam puritan menjadi kuat di Jawa. Seperti misalnya, selamatan, kepatuhan terhadap numerologi kalender Jawa, dan keyakinan terhadap sedulur papat limo pancer (Sebuah konsep tua di Jawa tentang makhluk suci penjaga diri manusia).

Hindu Wisnu, cirinya tampak pada pemujaan pada Dewi Sri (Dewi kesuburan tanah/ Dewi padi). Ibu bumi sebagai sumber kehidupan. Diwujudkan dengan sedekah bumi, yang dianggap sebagai wujud bhakti yang terpenting dalam tradisi Budhojawi/Wisnu.

Theravada, hal yang terakhir ini karena tekanan dari negara pasca tragedi 1965, demi memenuhi aturan negara untuk menganut salah satu agama yang diakui secara sah oleh negara. Bergabungnya pemeluk Budhojawi/Wisnu ke agama Buddha tak lepas dari peran Bhante Girirakhito pada 1968 yang datang dari Bali ke Banyuwangi, Jawa Timur atas prakarsa dari tokoh Budhojawi/Wisnu.

JK-2

Kondisi saat ini

Hampir musnah! Di Banyuwangi hanya tinggal menunggu waktu punah. Komunitas Mbah Kerto adalah yang tersisa, secara praktik ibadah, mereka mempraktikkan ibadah sesuai dengan tradisi Theravada. Namun komunitas ini tetap ingin mempertahankan ciri khusus mereka, antara lain mengenakan pakaian adat Jawa ketika sembahyang/puja bhakti. Bagi pria mengenakan surjan atau beskap atau baju batik dengan celana panjang, wajib mengenakan ikat kepala atau blangkon. Berkebaya dan memakai jarik sebagai bawahannya.

Di samping itu, mereka menekankan pentingnya menentukan hari-hari penting berdasar kalender Jawa, bagi pria kemaluannya tidak disunat/khitan, serta memasang senjata cakra di atap wihara. Wihara menurut Mbah Kerto menyebutnya dengan istilah sanggar pamujan. Membangun sanggar pamujan selalu mensyaratkan laku yakni mengurangi bicara yang tak penting. Praktik spiritual di Jawa khususnya, tak lepas dari penyesuaian dengan kondisi alam, manusia, dan budayanya. Negara tak pernah berpihak pada agama lokal. Mampukah agama Budhojawi/Wisnu menembus dimensi ruang dan waktu yang pekat di tanah tempat ia tumbuh, Jawa?

Hong Wilaheng

Ngigena mestuti, luputa sarik lawan sandi, luputa dendhaning tawang-towang.

Jagad Dewa Bathara, Hyang Jagad Pramuditha buwana langgeng.

(Hong Wilaheng

Semoga selamat semuanya, terhindar dari marabahaya, terhindar dari segala godaan.

Alam Dewa Batara, Hyang alam keluhuran alam langgeng)

 

*Disarikan dari buku, “Senjata Cakra di Atap Wihara”. Oleh Nusya Kuswantin. Penerbit Wiwara, Maret 2017.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *