• Wednesday, 11 April 2018
  • Shanti K Dewi
  • 0

Fenomena perkembangan dan penggunaan media sosial, kini menjadi sorotan tajam oleh karena dihubungkan dengan tulisan ujaran kebencian yang menyebar secara viral dan meresahkan banyak orang.

Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, terang-terangan menyebutkan, “Pada 2017 media sosial justru dikecam sebagai suatu medium yang memperparah perpecahan berdasarkan identitas agama, suku, dan etnis.” Dan ujaran kebencian seperti ini memiliki keterkaitan erat dengan politik, seperti pada Pilkada DKI Jakarta pada 2017.

Namun di sisi lain, menulis itu sendiri adalah hal yang mulia, dan bernilai, bahkan layak untuk diperjuangkan guna memberikan karya terbaik demi khayalak luas.

Itulah sebabnya, Pramoedya Ananta Toer pernah berujar, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

Dalam abad digital seperti sekarang ini, cara menulis juga menjadi “agak berbeda” walaupun secara prinsip menulis itu adalah jejak pemikiran yang bisa menular dan memberi dampak sosial apabila disampaikan dengan tepat.

Mari tinggalkan jejak

Secara historis, menulis itu bukan hanya hal yang umum, tapi juga sudah menjadi bagian dari jejak peradaban. Di Nusantara ini juga banyak bertebaran prasasti, suatu bukti tulisan fisik pada batu yang menunjukkan betapa leluhur Nusantara ini telah memberikan jejak pencapaiannya.

Dalam sejarah perkembangan agama Buddha sendiri, pada konsili keempat sekitar tahun 101-77 SM di Aluvihara, Srilanka, dilakukan penulisan Vinaya dan Sutta pada daun lontar. Proses menulis merupakan bagian terpenting yang membuat Dhamma masih lestari dan bisa kita jumpai sampai sekarang.

Hindari sebar hoaks dan ujaran kebencian

Di era sekarang ini kita dapat memanfaatkan kemajuan teknologi di bidang informasi melalui media sosial untuk mengembangkan Buddhadhamma.

Andre Sam, redaktur BuddhaZine.com, dalam Workshop Jurnalistik “Menerobos Lorong Dharma: Proses Kreatif Menulis” (25/3) di Kampus STAB Syailendra, Kopeng, menjelaskan bahwa dalam menulis jangan ikut menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian.

Baca juga: Industri Hoaks dan Jeratan Pikiran Kita

Generasi muda perlu lebih jeli dan cerdas dalam menulis isu-isu terkini dan menyebarkan nilai Dhamma melalui media sosial. Sam juga melanjutkan bahwa ceramah yang disampaikan di vihara mungkin hanya ratusan atau ribuan orang saja yang dapat mendengar, namun melalui tulisan di media sosial, konten tersebut dapat dibaca oleh puluhan ribu bahkan jutaan orang dari seluruh penjuru dunia tanpa adanya batasan.

Dengan demikian akan lebih banyak orang yang mendapatkan manfaat berkah kebajikan dan juga karma baik melalui Dhamma yang diajarkan.

Sekarang zamannya medsos

Alasan pentingnya menulis di media sosial juga didasari pertimbangan bahwa kini orang lebih tertarik dan praktis membaca melalui dunia maya daripada melalui media cetak seperti koran, buku, ataupun majalah.

Informasi penting, bahkan isu hangat sering didapatkannya melalui media sosial, daripada majalah, koran atau bahkan televisi. Menulis konten Buddhis di media sosial memiliki potensi yang besar, bahkan masih belum dimanfaatkan dengan semaksimal mungkin, terutama oleh generasi muda Buddhis.

Baca juga: BuddhaZine Merawat Penulis Muda

Apabila kita perhatikan, generasi muda yang identik dengan pelajar dan mahasiswa, tidaklah dapat dipisahkan dari proses kegiatan menulis, mulai seperti membuat laporan penelitian, esai, makalah, skripsi, dan lain-lain.

Generasi muda tentu saja akan lebih mudah untuk diajak menulis melalui media sosial. Dengan sedikit polesan dan pengarahan, generasi muda lebih mudah masuk dalam ruang kreatif untuk menulis secara produktif.

Yang paling penting dari semua hal itu, generasi milenial yang lahir sebagai digital native diharapkan menggunakan media sosial dengan baik dan bijak dengan menyebarkan secara aktif konten positif, informasi yang bersifat mendidik dan mencerahkan kepada publik. Sudah saatnya generasi muda Buddhis tak lagi sebagai pengguna pasif di abad digital ini.

Shanti Kumala Dewi

Siswi SMA Negeri 3 Salatiga kelas XII, aktif di Patria DPC Kab. Semarang.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *