• Monday, 19 March 2018
  • Ravindra
  • 0

“Agama Buddha hanya menggunakan sebilah pedang kebijaksanaan, dan hanya mengenal satu musuh – kebodohan.” Prof. Bapat

Agama Buddha merupakan sebuah agama besar yang menerangi umat manusia lebih dari 25 abad yang lalu.

Bermula ketika putra dari Raja Suddhodana yang bernama Siddharta Gautama lahir di kerajaan Kapilavastu dari suku Sakya pada 563 SM ini mulai mengalami pergolakan batin ketika melihat 4 peristiwa kehidupan di luar istana yaitu: usia tua, kesakitan, kematian, dan petapa.

Empat pengalaman itulah yang meneguhkan sikap Gautama untuk keluar dari istananya dan memulai untuk mencari pengetahuan dari kebenaran hingga tercapainya penerangan sempurna.

Pencapaian spiritualitas tertinggi oleh Sidharta Gautama ini tidaklah dicapai dengan mudah dan singkat, namun dengan perjuangan yang keras dan semangat yang besar untuk membebaskan umat manusia dari jurang penderitaan yaitu belenggu kemelekatan dan sifat keakuan.

Perjuangan Sidharta Gautama

Sebagaimana visi Sidharta Gautama yang mengajarkan kita tentang Cattari Arriya Saccani (Empat Kebenaran Mulia) dan Ariya Atthangika Magga (Jalan Mulia Berunsur Delapan).

Sebagai agama yang lahir dari sebuah revolusi besar dalam menentang sistem kekastaan, Buddhadharma adalah ajaran progresif yang menitikberatkan kesadaran pikiran dan tindakan sebagai penentu kehidupan di dunia ataupun kehidupan setelah kematian.

Kehidupan beragama tidak dibangun atas ketakutan, tekanan, penghambaan, dan perendahan diri, namun dibangun atas semangat anti penindasan dan kebodohan. Selain hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia pun menjadi sebuah hal yang sangat penting.

Baca juga: Buddhadharma Selaras dengan Ilmu Pengetahuan

Sehingga sangat tak wajar jika umat Buddha hanya berkutat dalam pola ibadah yang individualistik dan tak peduli dengan penderitaan orang lain, ketidakpekaan umat buddha terhadap konstelasi politik nasional dan kekuasaan yang otoriter dan cenderung menindas masyarakatnya demi terpenuhinya kepentingan golongan borjuasi.

Hal-hal tersebut sesungguhnya telah dijabarkan oleh Buddha, seperti dalam (Anguttara Nikaya) di dalam Sutta Cakkavatti Sihananda: “Ketika penguasa suatu negara adil dan baik, para menteri menjadi adil dan baik; ketika para menteri adil dan baik, para pejabat tinggi adil dan baik; ketika para pejabat tinggi adil dan baik, rakyat jelata menjadi baik; ketika rakyat jelata menjadi baik, orang-orang menjadi adil dan baik.”

Peran pejuang Dharma

Kita semua pastinya ingat dengan kelahiran Perwalian Umat Buddha (Walubi) pada tahun 1978, ketika itu pemerintahan orde baru yang sedang semangat-semangatnya menggoreng isu persatuan pasca runtuhnya orde lama, tak lama berselang muncul Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI) yang pada perjalanannya cukup membuat pusing umat dengan dualismenya.

Terakhir seperti lahirnya KMB (Keluarga Mahasiswa Buddhis) dan HIKMAHBUDDHI (Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia) sebagai anak kandung reformasi yang cukup konsisten dalam mengawal sektor-sektor vital seperti pendidikan, kepemudaan, kebudayaan, ekonomi, politik, dan sosial pada masa transisi pasca meledaknya reformasi dan banyak lagi pemuda Buddha yang terkonsolidasi dalam berbagai kelompok kolektif seperti BuddhaZine dan komunitas di vihara-vihara di daerah.

Umat Buddha kini

Namun, belakangan ini umat Buddha cenderung hanya melakukan kegiatan-kegiatan yang normatif dan formalitas saja dan tidak memiliki kompas bernegara yang jelas, bahkan sangat jarang muncul dalam forum-forum kritis jika tidak ada pilkada. Umat belakangan ini sangat jauh dari upaya-upaya dalam menciptakan pembebasan nasional dan semangat menciptakan keadilan sosial.

Saya rasa tak perlu menunggu adanya konflik, baru kita semua sibuk dengan konsep perdamaian, tak perlu menunggu adanya kritik baru kita semua sibuk dengan solusi. Kita harus mulai menanamkan jiwa patriotisme dan nasionalisme dalam Buddhadharma agar Pancasila sebagai tiang bangsa terus kokoh dalam balutan cinta kasih dan kasih sayang.

Minimnya peran umat Buddha dalam pengambilan kebijakan adalah sebuah hambatan besar bagi kita untuk bisa ikut andil dalam mencipta kesejahteraan bangsa, apalagi sangat sedikit sekali perwakilan agama Buddha di DPR dan MPR bahkan tak ada yang mengisi posisi strategis semisal menteri dan “Calon Presiden”.

Baca juga: Melatih Delapan Sila, Mendalami Buddhadharma

Sudah saatnya umat Buddha bersatu dan muncul ke permukaan sebagai sebuah pencerahan terhadap kondisi bangsa indonesia yang sedang dirundung kegelapan tak berkesudahan. Sudah saatnya kita tak egois dan hanya berjuang untuk diri sendiri, sebagaimana ungkapan yang selalu kita ucapkan: Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta (semoga semua makhluk hidup berbahagia).

Kebajikan sesungguhnya adalah kebajikan yang dilakukan terhadap makhluk lain tanpa berharap sesuatu dari kebajikan yang kita lakukan, sebab tak ada pahala atau hukuman, yang ada hanya konsekuensi-konsekuensi.

Ravindra

Mengembangkan literasi melalui ruang baca alternatif, “Ruang Literasi” dan perpustakaan jalanan Karawang

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *