• Wednesday, 29 November 2017
  • Victor A Liem
  • 0

Narasi

Pada zaman dahulu, hiduplah seorang keturunan ratu bernama Aji Saka di Tanah Hindhustan. Dirinya ingin menjadi pandhita. Aji Saka memutuskan untuk pergi ke tanah Jawa untuk mengejar cita-cita dan menyebarkan ilmu di sana. Dia pergi bersama empat abdinya, yaitu Dora, Sembada, Duga, dan Prayoga.

Sesampainya di Pulau Majethi, Aji Saka memerintahkan Dora dan Sembada untuk menetap di sana dan menjaga pusaka miliknya. Pusaka itu berwujud keris, dan tidak boleh diserahkan oleh siapa pun kecuali atas perintah Aji Saka, serta tidak boleh diambil oleh siapa pun kecuali oleh Aji Saka. Setelah itu Aji Saka melanjutkan perjalanan bersama Duga dan Prayoga.

Sesampainya di tanah Jawa, Aji Saka menjadi seorang guru. Aji Saka dikenal sebagai guru yang arif dan baik, sehingga dia memiliki banyak pengikut. Namun satu hal yang membuatnya bingung yaitu banyak penduduk yang pergi dari Mendhang Kamulan, negeri yang saat ini dia tinggal.

Ternyata raja di negeri Mendhang Kamulan, yaitu Prabu Dewata Cengkar suka memakan manusia. Sang Prabu mengutus pengawalnya untuk memakan rakyatnya sendiri.

Aji Saka menyerahkan diri sebagai santapan Prabu Dewata Cengkar. Sang Prabu senang memperoleh santapan namun sebelumnya Aji Saka menantang sang Prabu sebagai syaratnya. Syarat itu adalah Aji Saka meminta tanah seluas penutup kepala (udheng) yang dikenakan Aji Saka. Agar adil, Prabu sendiri yang menarik dan mengukur penutup kepala tersebut.

Pada tantangan tersebut Prabu menarik kain penutup kepala, namun semakin kain ditarik semakin panjang dan tidak berujung. Dewata Cengkar menariknya terus hingga Prabu terjebur ke Segara Kidul. Prabu Dewata Cengkar berubah menjadi buaya putih. Dengan begitu Aji Saka diangkat menjadi raja di negeri Mendhang Kamulan.

Kabar mengenai Aji Saka ini cepat menyebar, bahkan ke pulau Majethi. Mendengar tuannya menjadi seorang raja, dua pengawal yang ditugaskan untuk menjada pusaka milik Aji Saka yaitu Dora dan Sembada ikut bahagia. Dora memutuskan untuk menyusul tuannya akan tetapi Sembada menolak karena dirinya merasa harus menjaga amanat tuannya. Kemudian Dora pergi tanpa sepengetahuan rekannya, namun sesampainya di Mendhang Kamulan, sang raja terkejut karena kedatangan pengawalnya hanya seorang diri.

Sang raja memerintahkannya untuk kembali mengambil pusakanya dan mengajak Sembada untuk pergi ke Mendhang Kamulan. Sesampainya di Pulau Majethi, Sembada menolaknya lagi. Menurut Sembada hanya sang Aji Saka yang boleh mengambil keris tersebut, sementara itu Dora harus melaksanakan perintah sang Aji Saka. Mereka berdua akhirnya berperang hingga tewas.

Mendengar hal ini, Aji Saka menjadi sedih dan merasa bersalah. Akhirnya Aji Saka menciptakan sebuah karya untuk mengenang dua pengawalnya.

Inilah asal mula aksara Jawa.

Hanacaraka, artinya “Ada dua pengawal”

Datasawala, artinya “Mereka bertengkar”

Padajayanya, artinya “Sama kuatnya”

Magabathanga, artinya “Sama-sama meninggal”

Versi lain, hanya dua pengawal yaitu Sembada dan Dora. Sembada yang ditugaskan menjaga pusaka di pulau Majheti. Sedangkan Dora ikut bersama Aji Saka ke Medhang Kamulan. Setelah mengalahkan Dewata Cengkar, Aji Saka mengutus Dora menjemput Sembada dan membawa pusaka. Namun Sembada tidak mau dan terikat dengan janji bahwa yang mengambil pusaka mesti Aji Saka sendiri. Sama-sama mendapat mandat dari tuannya, mereka berperang dan akhirnya mereka berdua mati.

Makna Simbolis

Kisah Aji Saka adalah mitologi Jawa yang dipercaya sebagai awal mula peradaban di Jawa, terutama mulai menyebarnya Dharma dari India.

Aji berarti satu atau yang utama. Saka berarti tiang. Ada yang menghubungkan Saka ini dengan kalender Saka. Menegakkan peradaban di Jawa dengan memakai kalender Saka. Ada juga yang memahami Saka adalah suku Sakya salah satu suku India kuno.

Dewata Cengkar sering diwujudkan sebagai raksasa (buta) yang bengis dan serakah. Dalam mitologi Jawa sudah umum jika Raksasa memakan manusia. Raksasa juga melambangkan kesombongan dan angkara murka. Tubuh raksasa yang besar mewakili ego yang besar. Jika Aji Saka mewakili Dharma, maka Dewata Cengkar mewakili kegelapan batin.

Penutup kepala (udheng) melambangkan pengetahuan. Pengetahuan Dharma yang luas akan melenyapkan kebodohan batin.

Dora dan Sembada masing-masing memiliki dasar kebenarannya. Sembada berarti patuh. Terus berpegang pada amanat Aji Saka untuk selalu menjaga keris. Sementara Dora yang berarti bohong/ingkar. Setelah mendengar kabar tuannya menjadi raja di Medhang Kamulan. Dora memutuskan untuk menyusul ke Medhang Kamulan dan membatalkan amanat menjaga pusaka bersama Sembada. Setelah bertemu Aji Saka, Dora mendapatkan mandat baru.

Dora dan Sembada, keduanya, melambangkan pemikiran intelektual. Atau pemikiran yang relatif. Disebut relatif karena benar dan salah itu relatif. Sesuatu yang salah bisa menjadi benar. Dan sesuatu yang disepakati benar suatu saat akan terbukti salah jika telah ditemukan bukti- bukti baru. Ini adalah perkembangan teori.

Dalam spiritualitas, dasar kebenaran relatif tidak pernah berujung pada kebenaran sejati. Kebenaran relatif selalu melibatkan hal korektif. Penyempurnaan teori tapi selalu hanya menjadi teori. Seperti membuat peta yang paling mutakhir atau mendekati keadaan suatu wilayah. Namun peta seperti apapun tetaplah bukan wilayah.

Ada fase perkembangan dalam hidup ketika kebenaran relatif harus mati. Hal ini digambarkan Dora dan Sembada berperang lalu mati. Tidak seorang pun yang membuat kita mengerti hanya melalui cerita tapi mesti suatu saat mengerti karena mengalaminya sendiri.

Pemaknaan lain adalah empat pengawal Aji Saka yang mewakili sikap atau cara memahami Dharma. Dora, Sembada, Duga, dan Prayoga tidak terpisah.

Ada ungkapan “Dora Sembada” dan “Duga Prayoga”. Maksud dari Duga Prayoga adalah menyampaikan atau mengolah sesuatu harus hati-hati. Sedangkan Dora Sembada adalah menyampaikan  sesuatu tidak harus menceritakan semuanya. Hal yang tidak nyaman apabila diketahui orang lain, tidaklah perlu diceritakan. Dora sembada kadang dipahami sebagai kebohongan untuk kebaikan.

Dalam kebenaran relatif penyampaian butuh kehati-hatian. Hal yang sejati selalu tidak bisa disampaikan. Karena itu harus ‘mati’.

Asal mula Aksara Jawa bukan sekedar mitologi agar mudah diingat. Tapi secara implisit menunjukkan bahwa Aksara itu juga “mati”. Kebenaran sejati itu selalu melampaui batasan dari aksara. Meminta “aksara” mempertanggung jawabkan kebenaran sejati adalah tidak mungkin. Bukti baru. Ini adalah perkembangan teori.

Dalam spiritualitas, dasar kebenaran relatif tidak pernah berujung pada kebenaran sejati. Kebenaran relatif selalu melibatkan hal korektif. Penyempurnaam teori tapi selalu hanya menjadi teori. Seperti membuat peta yang paling mutakhir atau mendekati keadaan suatu wilayah. Namun peta seperti apa pun tetaplah bukan wilayah.

Ada fase perkembangan dalam hidup ketika kebenaran relatif harus mati. Hal ini digambarkan Dora dan Sembada berperang lalu mati. Tidak seorang pun yang membuat kita mengerti hanya melalui cerita tapi mesti suatu saat mengerti karena mengalaminya sendiri.

Pemaknaan lain adalah empat pengawal Aji Saka yang mewakili sikap atau cara memahami Dharma. Dora, Sembada, Duga, dan Prayoga tidak terpisah.

Ungkapan “Dora Sembada” dan “Duga Prayoga”. Maksud dari Duga Prayoga adalah menyampaikan atau mengolah sesuatu harus hati-hati. Sedangkan Dora Sembada adalah menyampaikan  sesuatu tidak harus menceritakan semuanya. Hal yang tidak nyaman apabila diketahui orang lain, tidaklah perlu diceritakan. Dora sembada kadang dipahami sebagai kebohongan untuk kebaikan.

Dalam kebenaran relatif penyampaian butuh kehati-hatian. Hal yang sejati selalu tidak bisa disampaikan. Karena itu harus ‘mati’.

Asal mula Aksara Jawa bukan sekedar mitologi agar mudah diingat. Tapi secara implisit menunjukkan bahwa Aksara itu juga “mati”. Kebenaran sejati itu selalu melampaui batasan dari aksara. Meminta “aksara” mempertanggung jawabkan kebenaran sejati adalah tidak mungkin.

Victor Alexander Liem 

Penulis adalah pecinta kearifan Nusantara dan penulis buku Using No Way as Way.

Tinggal di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah. Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Victor A Liem

Penulis adalah pecinta kearifan Nusantara dan penulis buku "Using No Way as Way"
Tinggal di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah. Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *