• Thursday, 22 September 2016
  • Sutar Soemitro
  • 0

Begitu banyak candi Buddha dan Hindu di pelosok nusantara. Sebagian digunakan sebagai tempat ritual pada saat hari-hari besar tertentu, tapi lebih banyak lagi hanya menjadi tontonan wisatawan lokal maupun asing.

Padahal, di masa lalu, candi bukan hanya tempat ritual namun juga merupakan pusat aktivitas, mulai dari keagamaan, sosial, seni, hingga budaya.

Sejumlah anak muda mencoba mengembalikan fungsi candi ke asalnya. Mereka menggelar pentas ‘Mantram Sandyakala’ di Candi Cetho, Karanganyar, Jawa Tengah pada Sabtu (17/9). Candi Cetho yang terletak di lereng Gunung Lawu adalah sebuah candi Siwa-Buddha yang kini menjadi tempat ibadah umat Hindu.

Pentas tersebut menampilkan Astakosala Volk, sebuah grup musik new age asal Solo. Astakosala Volk melantunkan lima kakawin kuno abad XV. Kakawin biasanya didendangkan bersanding dengan alat-alat musik tradisional semisal gamelan, tapi kali ini tidak. Kali ini kakawin bersanding dengan alat-alat musik modern berupa keyboard, gitar, dan bass. Kolaborasi kuno dan modern tersebut ternyata tetap mampu menelurkan alunan-alunan nada meditatif yang membius.

Pentas terasa makin khusyuk karena digelar di pendopo kompleks Candi Cetho pada malam hari dengan temaram lilin dan rintik hujan. Namun suasana terasa hangat karena tidak ada panggung yang memisahkan jarak antara pemusik dan penonton. Semua melebur dalam alunan-alunan nada surgawi.

“Kakawin adalah sebuah bentuk syair dalam bahasa Sanskerta, Jawa Kuna, atau Budo, dengan aturan metrum (pola bahasa dalam sebuah baris puisi). Dan sebagai tambahan, kakawin napasnya adalah Siwa-Buddha mengingat latar belakang keyakinan saat itu,” jelas Andre Sam, inisiator pentas yang juga merupakan awak BuddhaZine.

Semenjak runtuhnya era Majapahit di tanah Jawa, yang kemudian­ disusul oleh perpindahan keyakinan besar-besaran masyarakat Jawa dari Hindu dan Buddha ke Islam, kesusastraan Jawa Hindu dan Buddha seolah sirna dari tanah Jawa.

Sastra-sastra tersebut yang berupa kakawin terawat dengan sangat baik di pulau Bali dan di lereng gunung Merapi-Merbabu, Jawa Tengah. Untuk yang berada di Jawa Tengah catatan-catatan tersebut terdokumentasi dalam lontar, beraksara Budo, bukan Sanskerta maupun Jawa Kuno.

Kenapa melagukan kakawin? “Karena selama ini, pendekatan para akademisi, seperti P.J. Zoetmulder, Poerbatjaraka, S.O. Robson, dan lainnya itu masih belum membumi, dalam artian bentuknya masih bentuk hasil penelitian. Tentu kita sangat berterima kasih kepada para akademisi yang meriset sastra Jawa Kuno. Astakosala Volk ingin membumikan Kakawin Jawa Kuno dengan lebih sederhana, lebih bisa dirasakan dan bisa dinikmati, yakni dengan sajian musik modern,” lanjut Andre Sam.

“Pentas ini terinspirasi dari ide Pak Firman Lie ketika diwawancara BuddhaZine saat konser Imee Ooi di Jakarta beberapa waktu lalu. Pak Firman saat itu punya angan-angan ada konser lagu spiritual yang digelar di pelataran candi,” ujar Andre Sam. (Baca Pujian Para Pelaku Seni Buddhis untuk Imee Ooi)

“Kakawin yang Astakosala Volk olah kali ini lebih banyak mengambil dari sloka atau syair dari Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung abad XV, pujangga Siwa-Buddha. Kenapa? Menelusuri kakawin tentu bukan perkara mudah. Kami mulai dari zaman runtuhnya Majapahit dahulu, baru kemudian Astakosala Volk akan mencari kakawin yang usianya lebih tua,” jelas Andre Sam lagi.

Astakosala Volk sendiri baru terbentuk awal 2016 dan beranggotakan tiga orang yang uniknya berbeda-beda keyakinan namun dengan cair melebur dalam spiritualitas yang sama. Mereka adalah Desy (vokal), Rhema (komposer dan keyboard), dan Nartoe (bass).

Musik pop merupakan pilihan genrenya, dikarenakan telinga anak muda lebih akrab dengan suara-suara gitar, bass, piano, daripada gamelan. Meskipun cukup memprihatinkan, namun demikianlah faktanya di Jawa. Tidak banyak anak muda yang tekun menggeluti gamelan, ini tentu karena berbagai macam sebab.

Dan poin mendasar dari Astakosala Volk ialah bait-bait sastra dari kakawin Jawa kuno sampai ke masyarakat Jawa. Syair para leluhur Jawa Hindu dan Buddha hadir kembali ke sanubari anak cucunya di tanah Jawa setelah ribuan kabut berlalu.

20160922-dan-kidung-spiritual-pun-berkumandang-kembali-di-candi-suci-2

“Saya hari ini merasa bahagia karena dikasih kesempatan untuk sama-sama kumpul di sini menikmati sesuatu yang jarang dinikmati orang banyak,” ujar Rhema. Ini adalah pengalaman pertamanya membuat musik spiritual, padahal dulunya dia adalah musisi metal. Sebuah proses hidup yang penuh liku. Butuh waktu tiga bulan baginya untuk mengaransemen kakawin. Ia pun sempat mengikuti program meditasi agar mampu menyelami makna kakawin.

“Syair-syairnya jadi berkat buat yang dengar. Lagu-lagu ini kayak lagu meditasi, lagu untuk pengolahan rasa yang ada di dalam diri ini. Semua syair Astakosala bukan hanya mengingatkan pada leluhur, tapi juga dikembalikan kepada Sang Khalik,” kesan Widi, seorang praktisi spiritual asal Solo.

Pentas ini juga berhasil membuat cendekiawan Buddhis, Jo Priastana, terkejut. “Saya merasa surprise sekali dengan kegiatan musik di candi ini. Baru pertama kali saya datang dan menyaksikan musik yang memang sengaja dimainkan di candi dan tembang-tembang dari karya spiritual pujangga leluhur kita,” ujarnya.

Ke depannya bukan hanya Astakosala Volk yang berkesempatan melantunkan nada-nada surgawi, karena mungkin juga akan dihadirkan karya seni lain yang juga bernada spiritual. Candi-candi lain juga akan berkesempatan menjadi tuan rumah.

“Ini adalah permulaan. Bersama-sama kita akan memberi kehidupan kembali kepada candi-candi yang selama ini lebih banyak terdiam dalam sunyi,” cetus Andre Sam.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *