• Friday, 29 December 2017
  • Hendry F. Jan
  • 0

Sekarang ini banyak pengguna telepon pintar (smartphone) tidak sepintar ponselnya.

Teknologi informasi yang berkembang begitu cepat, mengubah dunia ke arah yang tidak pernah kita duga. Semua serba cepat. Dulu, kirim pesan lewat surat, perlu waktu berhari-hari baru sampai ke tujuan. Sekarang kirim pesan, detik ini juga dibaca dan dijawab kawan bicara.

Jauh−dekat

Sebuah berita tidak perlu menunggu lama untuk diketahui penduduk sedunia. Dalam hitungan detik, penduduk dunia di belahan mana pun bisa mengetahui berita yang tengah heboh di belahan dunia lain. Jarak bukanlah kendala.

Dan benar kata orang, “Ponsel mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat.” Hubungan kita dengan orang di tempat yang sangat jauh, bisa jadi begitu dekat berkat teknologi informasi sekarang ini.

Pun juga sebaliknya, hubungan antaranggota keluarga dalam satu rumah bisa terasa sangat jauh karena ada yang lebih suka menyampaikan pesan lewat medsos bukan bicara langsung.

 
Kasus lain, sekelompok orang bertemu (entah saling kenal atau bertemu orang yang tak dikenal di ruang publik), kebanyakan asyik sendiri dengan ponselnya, tidak saling menyapa. Jika mendekatkan yang jauh cocok dengan ungkapan “Jauh di mata, dekat di hati”, maka menjauhkan yang dekat bisa diungkapkan dengan “Dekat di mata, jauh di hati”?

Jempolmu harimau

Asyik berponsel ria di segala suasana hingga melupakan segalanya. Contoh, ada ibu yang kehilangan anak gara-gara asyik dengan ponselnya, ada yang tercebur ke kolam, ada yang tewas tertabrak kereta api, dan masih banyak lagi. Tidak mau tahu ia sedang di rumah ibadah, ruang rapat, bahkan sedang mengendarai motor, tetap asyik dengan ponselnya.

Ada yang terima BC (BroadCast), langsung disebar, tanpa cek dan ricek terlebih dahulu sehingga hoaks bertebaran di mana-mana. Ada yang kecepatan jempolnya yang luar biasa dalam mengetik. Mereka cepat sekali mengetik (bahkan tanpa perlu melihat keyboard-nya) dan langsung enter alias dikirim atau dipublikasikan di medsos.

Beberapa detik atau menit kemudian, setelah tulisannya menjadi viral dan sudah di-capture, barulah terpikir, ternyata hal yang dilakukannya salah. Apa akibatnya? Dari sekedar jadi korban bully oleh warganet, dipecat dari tempat kerja, sampai berakhir di pengadilan.

 
Kasus terbaru adalah cuitan Zulfikar Akbar, salah seorang wartawan senior sebuah media olahraga, yang melahirkan tagar boikot dan menjadi trending topic.

Penulis tidak akan membahas hal itu (silakan cek beritanya di dunia maya). Dulu kita kenal ungkapan, “Mulutmu, harimaumu” yang sekarang berubah jadi, “Jempolmu, harimaumu.”

Kesalahan “bicara” lewat ketikan jari jempol di keyboard ponsel yang langsung dipublikasikan ke medsos (tanpa berpikir jernih dulu), membuat kita diterkam masalah.

Gunakan filter
Bagi Buddhis, kejadian seperti ini, mengingatkan penulis pada sila ke-4 Pancasila Buddhis. Musavada veramani sikkhapadam samadiyami (aku bertekad akan melatih diri untuk menghindari ucapan yang tidak benar). Ucapan yang tidak benar sering diidentikkan dengan berbohong.

Padahal, ucapan tidak benar bukan hanya berbohong. Selain berbohong, yang dimaksud dalam ucapan tidak benar itu: fitnah, berkata kasar, bergunjing/bergosip atau pembicaraan yang tidak berguna.

Atau pada Jalan Mulia Berunsur Delapan (Ariya Atthangika Magga) pada poin ke-3 yakni ucapan benar (sammã vãca). Maksud dari ucapan tidak benar adalah kita seharusnya berusaha menahan diri dari berbohong (musãvãdã), memfitnah (pisunãvãcã), berkata kasar/caci maki (pharusavãcã), dan percakapan-percakapan yang tidak bermanfaat/bergosip (samphappalãpã).

Dikatakan ucapan benar jika memenuhi empat syarat yakni: ucapan itu benar, ucapan itu beralasan, ucapan itu bermanfaat, dan ucapan itu tepat pada waktunya.

Jadi, sebelum mengucapkan sesuatu (termasuk menuliskan dan mempublikasikannya di medsos), seharusnya kita menyaringnya terlebih dulu. Apakah ucapan itu benar, apakah beralasan, apakah bermanfaat, apakah tepat pada waktunya?

Hendry Filcozwei Jan

Suami dari Linda Muditavati, ayah dari 2 putra (Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan), pengelola blog www.vihara.blogspot.com dan www.rekor.blogspot.com, pembuat aplikasi Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Hendry F. Jan

Hendry Filcozwei Jan adalah suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.

Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

http://www.vihara.blogspot.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *