• Thursday, 14 June 2018
  • Ngasiran
  • 0

Waktu sudah menunjukkan jam tiga dini hari. Belum genap dua jam mata ini terpejam setelah semalaman melihat aktivitas di rumah-rumah warga Desa Boro yang sedang menyiapkan Hari Raya Waisak.

Setelah cuci muka, kami bergegas ke Dharmasala Vihara Buddhasasana Jaya. Ratusan umat Buddha telah memadati ruangan terbuka berukuran cukup besar ini. Di luar vihara, tampak puluhan pemuda berpeci. Mereka adalah pemuda masjid dan gereja yang sedang bertugas membantu keamanan dan kenyamanan umat Buddha yang akan melaksanakan pujabhakti detik-detik Waisak.

Umat Buddha Kabupaten Blitar merayakan pujabhakti detik-detik Waisak lebih awal. Sebagai wujud toleransi umat beragama, pujabhakti detik-detik Waisak yang seharusnya dilaksanakan pukul 21.12.19 WIB, (29/5) dimajukan ke pukul 04.00 dini hari.

Siang itu, jalanan Dusun Buneng, Desa Boro terlihat ramai. Ada beberapa rombongan motor dalam jumlah banyak, ada pula yang hanya beberapa motor. Mereka berhenti di depan-depan rumah warga yang memasang umbul-umbul Buddhis. Umbul-umbul lima warna ini dipasang sebagai tanda yang empunya rumah sedang melakukan open house peringatan hari raya Waisak.

Saya dan Junarsih, setelah keluar dari vihara langsung menuju rumah Pak Sunardi. Pak Sunardi merupakan salah satu sesepuh umat Buddha Kabupaten Blitar yang saat ini dipercaya sebagai Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Sejak pagi, rumah Pak Sunardi sudah menerima kunjungan dari umat Kristen dan Islam.

Saat kami sampai di sana, sedang ada dua tamu berusia lanjut yang sedang silaturahmi. Tekat dan Ngadiman namanya. Pak Tekat beragama Kristen dan Pak Ngadiman beragama Islam. Sejak pagi, dua orang sahabat ini telah berkunjung ke tujuh rumah umat Buddha. “Jawa Tengahnya mana?” tanya Pak Tekat dengan suara keras, maklum di usianya saat ini pendengaranya sudah berkurang.

“Temanggung Pak,” jawab saya keras. Mendengar jawaban saya, Pak Tekat tertawa terbahak-bahak. Sedangkan Pak Ngadiman yang usianya lebih sepuh, lebih banyak diam. Ia hanya menikmati aneka makanan yang disediakan yang punya rumah. Setelah beberapa saat, dua tamu tersebut meminta pamit untuk melanjutkan silaturahmi ke rumah lain.

Rumah Pak Sunardi tidak pernah kosong, tak berselang lama setelah Pak Tekat dan Pak Ngadiman meninggalkan rumahnya, tak berselang lama tamu kembali datang. Ibu Nuning, istri seorang pendeta salah satu gereja di Dusun Buneng datang bersama anaknya, dan disusul oleh para tamu-tamu lain. Rumah Pak Sunardi kembali ramai. Ruang tamu bagian depan sudah penuh sehingga tamu-tamu yang belakangan datang harus ke ruang tamu di tengah.

Nampaknya Pak Sunardi dan keluarga memang sudah menyediakan ruangan yang cukup besar untuk menerima tamu. “Eh Pak Nardi sekarang punya fotografer,” ujar Bu Nuning melihat saya yang sedang foto-foto para tamu yang sedang asyik ngobrol dengan yang punya rumah. Mendengar itu, kami memperkenalkan diri dan ikut nimbrung dalam obrolan.

Tamu yang datang kali ini dari dua gereja yang berbeda, Ibu Nuning dari Gereja Kristen Jawi Kulon dan Jemaat Gereja Kristen Jawi Wetan. Kepada kami Bu Nuning cerita panjang tentang toleransi yang telah terbangun sejak kecil di tanah kelahirannya ini. “Sudah dari zaman saya masih kecil Mas, cuma setelah lima tahun terakhir hubungan kami semakin erat terutama setelah membentuk FKUB. Kalau dulu ‘kan hanya tradisi kami datang ke agama lain. Harus Mas, kalau tidak kami utang. Seperti ini, kalau saya tidak datang rasanya saya ada utang yang harus segera dibayar gitu.” “Dan kedatangan ibu hari ini membuat Pak Sunardi utang?” sahut saya. “Njih, saya bayar utangya nanti bulan Januari,” ujar Pak Sunardi menimpali.

Baca juga: Desa Boro, Blitar, Desa Toleransi

Potret toleransi ini tidak hanya terjadi pada saat hari raya saja. Di kehidupan sosial masyarakat sehari-hari dalam berbagai bentuk. Menjenguk dan doa untuk tetangga yang sedang sakit, pembangunan rumah ibadah, dan lain-lain. “Programnya semakin nyata setelah ada FKUB, contohnya tokoh-tokoh agama berkumpul ketika ada yang sakit, datang dan mendoakan dengan berbagai agama.

Ini kemarin pengurus masjid katanya mau menitip proposal pembangunan kepada suami saya ke Korea, kok ditunggu gak datang-datang ya?” tutur Nunik. Pak Hanifan; Cerita Dari Sesepuh “Saya termasuk generasi tua yang masuk dalam jajaran Pembina FKUB dari Kristen, dari Islam Pak Waluyo, dan Pak Miseri (Romo Dhammavicaro) dari Buddha,” tutur Hanifan kepada kami.

Siang itu salah satu tokoh Pembina FKUB Dusun Buneng ini datang silaturahmi ke rumah Pak Sunardi bersama istrinya. Dengan suara lantang dan jelas, ia bercerita sejarah membangun kerjasama antaragama di dusunnya. “Dulu riyaya belum ada bendera, jadi ketika ada orang luar Buneng mau silaturahmi hari raya sering salah rumah.”

Jadi ketika ketika hari raya, agama apa pun semua orang menyediakan makanan jaga-jaga kalau ada tamu nyasar,” ungkapnya. Kemudian untuk meramaikan suasana hari raya, para tokoh lintas agama sepakat untuk memasang bendera. “Jadi, orang yang datang untuk hari raya agama tertentu cukup lihat bendera yang ada di depan rumah agar tidak keliru. Bendera ungu Kristen, warna-warni Buddha, dan hijau Islam.”

Bendera ini kehendak semua tokoh agama yang disetujui oleh masyarakat. “Awalnya hanya umat Buddha saja, kemudian setelah ada FKUB yang dibentuk untuk menjaga kerukunan umat beragama jadi disepakati semua gama untuk memasang bendera ketika hari raya.”

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *