• Saturday, 17 November 2018
  • Hendrick Tanu
  • 0

Di pertengahan tahun 2018, arstitek kondang Ary Indra dan David Hutama mempresentasikan karya mereka untuk paviliun Indonesia di Venice Biennale of Architecture 2018  berjudul Sunyata: The Poetics of Emptiness.

Ary menceritakan bahwa bagaimana konsep suwung di Jawa, terutama ketika diterapkan di bidang arsitektur,  memengaruhi konsep desainnya. Baginya, Sunyata tidak sama dengan kosong nihil – sebab lebih tepat diartikan sebagai kualitas di dalam kosong nihil. Pada akhirnya, paviliun Indonesia tahun ini berusaha untuk menyampaikan perjalanan spiritual seorang manusia menuju sunyata lewat eksplorasi ruang yang dihadirkan.

Kata “sunyata” telah dikenal Nusantara semenjak Buddhis masuk. Bhiksu Yijing mencatat bahwa di Sriwijaya telah ada pembelajaran Madhyamika yang filosofi sentralnya adalah sunyata sehingga kadangkala disebut sebagai Sunyavada.

Pujangga Buddhis Mpu Tantular juga menyebut dalam karyanya Arjunawiwaha: Ambĕk saŋ paramārthapaṇḍita huwus limpad sakêŋ śūnyatā (Batin sang tahu Hakikat Tertinggi telah mengatasi segalanya karena menghayati Kesunyataan). Di karya lainnya semisal Sutasoma, sunyata juga acapkali disebutkan oleh Mpu Tantular sebagai kualitas dari Kebuddhaan yang penuh cinta dan welas asih itu sendiri.

Belakangan, sunyata ini menajdi identik dengan kata Jawa ‘suwung’. Dalam Lontar Jawa Tatwa Sawang Suwung, dikisahkan bahwa alam semesta ini dimulai oleh Sanghyang Taya (Suwung). Siapa Taya ini dapat dilihat di lontar Sunda Sanghyang Hayu yaitu berasal dari kata Sunyataya. Taya juga ada disebutkan sebagai Acintyataya atau Paramataya. Sunyata, acintya dan paramartha adalah kualitas dari kebenaran Tertinggi menurut Buddhis. Beberapa peneliti menyebut Taya adalah panggilan untuk Siwa dan Buddha ketika meneliti kitab-kitab Jawa.

Sunya

Sunyata juga ada disebutkan dalam Kakawin Dharmasunya. Seiring waktu, kakawin-kakawin ini berubah menjadi serat. Serat Dharmasunya dan serat Arjunawiwaha memasukkan istilah “suwung” untuk menjabarkan kesunyataan. Akulturasi dan asimilasi yang dilakukan para sufi seperti Syekh Siti Jenar di Jawa membuat konsep suwung ini juga belakangan dikaitkan dengan konsep Islami atau Allah. Konsep yang tergabung oleh elemen banyak agama ini akhirnya sampai di era modern. Belakangan konsep suwung marak kembali ketika muncul kembali berbagai gerakan Kejawen kontemporer ke permukaan – seiring meningkatnya minat masyarakat Indonesia terhadap yoga dan meditasi.

Tetapi selalu menarik jika kita menempatkan suwung dalam konteks aslinya yaitu konteks Buddhis tulen yaitu sunyata. Istilah sunnata sudah dikenal di kitab-kitab Pali (Sunna Sutta misalnya) dan sunyata juga ada di kanon agama. Mahayana khususnya Sutra-sutra Prajnaparamita sangat menekankan tentang kesunyataan hingga akhirnya membentuk sekolah Madhyamika dan Yogacara. Belakangan kesunyataan ini dipahami sebagai hakekat Kebuddhaan lewat sutra-sutra tathagatagarbha.

Baca juga: Menjadi Pemula: Keutamaan Zen Tertinggi

Di Tibet, meski dipakai sebagai poin penting praktik meditasi, sunyata ini seringkali memancing ajang perdebatan intelektual hingga memunculkan perselisihan shentong dan rangtong. Lain halnya ketika Sunyata menjadi sepenuhnya kontemplatif ketika berjumpa dengan Buddhis Zen atau Chan, sebagaimana suwung hanya dipahami lewat rasa sejati dalam diri.

Lebih dari 10 tahun lalu, muncul penerbit Buddhis yang menggunakan nama Suwung yang didirikan Ir. Agus Santoso, pendiri komunitas Chan Indonesia. Umumnya penerbit Suwung menerbitkan buku-buku Zen/Chan. “Kebenaran dalam Zen adalah suwung, kesunyataan,” jelas pak Agus.

Ketertarikan Ordo Sarikat Yesuit pada meditasi Zen yang dimulai dari Jepang juga terkena imbasnya di Indonesia ketika arsitek Romo YB Mangunwijaya maupun Romo Mudji Sutrisno dari Ordo yang sama banyak membahas Zen. Romo Mangun misalnya dalam buku Sastra dan Religiositas banyak berceirta tentang Zen dan berkata, “Zen (Chan) bukan agama, bukan teologi, bukan filsafat, namun kesadaran mengenai kehidupan yang lebih penuh, lebih mendalam, lebih intens, lebih berkadar, lebih manusiawi penuh dan sejati.” Sedangkan Romo Mudji menulis buku Zen dan Fransiskus (1983) dan Zen Buddhis: Ketimuran dan Paradoks Spiritual (2002).

Diakui sebagai salah seorang arsitektur Indonesia, pemahaman spiritual Romo YB Mangunwijaya dalam menciptakan ruang terus mengilhami anak bangsa ketika berusaha mencari konsep arsitektur, bahkan hingga Venice.

Hendrick Tanuwidjaja

Penggemar Zen dan siswa mindfulness

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *