• Monday, 30 October 2017
  • Ngasiran
  • 0

Sejarah peradaban bangsa Indonesia telah ada sejak ribuan tahun lalu. Jauh sebelum Indonesia merdeka (baca: ada), Nusantara sudah menjadi pusat peradaban manusia. Bukti besarnya peradaban bangsa Indonesia ini tidak hanya tercatat dalam buku-buku sejarah, tetapi juga dalam karya sastra kuno, peninggalan prasasti, dan situs-situs candi yang tersebar di berbagai wilayah di tanah air.

Di sejumlah kabupaten di Jawa Tengah, seperti Temanggung, Semarang, Magelang, Wonosobo, hingga dataran tinggi Dieng di kabupaten Banjarnegara misalnya banyak ditemukan situs candi sisa-sisa peninggalan sejarah masa lalu. Sayang, dari sekian banyak situs batu candi yang ditemukan, tidak semuanya mendapat perhatian dari pemerintah setempat. Banyak peninggalan sejarah yang terabaikan bahkan dianggap tidak ada artinya.

Mengutip status seorang kawan di Facebook, “Ketika pelajaran sejarah tidak lagi berharga, batu sejarah hanya terserak di pojok sekolah.” Padahal, Sukarno sendiri sebagai bapak bangsa Indonesia pernah mengatakan, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah lupa akan sejarahnya.”

Sebagai salah satu bentuk kepedulian terhadap situs sejarah, beberapa pemuda Temanggung, Semarang dan Wonosobo menggelar acara ekspedisi menelusuri jalur kuno peninggalan candi-candi tersebut. Ekspedisi yang rencana digelar secara berkala ini sudah dimulai pada Sabtu – Minggu, 14-15 Oktober 2017 dengan menelusuri jalur kuno Candi Gedong Songo di Kecamatan Sumowono, Semarang hingga Situs Liyangan di Ngadirejo, Temanggung.

Perjalanan dimulai dari Candi Gedong Songo dengan mempelajari struktur bangunan candi. Menurut Mbak Derry, Candi Gedong Songo adalah khas candi di Jawa Tengah yang bentuknya hampir sama dengan candi di dataran tinggi Dieng. “Kemungkinan ini adalah peninggalan Kerajaan Medang, namun pastinya belum tahu karena tidak ditemukan prasasti,” jelas ketua Komunitas Dewa Siwa ini. Komunitas yang dipimpinnya adalah komunitas pemerhati batu candi.

Nama ‘songo’ sendiri diambil dari jumlah kompleks candi yang di temukan, yaitu songo (sembilan). “Dulu namanya Candi Gedong Tujuh, tetapi karena ditemukan candi-candi baru yang jumlahnya sembilan maka berubah nama. Yang menjadi menarik dan tidak ditemukan dalam candi-candi lain, pada kompleks candi gedong tiga terdapat arca Gajah Njerum yang ini tidak semua orang tahu karena letaknya tersembunyi,” jelasnya.

Selain arca Gajah Njerum, keistimewaan dari Candi Gedong Songo adalah bio energy (energi alam). Bio energy yang di Gedong Songo lebih besar dari yang di Tibet. Bahkan akibat efek bio energy ini, arah jarum kompas di Gedong Songo berbeda dengan tempat lain.

“Di candi keempat sini adalah pusat bio energy. Kalau kita mau merasakan dengan seksama ketika di candi 1, 2, 3 dan 4 ini ada perbedaan. Bahkan bisa dirasakan dari bulu tangan ini,” jelasnya. Karena bio energy alam inilah kenapa para pertapa dulu memilih lereng Gunung Ungaran ini untuk membangun candi sebagai tempat pertapaan. Bahkan, tanpa perlu bertapa atau ritual, saat pikiran sedang semrawut, cukup duduk di komplek candi keempat, pikiran akan kembali tenang akibat efek bio energy ini.

Komplek candi keempat Candi Gedong Songo.

Relief Rsi Agastya di dinding Candi Gedong Songo.

Candi Asu tidak jauh dari Candi Gedong Songo.

Tempat menaruh reruntuhan candi di Candi Garon.

 

Menelusuri Sisa-sisa Sejarah yang Terserak
Selesai di Candi Gedong Songo, ekspedisi dilanjutkan ke Candi Asu. Candi Asu berada tidak jauh dari Candi Gedong Songo, bahkan kalau dirunut dari Gunung Ungaran sampai Kaloran, Temanggung, dalam radius satu km pasti ditemukan sisa-sisa bangunan candi. Candi Asu pun begitu. Meskipun sudah ada plang yang menyatakan bangunan cagar budaya dilindungi undang-undang, namun keberadaannya cukup memperihatinkan. Letak batu candi berubah-ubah, bahkan banyak batuan candi yang hilang.

Selain Candi Asu, perjalanan hari pertama juga menelusuri sisa-sisa bangunan candi. Dusun Candi, Desa Candi Garon, Kecamatan Sumowono menjadi salah satu tujuan. Di desa ini pernah ditemukan batuan candi. Batuan candi yang di temukan saat ini dibuatkan semacam gardu untuk menyimpan batuan candi tersebut dan disakralkan.

Selesai dari Semarang, perjalanan dilanjutkan ke Temanggung. Desa Tegowanuh, Kecamatan Kaloran menjadi tujuan pertama. Persis di pinggir jalan raya Kaloran – Temanggung, banyak sisa batu candi yang hanya tergeletak di pinggir jalan.

Tidak jauh dari Desa Tegowanuh, perjalanan dilanjutkan ke Kedunglo. Sangat menarik, di dekat jalan lahan pertanian penduduk, sebuah Yoni tergeletak begitu saja. Tidak hanya Yoni, batu-batu candi yang masih tertimbun di persawahan warga juga sangat banyak.

Situs sumur Blandung mengakhiri perjalanan ekspedisi hari pertama untuk melanjutkan ke tempat acara malam di Watu Payung, Dusun Kemiri. Situs sumur Blandung berupa kolam air tua yang menurut warga bila airnya surut di dalamnya terdapat Yoni. Di sekitaran sumur pun banyak ditemukan batuan candi yang salah satunya digunakan sebagai makam.

Perjalanan hari pertama ditutup dengan diskusi mitos dan pentas musik Astakosala Volk di situs tapaan Watu Payung.

Gentong dari batu, Situs Tegowanuh.

Artefak terserak di ladang pertanian di Kedunglo.

Batu candi, Bhatara Kala dijadikan makam di Situs Sumur Blandung. (Foto: Nino)

Arca Jaladara hanya digeletakkan di samping rumah di Dusun Kasihan, Mudal.

Peninggalan Medang Iwarak, Situs Kasihan dijadikan benteng.

Batu candi di samping rumah warga ditumpuk dan atasnya dikasih bola dengan semen.

 

Menelusuri Reruntuhan Candi Hingga Liyangan
“Perjalanan ke candi-candi mungkin mudah dilupakan, tetapi perjumpaan dengan orang lokal selalu memberi kesan yang mendalam,” begitu kurang lebih status Instagram Imam Budidharma, salah satu peserta ekspedisi dari Jogja.

Minggu (15/10) hari itu dimulai dengan obrolan ringan bersama Mbah Marwoto, juru kunci dan sesepuh Watu Payung. Dengan kopi, getuk dan aneka makanan ringan khas pedesaan membuat pagi terasa lebih hangat. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 09.00 WIB yang artinya perjalanan harus dilanjutkan ke situs berikutnya.

Situs Mundal, Desa Kasian menjadi tujuan pertama. Di situs ini, batuan candi banyak ditemukan tetapi kondisinya tidak kalah memprihatinkan dengan situs-situs sebelumnya. Batuan candi yang ditemukan dijadikan makam dan banyak yang disusun warga ala kadarnya, bahkan ada yang digunakan sebagai pondasi talud. Arca Jaladara pun hanya diletakkan di depan rumah. Tidak jauh dari Situs Kasian, kami berjalan ke arah Temanggung kota, di sebuah pojokan rumah warga ada batuan candi yang atasnya disemen gambar bola. Perjalanan pun kami lanjutkan ke Situs Prasasti Gondosuli. Situs ini berupa reruntuhan bangunan candi.

Selesai dari Situs Gondosuli dilanjutkan ke Situs Ngadisari. Tidak jauh berbeda dengan situs-situs sebelumnya, situs ini pun hanya tergeletak di dekat rumah warga. Banyak batuan candi yang masih tertimbun tanah pada situs ini, karena belum ada plang undang-undang. Tim ekspedisi memasang plang nama dan undang-undang pada situs ini.

Situs Stapan menjadi tujuan berikutnya. Situs yang ditemukan di sebuah gumukan warga ini terancam oleh bangunan perumahan. Di situs ini, tim ekspedisi juga memasang plang nama dan undang-undang.

Selesai makan siang, perjalanan dilanjutkan ke Situs Liyangan. Situs Liyangan merupakan bukti bahwa pada masa lalu Temanggung merupakan pusat peradaban manusia. Banyak temuan menarik di situs yang diperkirakan luasnya lebih dari 25 hektar ini. Temuan berupa talud, jalan kereta pedati, kayu, sistem pertanian kuno, hingga saluran air yang diperkirakan sebagai toilet pun ada. Liyangan menjadi pemberhentian terakhir dalam ekspedisi kali ini.

Prasasti Gondosuli bertuliskan Melayu.

Arca Nandi di Situs Gondosuli.

Relief motif bunga di Situs Ngadisari. 

Reruntuhan batu candi di dekat rumah warga Ngadisari.

Masih banyak batu-batu yang diduga candi tertimbun tanah di Ngadisari.

Tim ekspedisi memasang plang benda cagar budaya.

 

Ekspedisi, Sebuah Pelajaran Kebesaran Bangsa
Yosh Winarto, dosen Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo yang ikut ekspedisi mengatakan perlu belajar sejarah peninggalan masa lalu. “Dengan mengikuti kegiatan seperti ini kita bisa belajar sejarah kebesaran bangsa Indonesia dan nilai-nilai luhur sebuah bangsa, terutama Jawa. Bahwa bangsa kita adalah bangsa yang luar biasa dan generasi seperti kita mempunyai tugas mengungkap, mempelajari dan memahami dari sejarah nenek moyang kita untuk masa depan bangsa Indonesia,” ujar pria yang belakangan mendalami sastra Jawa, utamanya Negara Kertagama ini.

Tidak beda jauh dengan Yosh, Bobi, peserta dari Jakarta juga mengungkapkan hal yang sama. Buatnya ekspedisi seperti ini adalah hal yang asyik. “Buat saya, mengikuti acara ini asyik. Itu pasti, karena dapat sahabat baru, pengetahuan baru, pengalaman baru. Kita bisa jalan menikmati alam dan apa saja yang bisa dinikmati,” kesannya.

“Tetapi, yang lebih penting adalah kita jadi lebih bisa tahu tentang apa itu Indonesia, apa yang menjadikan Indonesia saat ini, dan mau kita bawa ke mana Indonesia di masa depan. Saya kira itu hal yang paling penting menurut saya. Yang kedua, saya mengajak kawan-kawan ikut dalam ekspedisi berikutnya karena akan membawa kita menjadi manusia yang baru,” ajak manajer program Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) ini.

Situs Stapan terancam oleh perumahan warga.

Tembok sisa-sisa peradaban di Situs Liyangan.

Tumpukan batu di Situs Liyangan yang diduga sistem irigasi kuno.

Dinding besar di Situs Liyangan.

Yoni di ujung tembok Situs Liyangan.

Temuan saluran air yang diduga toilet kuno di Situs Liyangan.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *