• Sunday, 29 October 2017
  • Victor A Liem
  • 0

“Exposing yourself to various cultures is so vital towards personal growth.” (Dan Voire)

Pandangan Dan Voire tentang budaya sangatlah menarik untuk kita perhatikan. Menampilkan diri dalam pelbagai budaya adalah sangat penting dalam pertumbuhan pribadi. Apakah itu hanya soal penampilan?

Kita bisa memahami dari pengertian budaya.

Budaya adalah segala hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Manusia memiliki akal budi dan bisa mengekspresikan pemikiran dan menciptakan karya kreatif bagi peradaban. Jelas sekali, pandangan Voire bukan tentang penampilan semata. Karena penampilan luar itu representasi dari apa yang di dalam. Setiap budaya memiliki kedalaman makna dan filosofi. Pertumbuhan diri adalah tentang pemaknaan seperti ini.

Sebagian orang di Indonesia, menganggap agama dan budaya merupakan dua hal yang berbeda. Secara sederhana bahkan “kaku”, agama dianggap berasal dari Tuhan dan budaya berasal dari manusia. Cara pandang ini menjadi ekstrem ketika muncul anjuran untuk beragama saja dan tidak perlu berbudaya. Padahal dalam ilmu humaniora, agama itu juga termasuk budaya, terlepas ada keyakinan akan otoritas Ilahi yang melatarbelakanginya.

Dalam istilah Max Weber, nabi (atau tokoh pendiri agama) muncul dari kalangan individu akar rumput, dengan ide yang baru dan juga emosi yang baru. Dan jika kita amati dalam sejarah agama, agama baru itu merepresentasikan ajaran lama dalam konteks yang baru pada zaman itu.

Jika agama baru itu menjadi agama terorganisasi yang besar lalu dalam perkembangannya menjadi anti budaya, maka eksistensi agama terorganisir itu perlu dipertanyakan. Atau dalam bahasa yang lebih halus agama itu gagal membawa ajarannya dalam konteks kekinian. Tantangan agamawan adalah bagaimana berperan dalam memberi manfaat terbesarnya pada kekinian?

Tulisan ini memahami bahwa membudayakan agama bukan hanya perlu, tapi suatu keharusan. Menjadi harus karena memang metodologi beragama mesti melibatkan pemahaman yang kontekstual.

Mengambil anjuran Buddha bahwa ajaran agama mesti dipelajari, dicermati, dikritisi, dan diuji sebelum dijadikan penuntun hidup. Beragama jangan berhenti pada kepercayaan saja tapi mesti memberi manfaat bagi diri dan sesama. Pendekatan ini disebut sebagai “ehipassiko”, yang secara populer dipahami sebagai “datang, lihat, dan buktikan”.

Guru Agung Buddha bukan menganjurkan untuk tidak percaya pada agama. Maksudnya bukan seperti itu. Agama mesti diselami melalui pintu kebijaksanaannya masing-masing. Kebijaksanaan selalu kontekstual, karena kebijaksanaan itu menembus hal yang mendalam.

Dalam falsafah postmodern, ada upaya mendekonstruksi kebenaran. Teori tentang kebenaran mesti dibongkar pasang ulang agar memahami komponen di dalamnya, sebelum menyusunnya kembali dan mengemasnya demi manfaat bagi peradaban.

Dalam tulisan Harvard Divinity School, Religious Literacy Project, disebutkan bahwa mustahil memahami agama dalam budaya yang terisolasi dan memahami budaya tanpa memahami dimensi agama.

Hal yang mirip juga diungkapkan oleh Sulak Sivaraksa, salah seorang pendiri International Network of Engaged Buddhists (INEB). Orang yang menjalani spiritualitas mesti memperhatikan lingkungan sosial dan fisik sekitarnya.

Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, agama sebagai produk budaya sudah umum dalam ilmu humaniora. Namun tulisan ini memilih memakai kalimat “membudayakan agama” oleh karena pemahaman agama saat ini dirasakan telah menjadi berlebihan. Adanya gejala seperti ini mesti butuh penyeimbang.

Membudayakan Agama adalah Tantangan Saat Ini
Membudayakan agama akan membuat orang bisa memahami hal yang mendasar, yaitu kebenaran universal, dan memahami hal yang relatif. Relatif di sini adalah dinamika hidup bermasyarakat. Di dalamnya agama juga berada dalam ruang lingkup hukum sejarah.

Falsafah India, baik dalam agama Buddha dan agama Hindu, ruang lingkup menyejarah itu dilambangkan dengan sosok Maha Kala, Sang Penguasa Waktu. Pada candi-candi Nusantara, ukiran Maha Kala sering diletakkan di atas pintu masuk Candi. Melambangkan bahwa pejalan spiritual sehebat apa pun selalu dimakan oleh Sang Penguasa Waktu. Membudayakan agama adalah proses menyejarah yang sungguh wajar.

Bukan hanya itu. Membudayakan sejarah melalui dengan membedakan antara aspek esensi dan relatif adalah cara awal memahami spiritualitas dengan baik. Orang tidak terjebak pada identitas agama yang sempit. Namun menempatkan diri sebagai pelaku sejarah beserta segala konsekuensinya.

Setiap langkah akan menjadi upaya kreatif untuk berkreasi dan mengekspresikan hal yang esensial. Membudayakan agama membuat hal esensi bisa dikenal lintas generasi yang lebih jauh, selain menjadi cara belajar bagi pejalan spiritual dalam mengenal dirinya melalui memahami orang lain dan keadaan sekitarnya.

Inilah alasan utama bahwa membudayakan agama adalah suatu keharusan.

 

Victor Alexander Liem 

Penulis adalah pecinta kearifan Nusantara dan penulis buku Using No Way as Way.

Tinggal di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah. Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.

 

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Victor A Liem

Penulis adalah pecinta kearifan Nusantara dan penulis buku "Using No Way as Way"
Tinggal di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah. Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *