• Thursday, 31 December 2020
  • Sunyaloka
  • 0

Pada umumnya pemeluk agama-agama Tionghoa di Indonesia cenderung mengombinasikan beberapa keyakinan, empat hal tersebut adalah; Kepercayaan “asal”, Tao, Khong Hu Cu, dan Buddha.

Kombinasi empat macam kepercayaan tersebut pada umumnya terlihat pada upacara pernikahan kaum peranakan di sekitar Jabodetabek, upacara kematian, ritual pada Hari Raya Imlek, Ceng Beng, dan hari lainnya.

Kepercayaan “Asal”
Tidak ada yang tahu sejak kapan kepercayaan “asal” tersebut ada di Tiongkok. Kepercayaan tersebut telah ada sejak ribuan tahun Sebelum Masehi.

Salah satu data yang tertulis adalah Kitab Shi Jing yang terdiri dari 300 syair yang dirapikan oleh Khong Hu Cu, yang berisikan tentang upacara syukur, upacara membakar sisa-sisa tumbuhan, serta pemujaan terhadap Tian (Tuhan) dan Di (bumi).

Ciri ritual tersebut ketika para penganutnya melakukan pujabhakti pada pagi hari dan malam hari dengan membakar satu atau tiga dupa dengan menengadah ke langit dengan menyembah bumi. Demikian juga ketika mereka melakukan upacara ataupun berziarah ke makam leluhur, mereka akan membakar kertas emas, perak, atau menuang arak ke bumi.

Tao
Perlu dibedakan antara Tao sebagai agama dengan Tao sebagai filsafat. Tao yang bersifat agama telah berkembang lama sekali, hal tersebut berbaur dengan kepercayaan “asal” masyarakat Tiongkok.

Pada masa periode Dinasti Han Barat (206 SM – 25 M) agama Tao berkembang pesat. Agama Tao mengembangkan sifat-sifat Okultisme, adanya praktik-praktik penyembuhan dengan jalan “trance” atau kerasukan, membuat kertas jimat, serta upacara menginjak bara api dan memotong lidah untuk membuat kertas jimat.

Di Indonesia, khususnya di daerah Sumatera Utara, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Utara pengaruh agama Tao masih sangat kuat. Mereka sering mengundang para Sai Kong (Pendeta Tao) untuk upacara kematian, upacara permohonan hujan, penyembuhan, dan upacara memanggil jiwa orang yang telah meninggal (Zhao Hun).

Sementara itu, Dao Jia yang filosofis justru berbeda sekali dengan Dao Jiao yang religi. Tao filosofis berpedoman pada Dao De Jing yang disusun oleh Lau Tze (604 SM – 531 SM) dan Nan Hua Jing yang disusun oleh Chuang Tze (399 SM – 295).

Di dalam Tao yang filosofis, upacara yang menonjolkan kekuatan supranatural justru sama sekali tidak terlihat. Lebih berfokus pada hidup yang selaras dengan alam, tidak menentang hukum alam, berusaha untuk mengerti akan hakikat kehidupan. Sumbangan Tao filosofis terlihat pada ilmu pengobatan, akupuntur, maupun feng shui.

Khong Hu Cu
Filsafat agama yang berdasarkan falsafah dari Khong Hu Cu (551 SM – 479 SM) dan Beng Cu Mencius (371 SM – 289 SM).

Konfusianisme dapat dikatakan sebagai agama karena di dalamnya ada pemikiran tentang Tian (Tuhan). Kendatipun Khong Hu Cu sendiri tidak membicarakan hal-hal yang berhubungan pada alam setelah kematian.

Pengaruhnya amat kuat pada masyarakat Tionghoa. Hal tersebut bermula dari Dinasti Han Barat yang menetapkan Konfusianisme sebagai falsafah negara yang berfokus pada humanisme serta etika untuk menghormati Tuhan.

Beberapa dasar pijakan perilakunya adalah sebagai berikut; bakti terhadap leluhur, orang tua, guru, serta pada yang lebih tua. Hormat dan santun pada yang lebih tua. Setia pada atasan, teman, serta kerabat. Kepercayaan, dapat dipercaya oleh orang lain dengan cara memegang atau menepati janji.

Tata krama dan budi pekerti dijunjung tinggi dalam ajaran Konfusius. Solidaritas, rasa senasib sepenanggungan. Pola hidup sederhana, tidak boros, hemat. Malu untuk melanggar tata susila masyarakat.
Bagi penganut Konfusianis, mereka berpendapat sebelum manusia bertanggung jawab pada Tuhan, seseorang harus bertanggung jawab pada alam, manusia, dan dirinya. Etika menjadi dasarnya.

Agama Buddha
Agama ini lahir di India dan diperkenalkan pada masyarakat Tiongkok pada 65 M. Kedatangan agama Buddha di Tiongkok telah memberikan sumbangan religi yang sangat berarti. Jika pada Konfusianisme tidak dikatakan tentang kehidupan setelah kematian. Maka agama Buddha Mahayana memberikan jawaban atas hal tersebut.

Tao menekankan pengertian hidup tenang dan damai di dalam kesederhanaan dan hidup selaras dengan alam, maka dalam agama Buddha dikenal adanya samadhi yang memiliki banyak persamaan.

Perkembangan agama Buddha Mahayana pada masyarakat menjadi istimewa. Selain itu perkembangan terhadap upacara-upacara keagamaan menambah coraknya serta kehidupan monastery.

Ada tiga aliran besar, seperti Cha’an/Zen, T’ien T’ai, dan Hua Yen. Agama Buddha Mahayana telah berintegrasi ke dalam masyarakat Tionghoa. Etika yang ditonjolkan dalam ajaran Khong Hu Cu, pola sikap yang mengikuti alam yang membawa kedamaian batin dari ajaran Tao, welas asih dan kasih sayang dari agama Buddha Mahayana memberi andil yang besar dalam percampuran sebuah peradaban.

Selamat Tahun Baru 2021!

*Tulisan ini dipetik dari, “Agama-agama Tionghoa di Indonesia” Kumpulan Tulisan Para Sahabat, Setitik Kenangan bersama Sahabat dan Guru, Chen Chau Ming, 2020.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *