Tari Saman adalah sebuah tarian tradisional yang berasal dari Nanggroe Aceh Darussalam, tepatnya dari daerah Gayo. Tarian ini lebih dikenal sebagai Saman Gayo Luwes di tanah kelahirannya. Saya pertama kali menyaksikan pertunjukan Tari Saman secara langsung pada saat saya mengikuti masa orientasi mahasiswa di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
Saat saya pertama kali menyaksikan pertunjukan tari ini, hanya ada satu hal yang muncul dalam benak saya. Bagaimana cara mereka (para penari) melakukan hal seindah itu? Mereka menggerakkan tangan dan kepala dengan tempo yang sangat cepat, sambil ikut bernyanyi dengan lantang.
Anehnya, dari sekian banyak penari tidak ada yang terlihat melakukan kesalahan. Semuanya seolah menyatu dalam tempo dan ritme gerakan, yang terlihat sangat harmonis. Raut wajah mereka menunjukkan kebahagiaan dan kegembiraan yang luar biasa. Detik itu juga saya jatuh cinta dengan tarian tradisional itu.
Hal yang selanjutnya saya lakukan adalah saya mencari wadah untuk mempelajari Tari Saman tersebut. Saya bergabung dengan Sanggar Kesenian Aceh di kampus biru ini, dengan hanya bermodal rasa kagum terhadap tarian tersebut. Dan akhirnya saya benar-benar punya kesempatan untuk mempelajarinya secara langsung.
Ada beberapa pesan menarik yang saya pelajari, tersirat di dalam Tari Saman. Pertama, alasan kenapa tari ini ditarikan dengan bersimpuh di lantai dengan bahu antara satu penari dengan penari yang lain saling bertemu. Bahu yang saling bertemu itu mengajarkan kita untuk selalu ‘bahu-membahu’ dalam kehidupan bermasyarakat. Jika salah satu bahu penari terlepas dengan teman disampingnya, maka hal itu akan membuat barisan menjadi kacau dan terlihat tidak rapi, menjadi tidak harmonis.
Begitu juga dalam kehidupan sehari-hari, dalam kelompok masyarakat jika seseorang melepaskan ‘bahu’nya dari orang-orang di sekitarnya, maka akan muncul ketidakharmonisan dalam kelompok tersebut. Meskipun hanya satu orang, tapi dampaknya mungkin bisa berpengaruh terhadap seluruh anggota kelompok.
Kedua, Tari Saman biasanya ditarikan oleh penari laki-laki dengan total jumlah penari ganjil. Penari yang berada di tengah bertindak sebagai ‘Syekh’ atau pemimpin dalam tarian itu. Hal ini mengajarkan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat diperlukan sosok pemimpin. Harus ada satu orang yang berani berdiri sebagai pemimpin yang mampu mengarahkan anggotanya dengan baik.
Ketiga, dalam Tari Saman tidak boleh ada satu penari yang lebih menonjol dari penari lainnya. Setiap penari harus memiliki kekuatan/power, serta tempo yang sama. Hal ini mengajarkan kita untuk selalu menjaga keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat.
Terlepas dari Tari Saman yang berasal dari Aceh, bukan hanya masyarakat Aceh saja yang bisa mengambil pesan dari tarian tersebut. Kita sebagai generasi muda Indonesia, sudah seharusnya kita mempelajari kebudayaan yang menjadi warisan milik kita sendiri. Sebagai penutup, saya mengutip sebuah quote yang disampaikan oleh European Association of Folklore Festival (EAFF), “The preservation of the cultural heritage is a precious gift for the future generation!” (“Pelestarian warisan budaya merupakan hadiah paling berharga bagi generasi muda!”)
*Harris Daniswara Kamal, merupakan peserta workshop EWW! Eka-citta Writing Workshop (19/11). Diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa Buddhis Universitas Gadjah Mada (Kamadhis UGM) bekerja sama dengan BuddhaZine
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara