Ratusan umat Budha di Vihara Giri Manggala, Desa Alasangker, Kabupaten Buleleng, Bali, merayakan Hari Suci Waisak dengan kegiatan berbalut budaya dan tradisi Bali. Sebuah akulturasi terwujud di sini.
“Akulturasi budaya di desa kami memang begitu kental, sehingga tidak ada perbedaan antara pemeluk agama satu dengan yang lain. Semua saling mengasihi dan menyayangi,” kata Ketua Vihara Giri Manggala, Romo Ketut Widiasa, di Singaraja, Kamis (11/5).
Dijelaskan, akulturasi budaya di Desa Alasangker telah terjalin sejak puluhan tahun lalu, tidak ada jarak dan batas antarumat Hindu dan Buddha di desa tersebut, karena semuanya menyatu dalam tradisi dan budaya Bali.
Romo Widiasa menuturkan, setiap perayaan Waisak, umat Buddha berkumpul bersama-sama membuat sesajen persembahan ke hadapan Buddha dibantu masyarakat sekitar yang beragama Hindu.
Bentuk dan sarana persembahan pun pada dasarnya sama dengan beberapa jenis sesajen yang lain, seperti banten yang terdiri dari buah, bunga atau canang sari, air, dupa, serta lilin. Dalam kepercayaan Hindu, banten adalah salah satu sarana persembahyangan sebagai rasa ucap syukur terhadap kebesaran Ida Sang Hyang Widhi. Dalam setiap perayaan hari suci Waisak, sesajian banten itu dinyatakan sebagai sebuah tradisi dari leluhur mereka di masa lalu.
Selain itu, masyarakat sekitar juga membantu menata vihara, selain juga menjaga keamanan dan ketertiban di vihara yang dikoordinasikan langsung oleh pecalang. Bukan hanya itu, perayaan Waisak di sore hari juga dimeriahkan dengan beberapa penampilan tarian Bali dan juga gong kebyar atau penampilan tetabuhan alat musik tradisional Bali. “Vihara punya aset alat-alat musik Bali yang dikenal dengan gamelan. Anak-anak kami memanfaatkannya untuk belajar setiap seminggu sekali,” terangnya.
Menurut Romo, sikap toleransi dan kerukunan umat di desa tersebut sejalan dengan tema perayaan Waisak tahun ini yakni Cinta Kasih Penjaga Kerukunan. “Mari bersama-sama menjaga kerukunan umat beragama. Jangan ada perbedaan di antara kita. Cinta kasih adalah dasar yang harus terus dipupuk bersama-sama,” kata dia.
Dalam kehidupan sehari-hari pun, warga selalu berdampingan saling membantu dalam setiap perayaan hari raya. “Kami selalu ikut jika desa adat menggelar upacara Ngaben massal. Kami tetap ikut ngayah dengan cara kami. Entah ikut menjadi sekeha gong atau yang lainnya,” ujarnya.
“Kini kami sudah terbiasa, dalam satu keluarga ada yang beragama Hindu dan Buddha. Sama saja. Saya beragama Buddha, kakak saya ada yang Hindu,” ungkapnya.
Sukada mengungkapkan, pembangunan Vihara Giri Manggala di Desa Alasangker penuh dengan makna kerukunan dan kehidupan gotong royong sesama warga. Vihara ini dibangun secara bergotong-royong mulai dari mencari batu kali untuk pondasi secara mandiri di sungai terdekat, hingga mencetak batu bata juga dilakukan oleh warga setempat. (Koran Buleleng/Media Indonesia)
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara