• Thursday, 14 January 2016
  • Ngasiran
  • 0

Tekelan adalah sebuah dusun di Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah yang mempunyai penduduk mayoritas beragama Buddha. Dusun yang merupakan dusun tertinggi di lereng Gunung Merbabu ini masih memegang kuat tradisi meskipun juga telah menjalankan ajaran Buddha. Salah satu tradisi yang masih dipegang teguh dan dilaksanakan setiap tahun adalah potong rambut gimbal atau oleh orang setempat disebut sebagai potong rambut Gombak. Tradisi ini mirip seperti yang dilaksanakan oleh masyarakat Dieng.

Tradisi potong rambut gimbal di Tekelan sudah berlangsung turun-temurun. Seorang anak ketika lahir rambutnya tidak dipotong hingga berumur sekitar 5-7 tahun dan secara alami rambut anak menjadi gimbal. Menurut penuturan Romo Mandar, sesepuh Tekelan, seorang anak bisa mempunyai rambut gimbal karena faktor keturunan dan keinginan orangtua.

“Dulu semua anak di Tekelan rambutnya gombak semua, hal ini dikarenakan keinginan orangtua. Biasanya orangtua mempunyai keinginan supaya anaknya selamat dalam menjalani hidup sehingga rambut anaknya di-ingu (dipelihara/tidak dipotong) hingga berumur sekitar 5-7 tahun,” ujarnya.

Sebelum berkembangnya agama Buddha di Tekelan, tradisi potong rambut gimbal sudah ada dan dijalankan sesuai tradisi Jawa dengan menggunakan berbagai sesajian. “Sebelum dicukur, anak harus diruwat dengan berbagai sesajian, seperti memotong kambing Jawa, macam-macam sesajian, dan menanggap hiburan seperti wayang dan kesenian-kesenian lain, dengan tujuan setelah anak dicukur tidak ada halangan dalam menjalani hidup,” jelas pria berumur 45 tahun ini.

Transformasi Potong Rambut Gimbal Tradisi Jawa ke Tradisi Buddhis
Agama Buddha berkembang di Tekelan mulai tahun 1970an yang dibawa oleh Karto dan Romo Joyo Sugondo dari Salatiga. Pada awal perkembangannya, hampir semua masyarakat Tekelan masuk agama Buddha karena agama Buddha dianggap sesuai dengan filsafat Jawa.

“Pada awalnya banyak orang pintar masuk agama Buddha. Mereka yakin bahwa agama Buddha sama dengan filsafat kerbau kembali ke kandang, orang bepergian harus kembali ke rumah masing-masing,” ujar Romo Mandar.

Sebelum berdirinya Vihara Buddha Bumika, umat Buddha Tekelan melakukan puja bakti dari rumah ke rumah. Bimbingan Romo Joyo yang datang setiap dua minggu atau satu bulan sekali, mampu memberi pemahaman Dhamma kepada umat Buddha Tekelan. Hingga pada tahun 80an upacara potong rambut Gombak diubah sesuai tradisi agama Buddha.

“Romo Gondo menjelaskan secara detail bagaimana akibat membunuh untuk kebutuhan kita, dan bagaimana apabila tidak membunuh bagi kehidupan kita. Setelah dijalankan dengan tidak mengorbankan kambing Jawa dan hewan lain, ternyata hasilnya juga sama. Dari situ masyarakat dalam melakukan potong rambut Gombak tidak lagi membunuh,” jelas Romo Mandar.

Vihara Buddha Bumika Kesenian rakyat Jatilan

Proses Potong Rambut Secara Agama Buddha
Bagi masyarakat Tekelan, potong rambut Gombak dimaknai sebagai harapan hidup yang lebih baik di masa mendatang. Anak lepas dari sembakala (halangan) dan menjalankan kehidupan yang aman di mana pun berada. Hal inilah yang menyebabkan tradisi ini bisa berjalan dari generasi ke generasi meskipun banyak proses yang harus dilalui untuk menjalankan potong rambut.

Ada banyak ketentuan dan proses yang harus dilalui untuk mengadakan upacara potong rambut Gombak. Untuk melangsungkan potong rambut harus menunggu anak berumur 7 tahun atau anak telah pupak (gigi berganti baru), neton anak (biasanya anak rewel selama 3 hari). Setelah ada tanda-tanda tersebut baru ditentukan waktu dan tanggal pelaksanaan sesuai dengan penanggalan Jawa, biasanya dilaksanakan pada bulan Suro. Untuk waktu pelaksanaan potong rambut biasanya dilaksanakan pada pukul 7-9 pagi hari. Selain itu yang lebih penting adalah untuk bisa mengadakan potong rambut Gombak harus terlebih dahulu harus nunggu pepak (cukup harta), karena biayanya besar.

Berbagai sesajian jajanan pasar melengkapi proses upacara potong rambut Gombak, seperti jenang krena, jajanan pasar, jenang kleyean pitu (tujuh), ondo tebu, dan karena sudah tidak menggunakan kambing Jawa (hewan apa pun) maka diganti dengan ambeng pakai telur.

Dalam proses pemotongan sendiri diawali dengan puja bakti yang dipimpin oleh bhikkhu atau romo pandita yang diikuti oleh seluruh umat Buddha Tekelan. Kemudian dilanjutkan dengan pemotongan rambut yang diselingi dengan menyanyikan lagu-lagu Buddhis, pesan Dhamma, dan pemberkahan khususnya kepada anak yang dipotong rambutnya.

Pada tahun 2015 lalu, upacara potong rambut Gombak berlangsung tepat pada Tahun Baru Suro tanggal 14 Oktober 2015. Masyarakat Tekelan melangsungkan upacara potong rambut 4 anak, yaitu Dwi Dharma Metta (6), Ngatino (7), Sudiyono (7), dan Bagus. Mereka dicukur oleh dukun bayi dan sangha. Setelah dipotong melalui upacara potong rambut Gombak, rambut si anak akan kembali tumbuh normal dan tidak gombak lagi.

“Sedikit disayangkan saat ini tidak banyak anak yang mempunyai rambut gombak di Tekelan, kalau dulu hampir semua anak berambut gombak. Hal ini berbanding lurus dengan menurunnya agama Buddha di Tekelan yang diakibatkan oleh menurunnya keyakinan umat dan pernikahan,” ujar Romo Mandar mengakhiri perbincangan.

Puja bakti menjelang upacara pemotongan rambut

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *