• Wednesday, 17 February 2021
  • Jo Priastana
  • 0

Apakah yang menjadi tujuan akhir dari cita-cita siswa Buddha? Seperti gurunya menjadi Buddha. Apakah Buddha itu? Buddha adalah seseorang yang sepenuhnya memusnahkan semua kekotoran batin dan mengembangkan semua kualitas kebaikan tanpa batas.

Para Buddha adalah sumber dari segala kebaikan dan kebahagiaan dikarenakan mereka mengajarkan untuk memusnahkan segala penderitaan dengan menciptakan kebahagiaan dan kedamaian.

Ada dua segi dari kebuddhaan tersebut, pertama memusnahkan kekotoran batin, memusnahkan penderitaan, dan kedua mengembangkan semua kualitas kebaikan tanpa batas, menciptakan kebahagiaan dan perdamaian.

Untuk mencapai dua segi kebuddhaan itu, terdapat praktik Bodhisattwa sebagai jalan yang akan menghantar seseorang menjadi Buddha yang sepenuhnya tercerahkan. Apakah dan bagaimanakah praktik Bodhisattwa itu? Thubten Chodron, seorang bhiksuni Amerika menjelaskan tentang 37 praktik Bodhisattwa berdasarkan teks yang ditulis oleh Gyelsay Togmay Zangpo.

Gyelsay Togmay Zangpo adalah seorang yang rendah hati yang mencoba menjelaskan bait-bait praktik “37 Praktik Bodhisattwa” di suatu gua. Ajaran “37 Praktik Bodhisattwa” (The Thirty Seven Practices of Bodhisattwa) itu sendiri merupakan ajaran dari Geshe Sonam Rinchen yang merupakan salah satu guru Thubten Chodron.

Thubten Chodron mengajak kita memasuki “37 Praktik Bodhisattwa” melalui pengenalan terhadap Ajaran Buddha terlebih dahulu, seperti tentang: samsara, lingkaran hidup, dan diri manusia yang terdiri dari lima kesatuan mental dan fisik.

Ia juga menjelaskan tentang sifat alami pikiran dan keberadaan kita yang tidak pernah memuaskan, kebodohan yang merupakan akar dari segala penderitaan, tumimbal lahir, fenomena kehidupan sebagai yang saling-tergantung termasuk fenomena pengkondisian dan sosialisasi yang dialami dalam kehidupan manusia dari budaya, tradisi dan masyarakatnya. Selain itu juga menjelaskan tentang masalah kebahagiaan, jalan berlindung terhadap Tri Ratna.

Pemahaman terhadap sejumlah ajaran Buddha itu memungkinkan kita menyelami tentang fenomena diri kita sebagai makhluk yang sedang berkelana di alam samsara, mengalami penderitaan dalam berbagai kelahiran kembali dengan mengenali. Ia mengajak kita sebab-sebabnya agar dapat membangun tekad yang kuat untuk mengatasinya, keluar dari alam samsara, yakni tekad, ikrar atau sumpah Bodhisattwa yang terkenal itu.

Ikrar Bodhisattwa

Ikrar Bodhisattwa yang sangat penting untuk praktek Bodhisattwa. Bila tekad, ikrar atau sumpah Bodhisattwa itu membangkitkan energi keyakinan dan kemantapan diri dalam menempuh jalan Bodhisattwa, maka “37 praktik Bodhisattwa” ini memberikan perangkat aplikasi, manual operasionalisasi, cara-cara praktis dalam mewujudkan Bodhicitta, benih-benih kebuddhaan.

Buku ini memperlihatkan dengan jelas dan tegas bahwa kita adalah Bodhisattwa makhluk Bodhi yang bercita-cita mewujudkan diri di jalan Kebuddhaan, menjadi Budddha.

Buku “37 Praktik Bodhisattwa” ini bisa dipandang sebagai suatu bentuk “upaya kausalya” (skillfull in means), atau cara bajik dan cerdas di dalam menumbuhkan Bodhicitta, benih-benih kebuddhaan. Sebuah Buku yang mengajak kita menempuh jalan Bodhisattwa yang bercirikan Prajna, wisdom, kebijaksanaan dan Karuna, welas asih, compassion.

Jalan Bodhisattwa

Jalan Bodhisattwa adalah jalan yang tiada lagi mementingkan diri sendiri, jalan yang tiada lagi keakuan atau diri yang terpisah. Praktik Bodhisattwa sebagai jalan memusnahkan semua kekotoran batin dengan mengembangkan semua kualitas kebaikan tanpa batas.

Dalam buku “37 Praktik Bodhisattwa” ini, pembaca akan diajak bertamasya menyaksikan keluar-biasaan pemandangan berbagai macam bentuk sikap, tindakan, ucapan, pikiran yang bersumber dari tiadanya-ego, non-aku atau anatta. Pribadi atau diri yang sudah tiada aku lagi.

Berperilaku dan menjalani kehidupan yang tidak bersumber pada pusat diri yang bernama keakuan, egoistis, namun semata-mata bersikap altruis, demi kebahagiaan orang dan makhluk lain.

Bagaimanakah menjelaskan pemandangan dari tamasya tanpa keakuan ini, perilaku yang semata karena welas asih? Pada halaman-halaman akhir buku ini, Thubten Chodron mengingatkan, bahwa Bodhisattwa itu adalah praktik, wujud dari aspirasi menolong (compassion). Ia menyarankan kita untuk “merasakan Dharma,” yang artinya mengalami sendiri keindahan dharma dari praktik Bodhisattwa itu.

Merasakan Dharma

Merasakan Dharma bukanlah suatu proses intelektual, namun lebih bersifat eksperimental (pengalaman), dan ketika pengalaman itu sungguh anda rasakan, sama halnya merasakan Dharma. Efek yang akan ditimbulkan dari merasakan Dharma adalah keyakinan terhadap Dharma yang semakin bertambah sendirinya. Begitu pula, tindakan-tindakan akan selalu mendatangkan bermanfaat bagi semua makhluk karena dilandasi oleh motivasi Bodhicitta.

Coba kita ambil satu bait dari ke 37 praktik Bodhisattwa itu. Kita coba untuk pahami, resapi dan rasakan, makna dan maksudnya. Kita petik bait ke 25 tentang Kemurahan Hati yang Menjangkau Jauh

“Ketika mereka yang ingin mencapai pencerahan, walaupun dengan mengorbankan tubuhnya, tidak perlu menyebutkan hal-hal di luar, dengan demikian juga tidak mengharap balasan atau hasil, mereka akan memberinya atau melakukannya dengan murah hati, ini adalah praktik para Bodhisattwa.”

Bait ke 25 ini membahas mengenai praktik berdana, satu dari sad (enam) paramita yang dipraktikkan Bodhisattwa, yaitu: kemurahan hati (kedermawanan), disiplin etis (sila), kesabaran (khanti), berusaha dengan riang gembira (virya), ketenangan meditatif (dhyana), dan kebijaksanaan (wisdom).

Melalui syair pernyataan praktik Bodhisattwa yang kita rasakan dan resapi itu, memungkinkan kita dapat merasakan dharma dan mewujudkan paramita lainnya sebagai tindakan yang bebas dari keakuan dalam diri.

Praktik Bodhisattwa lainnya yang mencerminkan sifat luhur dan perilaku mulia dapat kita baca dan simak dalam buku “37 Praktik Bodhisattwa ,” ini. Sebuah buku yang sangat berguna, penting, dan praktis bagi kita dalam menempuh jalan Bodhisattwa.

Banyak penjelasan yang menarik yang dapat kita temukan dalam setiap halaman-halaman buku ini. Penjelasan yang pada akhirnya menjadikan diri kita dalam tiada-aku, non-ego (anatta), diri yang sunyata (kosong), kosong dari kepentingan diri sendiri. Bahwa kita bukanlah sebuah makhluk yang berdiri sendiri atau terpisah dari yang lainnya.

Dalam welas asih itulah kita tahu bahwa kita adalah makhluk sosial yang terkait terhubung satu sama lain, dan merupakan teman bagi sesamanya, homo homini socius, tulis filsuf Romawi, Lucius Annaeus Seneca (4 SM – 65 M).

Sebagai makhluk sosial, welas asih, kita terasa diangkat ke-ketinggian yang diluar perkiraan anggapan dan pikiran manusia yang masih dalam tataran lokiya atau duniawi yang masih mementingkan diri sendiri. Kita diajak melakukan transendiri diri, menempuh jalan lokuttara dimana segalanya terbentang dalam kekosongan tanpa batas, di dalam diri yang tiada ego lagi namun semata diliputi kebijaksanaan dan welas asih, diri yang sungguh bahagia.

Dalam praktik Bodhisattwa yang bebas dari kepentingan egoistis inilah, kita menyadari bahwa kita adalah sebuah fenomena hidup yang luar biasa, bagian dari semesta alam. Praktik Bodhisattwa yang mencerminkan diri yang tiada aku, diri yang akan mudah berbagi untuk kemanusiaan, bagi mereka yang menderita, bagi bumi yang sedang menderita saat ini. ***

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *