Borobudur konon telah ada sejak lebih dari satu milenium lampau, diperkirakan masih eksis dalam kegiatan spiritual lebih dari lima abad kemudian. Tata letak, pemilihan lokasi, pemilihan cerita (sutra) dan seluruh bagian candi penuh dengan ajaran hidup yang sarat makna. Bisa dipastikan “creator“-nya dahulu sangat mumpuni dalam susastra ataupun ilmu kehidupan.
Seperti kita tahu, orang Jawa tidaklah menolak ataupun menelan secara “mentah” kepercayaan impor, yang mana kepercayaan “luar” baru masuk itu diolah dan “kembali” ditata sedemikian rupa, disesuaikan dengan budaya dan kehidupan bermasyarakat yang lebih baik.
Begitu pula Borobudur, adalah jelas ia berlatar buddhis (berasal dari India) yang kembali dihadirkan diberi citra ‘Jawa’ dalam penampakannya. Mungkin Borobudur pernah hilang digerus masa. Namun tidak dengan ajarannya.
Ragu? Kita uraikan satu-satu,
Kammavibangha, atau Maha Karmawibangga di bagian kaki, ke-160 reliefnya adalah penggambaran dari sebab akibat perbuatan manusia di dunia. Siapa yang menanam akan memetik, tanah mangga berbuah mangga. Ajaran itu telah melekat dalam pribadi orang Jawa, yang dikenal dengan pitutur Ngunduh wohing pakarti sebagai pengingat manusia tentang karma.
Naik pada teras berikutnya, kita disuguhi relief Jataka dan Avadana. Inti dari relief itu adalah berbagai kisah mengenai bagaimana seharusnya hidup dalam masyarakat, bagaimana tata krama, bagaimana tolong menolong, bagaimana hormat kepada ibu, bagaimana menempatkan guru, dan apa arti kesabaran serta ketulusan.
Inti sari kisah-kisah itu juga termaktub dalam pengangan hidup manusia “Jawa” yang mana orang itu hadir bukan untuk dirinya sendiri, manusia ada karena ada manusia lain dengan nilai-nilai kemanusiaan yang dimiliki dan dalam Jawa dikenal dengan Migunani tumpraping ing liyan atau berguna bagi mahkluk (manusia) lain.
Teras selanjutnya kita berada dalam hamparan panel Gandawyuha, kisah perjalanan Sudhana untuk menggapai pencerahan hidup, terbebas dari samsara bertemu dengan 53 guru pembimbing spiritual hingga akhirnya dituntun dan ditunjukkan apa itu pencerahan sejati.
Dalam kisah-kisahnya terdapat berbagai kisah heroik pedoman hidup dari berbagai kalangan ditemui oleh pemuda Sudhana dan bertemu berbagai latar belakang entah raja, dewa, denawa, pedagang, pengemis, anak kecil hingga PSK. Semua memenuhi Dharmanya masing-masing menjalani hidup sesuai perannya masing-masing untuk bisa Memayu hayuning bawana.
Borobudur tidak sepenuhnya sirna, kehadirannya masih melekat dalam pribadi orang Jawa. Belajar dari Borobudur bukan belajar atau mengajak untuk menjadi buddhis semata, tapi bagaimana menjadi manusia seutuhnya, manusia yang peka terhadap dirinya, keluarga, orang lain bahkan pikirannya.
Jangan biarkan ajaran ini sirna, nenek moyang tidak hanya mewarisi Monumen. Borobudur yang tak lebih dari tumpukan batu berukir tanpa kata saja sudah begitu memukau dunia. Apalagi bila kita juga mewarisi ilmu dan ajaran di dalamnya.
*Yosi Cahyono, seorang pemerhati candi. Saat ini bertugas memugar situs Liyangan, Temanggung.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara