• Saturday, 28 September 2019
  • Sasanasena Hansen
  • 0

Istilah mono no aware mungkin terasa asing bagi kita. Tapi tahukah anda bahwa istilah ini menggambarkan konsep ketidakkekalan atau anicca dalam ajaran Buddha?

Mono no aware merupakan istilah yang muncul pertama kali oleh Motoori Norinaga, seorang cendekia sastrawan abad ke-18 di Jepang. Sebagaimana yang kita ketahui, budaya Jepang banyak dipengaruhi oleh Zen. Terlebih sebagai negara dengan empat musim, orang-orang Jepang dengan mudah mengalami dan menyelami konsep ketidakkekalan ini. Ketika musim gugur tiba, daun-daun berguguran. Ketika musim salju tiba, pohon-pohon mati. Melihat hal ini, mereka tahu seberapa kerasnya hidup dan bahwa segalanya harus berakhir.

Mono no aware merupakan kombinasi dua kata, yaitu ‘mono’ yang berarti perihal dan ‘aware’ yang berarti perasaan sensitif atau kesedihan. Istilah ini sering diartikan sebagai bittersweet feeling (perasaan sendu) setelah menyaksikan sirkus kehidupan yang memesona meskipun menyedihkan. Sebuah perasaan yang menggambarkan fenomena ketidakkekalan dalam hidup dengan indah.

Hal ini sesuai dengan salah satu ajaran penting dalam agama Buddha yaitu anicca atau ketidakkekalan. Pengakuan atas ketidakkekalan dan perubahan dalam kehidupan merupakan inti ajaran Buddha yang sulit ditemui dalam agama lainnya. Di Jepang, ajaran Buddha menekankan pada aspek ketidakkekalan atau mujō (無常) dan ketidakberdayaan atau muga (無我) yang terjadi pada segala hal yang berkondisi.

Kecenderungan manusia adalah untuk mengabaikan atau menolak kebenaran dari aspek ini. Kemelekatan semacam ini menyebabkan munculnya ku (苦), ketidakpuasan atau penderitaan. Tetapi hal ini bukan berarti agama Buddha bersifat pesimistik yang memandang hidup hanyalah sebuah penderitaan. Justru agama Buddha menawarkan sebuah janji pembebasan sempurna melalui pemahaman mendalam dan menerima aspek mujō dan muga ini.

Inilah keindahan yang digambarkan dalam istilah mono no aware. Dengan menerima ketidakkekalan dan ketidakberdayaan, manusia dapat sadar dan memulai pencarian jalan menuju kebebasan sempurna. Sebagaimana musim salju yang berganti musim semi, perasaan melankolis ini berusaha menceritakan kesedihan dan ratapan atas suatu peristiwa seperti meninggalnya anggota keluarga atau hal berharga lainnya. Pada waktu bersamaan pula mereka mengapresiasi dan bergembira karena mereka telah berkesempatan menyaksikan keindahan dari hidup itu, menjadi bagian dari hal yang hilang.

Upasaka Sasanasena Seng Hansen

Sedang menempuh studi di Australia.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *