31 Mei 2018. Selamat ulang tahun Surabaya! Selagi kota dagang ini merayakan ulang tahunnya dengan meriah, mari kita lihat asal usul latar belakangnya yang ternyata banyak berkaitan dengan ketiga agama: Buddha, Tao, dan Khonghucu.
Catatan prasasti
Prof. Heru Soekadri, penemu hari jadi Kota Surabaya, dahulu diwawancarai Sinar Dharma, menyatakan Surabaya terlahir dari sebuah kuti. Waharu Kuti merupakan daerah perdikan (Sima) pertama di Hujunggaluh.
Di kawasan delta Sungai Brantas, ditemukan prasasti Waharu Kuti bertajuk tahun 840 M. “Tentang status sima Waharu Kuti, bisa dilihat juga pada isi prasasti Sangsang (907 Masehi) yang menyebut: I’kanang Wanua Waharu Kuti I Hujunggaluh Watak Lamwa,” lanjut Sang Profesor.
Selain itu ditemukan pula prasasti Gedangan atau Kencana bertajuk 860 M. Prasasti itu menyebutkan bahwa di Bungur Lor dan Bungur Asana ada dibangun sebuah candi Buddhis.
Prasasti itu menyebutnya sebagai, “dharmmasima ring Kancana… pangadegna sanghyang prasada sthana nora sanghyang arcca boddha pratiwimba niran pujan angken karttikamasa” (pendirian prasada untuk menaungi arca Buddha yang akan dipuja pada bulan Karttika.) Di sana juga disebutkan adanya juru Cina (Tionghoa) dan India.
Nama Waharu sekarang menjadi Waru, Sidoarjo; nama Kuti menjadi Kutisari, Surabaya; dan nama Bungur Lor/Asana menjadi Bungurasih, Sidoarjo.
Biksu di Surabaya dari catatan Fei Xin dan Ma Huan
Pada tahun 1225 M, Zhao Rugua mencatat tempat di Jawa bernama Jungyawu (Hujunggaluh) alias Surabaya. Dua ajudan Laksamana Zheng He (Cheng Hoo) yaitu Ma Huan dan Fei Xin juga mencatat mengenai Surabaya dalam kitab Yingya Shenglan dan Xingcha Shenglan. Bersama Laksamana Zheng He, mereka pernah menetap selama 4 bulan di Surabaya.
Mereka mencatat bahwa Surabaya disebut sebagai Sulumayi atau Suer’baya. Gresik, kota tetangganya, bahkan dicatat oleh mereka sebagai peradaban yang didirikan orang-orang Tionghoa pada tahun 1350 M.
Yingya Shenglan dan Xingcha Shenglan mencatat bahwa di muara pelabuhan Surabaya ada sebuah pulau kecil yang dihuni oleh ratusan monyet berekor panjang. Pada masa Dinasti Tang (618-906 M) ada keluarga yang jumlahnya ada 500 orang pria dan wanita yang berwatak buruk dan jahat.
Baca juga: Umat Buddha Indonesia Turut Berduka Cita Tragedi Kekerasan di Surabaya
Suatu ketika, seorang biksu mendatangi keluarga ini dan mengajarkan hal-hal yang menguntungkan dan tidak menguntungkan. Akhirnya biksu ini mengambil air dan menyemprotnya ke arah mereka dan seketika itu juga mereka berubah menjadi monyet.
Di antara mereka hanya tersisa satu nenek yang tidak berubah wujud. Hingga saat Fei Xin dan Ma Huan tiba, para penduduk masih mempersembahkan makanan dan minuman, buah, dan bunga untuk menghormati nenek itu dan monyet pemimpin yang berwarna hitam.
Para perempuan di Surabaya jika kesulitan punya anak akan memberi persembahan dan jika diterima maka permohonannya akan terkabul. Kejadian di Surabaya ini sungguh aneh bagi armada Zheng He.
Di kota-kota pelabuhan Jawa Timur ini, orang Tionghoa juga sudah banyak tinggal. Ada yang berasal dari Guangdong, Zhangzhou ataupun Quanzhou, Fujian.
Ma Huan dan Yan Congjian mencatat bahwa sebagian besar dari orang Tionghoa di Surabaya dan Jawa Timur ini beragama Islam. Dari armada Zheng He sendiri ditunjuk Bong Swi Hoo yang muslim untuk menjadi pemimpin komunitas Tionghoa, yang belakangan dikenal sebagai Sunan Ampel. Mulai dari abad ke-15 sampai ke-18, banyak orang Tionghoa muslim berbaur dengan penduduk lokal sehingga banyak juga yang mendapat posisi penting di pemerintahan.
Berdirinya kelenteng-kelenteng
Orang-orang Tionghoa terus-menerus berdatangan ke Surabaya lewat jalur maritim. Sejak zaman Ming, armada Zheng He sudah memuja Mazu/Tianshang Shengmu/Tianfei titisan Bodhisattva Avalokiteshvara untuk melindungi pelayaran mereka. Ini terus-menerus terjadi hingga abad ke-19 ketika para perantau Tionghoa ini mulai mendirikan kelenteng-kelenteng untuk menghormati Mazu, sang dewi pelayaran.
Di Surabaya, Kelenteng Mazu tertua adalah Fu’an Gong (Hok An Kiong) di Jalan Coklat yang berdiri tahun 1830 M. Di Gresik juga berdiri Jinxin Gong (Kim Hin Kiong) pada tahun 1863 M dan di Sidoarjo berdiri Tjong Hok Kiong pada tahun 1864 M.
Karena banyaknya orang Quanzhou sedari dulu di Surabaya, maka pada tahun 1899 M berdirilah kelenteng Fengde Xuan (Hong Tik Hian) dan Fengshan Gudi Miao (Hong San Ko Tee) pada tahun 1925 M untuk memuja Guangze Zunwang, dewa pelindung dari Quanzhou yang dikenali sebagai “Buddha hidup” dari Minnan.
Pada tahun 1884 M juga berdiri kelenteng Wenchang Ci untuk memuja Wenchang Dijun, seorang dewata yang juga memiliki ciri Buddhis lewat ceritanya, di Kapasan.
Pada abad ke-19 M ini, cerita-cerita Tionghoa bernapas Tao, Khonghucu dan Buddha juga mulai diterjemahkan di Surabaya menjadi ejaan lama ataupun menggunakan huruf-huruf Jawa.
Kebangkitan agama Khonghucu
Nama Tionghoa bagi Surabaya adalah Sishui yang merupakan nama sungai tempat asal Nabi Khonghucu di Qufu. Pada tahun 1880, penduduk Surabaya pertama kali yang memakai penanggalan Khongculik (Kongzili). Pada tahun 1889, Bintang Soerabaja mencetak kalender Kongzili 2438.
Pada tahun 1899, Wenchang Ci diubah menjadi Kuil Khonghucu resmi pertama di Asia Tenggara dan namanya menjadi Wen Miao (Boen Bio). Pemujaan Dewa Wenchang dipindah ke Fengde Xuan dan Wen Miao menjadi pusat penghormatan Nabi Khonghucu di Asia Tenggara. Pendirian ini diberitakan di berbagai negara dan menjadi mendunia. Kaisar Guangxu di Tiongkok bahkan memberikan sambutan. Wen Miao menjadi cikal bakal agama Khonghucu di Indonesia.
Baca juga: BDC Surabaya Gelar Dhamma Talk Selama Delapan Hari Berturut-turut
Agama Khonghucu di Surabaya memiliki hubungan yang menarik dengan organisasi Konfusian di Jepang. Manajerialnya didukung oleh orang-orang dari organisasi Guangfu Hui dan Tongmeng Hui. Ada pula Zhonghe Tang dan Siwen Hui.
Tokoh Khonghucu terkemuka yaitu Kang Youwei juga datang ke Wenmiao Surabaya pada tahun 1903 M mengobarkan semangat, demikian juga Zhang Binglin yang datang ke Surabaya pada tahun 1916 M. Menariknya, para pendiri dan penggerak Konfusian ini sangat tertarik dengan Buddhadharma, khususnya Yogacara sehingga filsafat Yogacara kembali marak di kalangan terpelajar Tionghoa.
Kebangkitan Buddhadharma dan Taoisme
Kebangkitan Buddhadharma di Surabaya salah satunya adalah karena jasa Upasaka Dhammakovida Pannasiri Go Eng Djan yang gaungnya sampai ke luar negeri. Pada tahun 1958, Bhante Ashin Jinarakkhitta (Tizheng Laoheshang) mendirikan Perbudhi dan Upasaka Go Eng Djan tergabung dalam Perbudhi Surabaya aktif menyebarkan Dharma lewat tulisan dan majalah Buddhis semenjak tahun 1958. Ia mendirikan vihara yang sekarang dikenal dengan nama Eka Dharma Loka dan bahkan menerbitkan buku tentang Sangharama Bodhisattva (Qielan Pusa/Guandi). Oen Tjhing Tiauw (1900-1981), salah satu tokoh Tionghoa saat itu juga turut menjadi pendukung Eka Dharma Loka.
Pada tahun 1884 juga lahir Chen Dexiu (Tan Tik Siu) di jalan Bunguran, Surabaya. Ia merupakan sedikit dari padri Tao yang dikenali di Indonesia. Karena jasa-jasa pengobatannya bahkan sampai di luar negeri, ia dianggap sebagai resi Tao (xian) sehingga bergelar Chen Dexiu Xian. Ia moksa pada tahun 1929 dan dipuja di beberapa kelenteng. Surabaya juga menjadi tempat asal penyebaran ajaran Tao aliran Xiaoyao yang sekarang menyebar ke seluruh Nusantara bahkan luar negeri.
Mayoritas kelenteng di seluruh Indonesia kembali mewujud dalam bentuk tempat ibadah Tridharma yang awalnya didirikan oleh Ong Kie Tjay yang berasal dari Surabaya pada tahun 1967.
Saat ini, dinamika ketiga agama menjadi semakin semarak. Agama Khonghucu tidak sekedar berpusat di Wenmiao Kapasan namun juga di Beiji Miao (Pak Kik Bio) di Jagalan. Agama Tao aliran Quanzhen Longmen juga mulai aktif di Xuantian Shangdi Miao di Kalisari. Belasan vihara Buddhis yang tergabung di Buddhayana, Theravada, maupun Mahayana terus bergeliat aktif.
Penulis, aktivis komunitas Chan Indonesia, dan co-founder dari Mindful Project
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara