• Saturday, 19 May 2018
  • Billy Setiadi
  • 0

Seiring perjalanannya selama ribuan tahun, perkembangan Buddhadharma mengalami pergolakan. Di era globalisasi serta pasar bebas ini, Buddhadharma juga tak luput menjadi sasaran kapitalisasi agama.

Agama sering disalahfungsikan atau dijadikan objek untuk memproduksi komoditi dan melahirkan profit yang bersifat akumulatif. Bahkan telah menjadi candu bagi sebagian besar manusia modern saat ini.

Jika umat buta karena hegemoni yang luar biasa di masa neolib ini, sama halnya juga yang terjadi di lingkungan keagamaan yang ‘buta’ pada realitas ketimpangan. Apakah hubungan antara Buddhadharma dan kapitalisme? Sepertinya jelas, tidak ada hubungan di antara keduanya. Buddhadharma adalah “jalan menuju nibbana”, sedangkan kapitalisme adalah “jalan duniawi”.

Santer terdengar di akhir bulan Mei akan berlangsungnya sebuah acara “ritual yang meriah” di sebuah ballroom mal, dengan mendatangkan bhikkhu dari luar negeri. Tentu ini menjadi komoditas yang sangat “empuk”. Konstruksi sosial yang muncul di masyarakat Indonesia tentang agama, lebih pada penggunaan atribut, simbol, atau ritual individual tertentu agar dipandang sebagai orang yang religius.

Selain itu, sebagian masyarakat Indonesia selalu memandang “yang serba luar negeri itu lebih keren”, yang dalam istilah sosiologi disebut Xenosentrisme (Xenocentrism). Kapitalisasi agama berjalan memanfaatkan pemaknaan agama yang tidak dilakukan secara substantif. Tentu penyelenggara acara ini sangat tahu betul karakteristik masyarakat Indonesia, atau lebih spesifik umat Buddha Indonesia.

Jika berefleksi dari perjalanan Sidharta menuju penerangan sempurna, ibadah sosial menjadi hal yang lebih penting dari ibadah individual. Ini terlihat dari cerita, pada saat Buddha melakukan perjalanan menuju Alavi untuk menemui orang miskin. Orang miskin tersebut juga berniat menemui Buddha untuk mendengarkan Dharma meski dalam keadaan menahan lapar yang amat sangat. Setelah si miskin itu bersujud, Buddha yang mengetahui kemudian memberikan bubur dan makanan lainnya kepada orang miskin tersebut.

Setelah selesai makan, ia mencuci mulutnya lalu duduk dengan tenang. Kemudian Buddha membabarkan Dharma, menjelaskan Empat Kesunyataan Mulia. Pada akhir khotbah, orang itu mencapai Tingkat Kesucian Pertama (Sotapana). Setelah selesai membabarkan Dharma, Buddha lalu membacakan Paritta pemberkahan dan segera meninggalkan desa itu. Cerita ini terdapat dalam Dhammapada, Sukha Vagga.

Masih banyak umat Buddha khususnya di desa-desa yang masih susah. Jangankan untuk melakukan ritual ibadah, memikirkan esok harus makan apa pun kadang tak bisa terjawab. Sangat jarang umat di kota yang mau memerhatikan kondisi komunitas Buddhis secara utuh. Menjadi umat Buddha harusnya bisa lebih bijak dan dewasa dalam melakukan kebajikan.

Billy Setiadi

Ketua HIKMAHBUDHI PC Malang 2016-2018

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *