• Friday, 18 May 2018
  • Victor A Liem
  • 0

“Di dalam Buddha, Dharma, dan Sangha

Aku pergi berlindung hingga tercapai pencerahan.

Melalui buah mempraktikkan kedermawaan dan kesempurnaan lainnya,

Semoga aku mencapai Kebuddhaaan demi kebahagiaan semua semua makhluk.”

Sudah banyak diceritakan dalam sejarah bahwa Atisha (982-1054) pernah berguru pada Serlingpa Dharmakirti atau Dharmakirti Suvarnadvipa di Nusantara, tepatnya di Sumatera pada era Sriwijaya. Atisha tinggal bersama Serlingpa pada tahun 1011 hingga 1023 M. Ajaran “Tujuh Poin Instruksi untuk Membangkitkan Bodhicitta”, dan juga “Menukar Diri Sendiri dengan Makhluk Lain (Exchanging Self and Others)”, merupakan dua di antaranya yang terkenal dan sangat memengaruhi perkembangan agama Buddha di Tibet.

Pada umur 45 tahun, Atisha Dipamkara Shri Jnana kembali ke India. Atisha belajar pada 157 guru-guru ternama di India sebelumnya. Ketika beliau mendengar nama Dharmakirti Suvarnadvipa, Atisha meneteskan air mata. Suatu ketika muridnya bertanya apakah Serlingpa adalah guru terdekatnya. Atisha menjawab, “Aku tidak membedakan guru-guruku. Namun demikian, karena kebaikan Guru Dharmakirti Suvarnadvipa aku mencapai kedamaian dan memahami inti dari ajaran bodhicitta.”

Kembali ke India, Atisha menjabat sebagai guru besar di Vikramashila, dan kemudian ajaran bodhicitta menyebar luas di pelosok India. Pada tahun 1042, pada waktu itu Atisha tepat berusia 60 tahun diundang oleh Raja Yeshe Od ke Tibet.

Atisha melakukan pembaharuan agama Buddha Vajrayana di Tibet dengan mendirikan Kadampa, yang belakangan direformasi menjadi Gelukpa oleh Lama Tsongkapa. Ajaran bodhicitta hingga sekarang menjadi bagian penting dalam praktik Vajrayana yang bukan hanya pada Gelukpa, tapi juga pada sekte Vajrayana lainnya seperti Nyingmapa, Kagyupa, dan juga Sakyapa.

Mengapa Atisha merasa perlu belajar di Nusantara?

Ada beberapa versi, seperti Atisha belajar ke Nusantara untuk mencari Serlingpa atas petunjuk dari Tara. Ada juga kisah, ketika Atisha yang sedang ziarah di stupa Bodhgaya. Ada percakapan antara wanita muda dan tua yang menarik perhatian Atisha. “Jalan apa yang mesti dipraktikkan untuk mencapai pencerahan?” wanita muda bertanya. Lalu wanita tua menjawab, “Latihlah pikiran dalam cinta kasih dan welas asih, dalam bodhicitta.” Dari berbagai versi, yang jelas semuanya menunjukkan bahwa Atisha secara khusus belajar tentang ajaran bodhicitta pada Serlingpa.

Ajaran bodhicitta merupakan ajaran yang umum di Mahayana, dan tentu saja guru-guru India lainnya juga mengajarkan ajaran ini. Lalu, mengapa Atisha mesti berguru pada Serlingpa?

Sebagian peneliti menyebutkan bahwa pada zaman itu ajaran Bodhicitta sudah langka di India, sehingga mesti belajar pada silsilah yang tepat, dan silsilah yang masih ada adalah dari Serlingpa. Atisha berguru pada Serlingpa di Sumatera agar suatu saat dapat membawanya kembali ajaran bodhicitta itu ke India.

Baca juga: Tapak Kaki di Bumi Tua Swarnadwipa

Namun ada juga yang berpandangan bahwa ajaran bodhicitta itu sudah ada di India sebelumnya, hanya saja Serlingpa punya pendekatan yang lebih “baru” pada zaman itu. Dagpo Rinpoche pernah menyebutkan bahwa Atisha mencari silsilah kunci ajaran bodhicitta. Di mana pun Atisha mencari di pelosok India, Atisha tidak menemukan sosok yang dimaksud hingga akhirnya menemukannya di Sumatera pada diri Serlingpa.

Istilah “baru” dalam tanda petik membawa arti bahwa ajaran bodhicitta itu sendiri sebenarnya bukan hal baru. Jauh sebelumnya Shantideva yang hidup sekitar abad ke-8 telah mengajarkan hal itu, dan hal itu nampak pada karyanya Bodhicaryavatara, sebuah risalah penuntun jalan Bodhisatva, yang menekankan pentingnya cinta kasih (maitri) dan welas asih (karuna).

Yang menarik dari ajaran Serlingpa adalah penggunaan bodhicitta sebagai metode untuk jalan pencerahan. Beberapa menyakini bahwa Serlingpa menemukan kembali esensi dari ajaran bodhicitta.


Lama Zopa Yeshe. Ist

Apa itu Bodhicitta?

Bodhicitta secara harafiah berarti pikiran yang tercerahkan. Dalam penjabarannya, bodhicitta merujuk pada keadaan mental yang penuh cinta kasih (maitri) dan welas asih (karuna) pada penderitaan semua mahkluk. Bodhicitta bukan sekadar cinta kasih dan welas asih tapi melibatkan tindakan dan komitmen agar dapat membebaskan semua makhluk dari penderitaan samsara.

Dalam Mahayana klasik, mahkluk yang memiliki aspirasi seperti ini disebut sebagai bodhisattva. Bodhisattva menunda mencapai Nirvana sebelum semua mahkluk terbebas dari samsara terlebih dahulu.

Ajaran Serlingpa yang memengaruhi agama Buddha Vajrayana di Tibet memiliki pendekatan yang agak berbeda. Ajaran ini justru meletakkan pentingnya metode bodhicitta, bukan sekadar aspirasi. Dengan berlatih bodhicitta, maka jalan pencerahan justru lebih cepat tercapai. Artinya bodhisattva yang hidup dalam dunia ini adalah juga mahkluk yang tercerahkan. Bodhisattva sudah bukan menunda mencapai pencerahan, tapi untuk mencapai pencerahan lebih cepat.

Sampai sekarang kita bisa menjumpai doa perlindungan dan pengembangan bodhicitta seperti dalam syair berikut:

“Di dalam Buddha, Dharma dan Sangha

Aku pergi berlindung hingga tercapai pencerahan.

Melalui buah mempraktikkan kedermawaan dan kesempurnaan lainnya,

Semoga aku mencapai Kebuddhaaan demi kebahagiaan semua semua makhluk.”

Lama Yeshe dalam suatu kesempatan pernah menjelaskan metode bodhicitta dengan mengatakan, “Tanpa bodhicitta, tidak akan berhasil, dan yang paling penting dipahami, meditasimu tidak berhasil dan realisasi tidak akan datang.” Jika seseorang bermeditasi tanpa bodhicitta, maka mudah sekali terjebak pada kemelekatan akan ego.

Mempelajari Dharma, berbuat baik, melakukan hal-hal lain, apabila masih saja dalam pola kemelekatan ego seperti ini, maka hal itu tidak akan membuat damai dan bahagia. Sesuatu yang nampak baik jika diiringi reaksi, “Aku, aku ingin, aku ingin lebih, lebih, dan lebih lagi,” maka pikiran akan selalu terganggu dan kacau. Keadaan tanpa bodhicitta seperti itu analoginya seperti membersihkan kotoran di suatu ruangan lalu mengotorinya lagi. Tanpa bodhicitta maka sangat sulit mengakumulasi kebajikan.


Dagpo Rinpoche. Ist

Dua prinsip utama

Dalam Vajrayana ada dua prinsip utama yaitu metode (upaya) dan kebijaksanaan (prajna). Metode disimbolkan sebagai vajra. Sedangkan kebijaksanaan disimbolkan sebagai genta (ghanta) atau bel. Metode secara umum disebut upaya kausalya, dan dalam Vajrayana sangat banyak variasi metode seperti ini.

Dari banyaknya metode, metode yang paling penting adalah bodhicitta, yang diarahkan pada welas asih yang aktif. Disebut aktif karena mengarahkan diri demi kebahagiaan semua mahkluk, dan yang dimaksud dengan kebijaksanaan adalah realisasi akan kekosongan (sunyata) yang menjadi sifat alami dari segala sesuatu. Metode dan Kebijaksanaan, atau Welas Asih dan Kebijaksanaan, keduanya saling berkaitan. Secara alami, jika dua prinsip utama itu dikembangkan, maka akan membawa pada pencerahan.

Baca juga: Latihan Belas Kasih, “Petunjuk Zen dalam Praktik Lojong”

Atisha secara khusus berguru pada Serlingpa untuk mempelajari ajaran bodhicitta yang menjadi hal esensi dalam praktik Vajrayana. Atisha dikenal sebagai figur penting dalam tradisi Buddha Tibet. Atisha juga menyempurnakan, mensistematisasi, dan menyusun pendekatan yang inovatif dan menyeluruh untuk bodhicitta yang dikenal sebagai “latihan pikiran” (Tib. Lojong). Sangat jelas dalam teks-teks seperti A Lamp for the Path to Enlightenment, Atisha menetapkan keunggulan bodhicitta pada tradisi Mahayana. Pendekatan Atisha akan metode bodhicitta seperti ini pernah tumbuh subur di Nusantara.

Kejayaan agama Buddha di Nusantara di masa lalu tidak mungkin jika tidak turut membentuk budaya dan cara berpikir masyarakat pada zaman itu. Dagpo Rinpoche yang sudah beberapa kali mengajar dan membimbing retret Lamrim di Indonesia menyebutkan bahwa budaya Nusantara yang terbuka dan penuh keramahan adalah peninggalan ajaran bodhicitta ini.

Victor Alexander Liem 

Pencinta kearifan Nusantara dan penulis buku Using No Way as Way.

Tinggal di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah. Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Victor A Liem

Penulis adalah pecinta kearifan Nusantara dan penulis buku "Using No Way as Way"
Tinggal di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah. Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *