“Semua aktivitas alam merupakan kualitas yang sempurna” ~Bhagavad Gita
Dalam sebuah falsafah Jawa ada ungkapan yang dalam yakni, “Kasampurnaning Urip”. Istilah ini barangkali sudah umum kita dengar, namun kedalaman maknanya sungguh akan membantu kita dalam menjalani hidup.
Ada ungkapan, “Yen siro wis nglakoni kasampurnaning urip, siro mesti ngerti kasampurnaning pati.” Artinya: Kalau engkau sudah mengerti kesempurnaan hidup, maka engkau mesti memahami kesempurnaan kematian.
Yang sering menjadi pertanyaan. Apa kaitannya kesempurnaan hidup dengan kesempurnaan kematian?
Pada umumnya orang memahami bahwa kesempurnaan itu kekal dan kematian itu tidak kekal. Akibatnya kesempurnaan hidup dianggap kontras atau berlawanan arti dengan kesempurnaan kematian. Antara hidup dan kematian, kekal dan tidak kekal, menjadi hal yang menggelisahkan dan membuat konflik yang membuat penderitaan yang berkepanjangan.
Ajaran tentang kesempurnaan hidup (Kasampurnaning Urip) bukanlah seperti itu. Ajaran ini justru memahami kesempurnaan yang juga mencakup ketidaksempurnaan.
Analogi yang sederhana adalah seperti gading. Gading itu sempurna, indah, dan berharga. Namun bukan berarti gading itu tidak retak. Karena memang seperti kata pepatah “tiada gading yang tak retak”.
Zaman modern ini tentu dengan mudahnya industri mampu membuat benda berbentuk gading bahan plastik yang sempurna tanpa retak (cacat). Namun itu tak alami dan karena tak alami maka tidaklah sempurna. Gading yang asli tetaplah jauh lebih berharga.
Demikian dengan hidup kita. Hidup ini tersusun oleh hukum alam yang sempurna. Dan apa yang terjadi karena adanya hukum alam juga sempurna adanya. Hidup kita itu sempurna dan indah adanya, seperti gading. Keindahan adalah sifat sejati.
Ketika hidup ini dirasakan atau dipersepsikan “tidak indah” itu karena ego kita yang melihat segala sesuatu hanya sebagian atau sepotong saja.
Sifat dari ego itu selalu pada pengakuan sebagian, yang melupakan keseluruhan yang sempurna. Seperti dalam memperoleh gading yang berharga, namun ego ini justru lebih banyak menghabiskan waktu dengan mempermasalahkan retaknya. Melihat keseluruhan hidup, maka selalu indah.
Cara kerja alam itu selalu sempurna. Sedangkan pencapaian manusia selalu tidak sempurna. Untuk merasakan kesempurnaan, manusia bukan menempuhnya dengan pencapaian tapi dengan penerimaan.
Leluhur Jawa sering berpesan, “Urip iku sadermo nglakoni”. Hidup itu sekadar menjalankannya. Orang yang memahami kesempurnaan hidup, maka orang itu akan bisa menjalani hidup dengan penuh ketulusan dan kesehariannya selalu penuh dengam ketenteraman dan kedamaian.
Victor Alexander Liem
Penulis adalah pecinta kearifan Nusantara dan penulis buku Using No Way as Way.
Tinggal di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah. Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara