• Friday, 6 November 2020
  • Surahman Ana
  • 0

Tradisi tingkeban merupakan ritual masyarakat Jawa yang diadakan oleh pasangan suami istri pada masa kehamilan istri. Tingkeban juga sering disebut dengan tradisi mitoni karena dilaksanakan ketika kehamilan memasuki usia ke tujuh bulan. Mitoni berasal dari kata dasar pitu (tujuh). Ritual ini hanya diadakan ketika istri mengandung anak pertama.

Tidak ketinggalan umat Buddha di pedesaan juga tetap mengadakan ritual mitoni, seperti halnya tingkeban yang diadakan oleh pasutri Sulis dan Solikah di Kampung Mranggen, Dusun Kandangan, Desa Tempuran, Kecamatan Kaloran, Temanggung pada Senin (2/11).

Acara digelar selama dua hari diawali dengan acara pembuka yaitu pujabhakti untuk ibu hamil dilanjutkan acara kendurian di malam hari dengan mengundang para sanak saudara serta para tetangga.

Mbah Ju selaku pawang ritual tingkeban menjelaskan bahwa inti dari ritual ini adalah sebagai wujud syukur sekaligus permohonan keselamatan bagi keluarga pasutri. “Intinya supaya selama hamil ini pasangan suami istri dan bayi dalam kandungan istri diberi kesehatan, keselamatan, serta kelancaran sampai lahirnya bayi dalam kandungan. Bebas dari segala bentuk gangguan dan halangan,” ungkapnya.

Menurut Mbah Ju, berbagai tahap ritual serta sesaji merupakan serangkaian acara simbolis yang tak lain adalah untuk berkah kebaikan bagi pasutri dan bayinya. Salah satu contoh sesaji wajib adalah labu kuning (waluh) atau bisa juga diganti dengan pepaya matang jika labu tidak tersedia.

Dalam tampilannya labu akan dimasak secara utuh bersama kulitnya kemudian dibumbui dengan parutan kelapa sebagai pelengkap rasa. Sifat buah labu yang lembek serta licin ketika sudah masak menjadi simbol harapan kelancaran serta kemudahan ketika istri melahirkan bayinya.

Selepas kendurian pasutri beserta pawang akan menuju sungai terdekat rumah untuk melakukan ritual mandi malam. Secara bersama pasutri akan dimandikan oleh pawang dengan dua macam air. Pertama adalah dengan air tawar kemudian dilanjutkan dengan air bunga.

Mandi malam menjadi simbol pembersihan diri baik secara fisik maupun batin, di sisi lain juga simbol pembersihan dari berbagai gangguan selama kehamilan baik gangguan dari dalam maupun dari luar, dari yang tampak maupun yang tak tampak (yang tak tampak dimaksudkan sebagai gangguan dari maklhuk-makhluk tak kasat mata).

Di sela-sela ritual mandi, pawang melakukan ritual kecil yaitu memasukan sebutir telur mentah melalui bagian atas kemben yang dikenakan istri hingga telur terjatuh ke lantai/tanah dan pecah. “Ini juga bermaksud supaya nanti ketika saatnya lahir bisa selancar telur yang saya masukkan dan akhirnya pecah di lantai. Pecahnya telur adalah seperti bayi yang sudah lepas dari kandungan sang ibu,” imbuh mbah Ju.

Riuh anak-anak yang berebut sesajian serta jajanan pasar di depan sungai menjadi penghibur pasutri yang masih kedinginan seusai ritual mandi.

Setiba di rumah pasutri akan melakukan ritual duduk bersama di depan tungku untuk menghangatkan badan. Sementara pawang akan memberikan makanan berupa nasi dan berbagai lauk untuk dimakan bersama oleh pasutri yang kemudian beberapa sanak saudara akan merebut makanan dalam wadah yang di pegang oleh pasutri (pada bagian ritual ini tidak dijelaskan secara rinci makna dan maksudnya).

Ritual berlanjut di hari selanjutnya, di saat pagi ketika matahari muncul. Pasutri akan membawa nasi dalam wadah kendil berbahan tanah dan berbagai lauk serta sayur ke perempatan atau pertigaan jalan besar terdekat. Beberapa tetangga terdekat serta anak-anak kecil akan dipanggil untuk mengikuti ritual ini. Nasi dalam kendil serta lauk dan sayur di tumpahkan dalam tatanan daun pisang sebagai perlengkapan kendurian pagi.

Sebelum kendurian dimulai, suami melakukan ritual memecahkan kendil yang telah kosong dengan cara dilempar ke atas kemudian dibiarkan jatuh dan pecah di tanah.

Pecahnya kendil adalah penutup dari rangkaian ritual tingkeb, “Konon jika kendilnya jatuh dan pecah dalam posisi tengkurap menandakan akan lahirnya anak laki-laki. Sebaliknya jika jatuhnya dalam posisi tengadah akan lahir seorang bayi perempuan. Itu bukan satu hal pasti dan kalau pun ada yang pas dengan posisi jatuhya kendil mungkin satu kebetulan, meskipun tidak sedikit yang kebetulan pas dengan posisi jatuhnya kendil,” pungkas Mbah Ju.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *