• Friday, 2 February 2024
  • Ngasiran
  • 0

Oleh: Sasanavirya Sugianto Sulaiman

Foto: Ngasiran

Tulisan ini di buat pada saat masyarakat keturunan Tionghoa sedang melaksanakan perayaan tradisi Tionghoa yang berupa naiknya Dewa Dapur (Zao Shen/Cao Kung Kang) ke langit untuk melapor kepada Dewa Langit (Kaisar Langit) yang bergelar Kaisar Kumala atau Giok Teh untuk melaporkan kegiatan keluarga-keluarga selama tahun kelinci air Masehi 2023. Sebagai masyarakat Tionghoa tradisi ini merupakan tradisi yang penting menjelang Imlek, karena sesuai kepercayaanya agar di tahun mendatang yaitu Naga Kayu keluarga tersebut memperoleh rejeki yang melimpah maka laporan Dewa Dapur kepada Kaisar Langit harus baik, sehingga rejekinya di tambahkan. Untuk mengakali hal tersebut orang Tionghoa secara tradisi bersembahyang kepada Dewa Dapur dengan sajenan berupa permen susu yang lengket dan manis yang bergambar kelinci, tebu yang manis atau kue lao hoa yang lengket dan manis, dan juga kue keranjang atau dodol cina yang terkenal lengket dan manis. Kenapa harus lengket dan manis? Lengket supaya mulut Dewa Dapur itu jangan banyak bicara dan manis agar ia lupa dengan laporanya, sehingga ia hanya melaporkan hal-hal yang baik kepada Kaisar langit seraya terus mengucapkan katan tien atau dalam bahasa mandarin berarti manis dan juga berarti tambah, maksudnya agar ditambahkan rejeki dan kebahagiaan keluarga tersebut.

Sewaktu Penulis kecil dulu atau masih bocah, maka upacara persembahyangan Dewa Dapur ini sangat menarik perhatian Penulis, karena anak-anak akan memakan sesajen yang manis-manis tersebut dan menyimpan permen-permen yang di jadikan sajenan. Sembahyangnya pun berlangsung di dapur dekat Altar Dewa Dapur yang biasanya di letakkan di bawah atau di samping tungku pemasak.

Sebagai seorang Buddhis, bagaimana kita memaknai tradisi di atas? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita harus memperhatikan kegiatan Umat Buddha menyambut perayaan Imlek yang akar budayanya berasal dari Tradisi Tionghoa. Sebagai Umat Buddha dan umat manusia adalah sangat lazim orang melaksanakan suatu tradisi atau ritual untuk memperoleh keselamatan, keberuntungan, kesehatan dan kebahagiaan. Orang-orang Tionghoa yang masih terikat pada tradisi biasanya melakukan pencucian rupang-rupang dewa di kelenteng-kelenteng pada para dewa naik ke langit, yaitu setelah selesai sembahyang Dewa Dapur. Tujuan upacara ini ialah agar membersihkan diri, membersihkan tempat, dan membersihkan alat-alat persembahyangan untuk menyambut Tahun Baru Imlek, yang untuk tahun mendatang ialah Tahun Naga Kayu untuk Imlek 2575. Secara Buddhis khususnya Mahayana, upacara ini dapat disesuaikan dengan pembersihan rupang dan pensucian, baik mulut kita, tubuh kita, penyucian tempat termasuk Rupang, Altar dan Vihara, serta pensucian hati, pikiran, ucapan dan perbuatan, sehingga di tahun baru nanti kita memperoleh berkah dari Sang Triratna.

Dalam Buddhisme filosofinya ialah agar kehidupan kita menjadi bahagia. Untuk menjadi bahagia maka Sang Buddha mengajarkan Cattari Ariya Saccani (4 Kesunyataan Mulia) agar kita dapat terlepas dari penderitaan dan mencapai kebahagiaan. Untuk menjadi bahagia maka kita harus dapat menerima semua kondisi yang merupakan buah karma kita. Kita tidak mungkin menolak untuk membuang air kecil jika kita meminum minuman, apalagi dalam jumlah yang banyak. Justru jika kita tidak bisa buang air kecil berarti ada sesuatu yang harus di periksa ke dokter. Mereka yang sakit ginjal harus menghabiskan uang yang sangat banyak agar bisa buang air kecil.

Dalam Dhammapada XV:200 diuraikan “ Sungguh bahagia hidup kita ini apabila sudah tidak terikat lagi oleh rasa ingin memiliki. Kita akan hidup dengan bahagia bagaikan dewa-dewa di alam yang cemerlang. ” keinginan untuk memiliki yang berlebihan memicu kita untuk melakukan berbagai kejahatan, termasuk perang yang merupakan puncak dari kejahatan itu sendiri. Perbuatan jahat yang keji membuat kita terbelenggu akan dosa-dosa, sehingga kita terperosok kepada kebodohan dan penderitaan. Ini yang kita kenal dengan 3 (tiga) dosa besar, yaitu Lobha, Dosa dan Moha.

Tradisi Tionghoa memang menawarkan solusi-solusi pintas seperti upacara keberangkatan dewa dapur ke langit, pemandian rupang dewa dewi di kelenteng, ada juga upacara penghapusan sial atau bencana, lalu ada lagi po un atau upacara menambah keberuntungan. Di negara-negara maju apalagi di Tiongkok, upacara-upacara semacam ini sudah hilang karena sudah tidak dipercaya lagi oleh orang-orang Tionghoa di sana. Anehnya upacara-upacara seperti ini masih laris manis di kota-kota besar di Indonesia. Pertanyaanya, boleh tidak kita melakukan upacara sepperti di atas? Tentu saja tidak ada yang melarang jika ingin mengikuti tradisi di atas. Tetapi menurut ajaran Sang Buddha, setiap perbuatan harus menggunakan IQ yaitu logika di bawah pembinaan Bofhidstva Manjusri, serta menggunakan hati dan perasaan yang berada di pembinaan Samantha Badra Bodhisatva.

Akhirnya, Penulis mengucapkan selamat Tahun Baru Imlek, Naga kayu 2575. Semoga dalam tahun Naga Kayu ini kita senantiasa di lindungi Sang Triratna dengan kebijaksanaan dalam semua pikiran dan ucapan kita, tindakan yang benar dalam kehidupan kita serta hati yang suci dalam persaudaraan sebangsa setanah air. Mudah-mudahan pilpres dan pileg berlangsung damai, negara aman dan sejahtera, pemerintah bertindak lurus, hujan turun tepat pada waktunya dan kita diberkati dengan kesehatan, kesejahteraan dan kebahagiaan.

Sadhu Sadhu Sadhu

UP Sasanavirya Sugianto Sulaiman

Institut Nagarjuna

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *