• Thursday, 19 April 2018
  • Andre Sam
  • 0

Sengaja ditambahi hohoho… boleh diartikan bercanda akrab, jangan nyinyir aja lu…, boleh juga diartikan sedang mendayu irama seperti orang-orang India ketika bersenandung, yang pasti bagi yang mau mbaca secara seriyes dengan dahi berkerut mempertanyakan dasar ilmiah, dasar sejarah, dasar kitab suci malahan, mendingan Sampeyan cari makan, istirahat yang cukup, dan jalan-jalan saja.

Lagi-lagi pakai Nusantara, akan ada dakwaan juga, apakah yang nulis ini pesenannya pemerintah? Wah, wah, wah, apalagi pakai terminologi umat Buddha Nusantara… Itu cuma penjudulan aja, dah selesai perkara ya mas, mbak…

Sekarang yang perlu kita obrolin adalah sarung, ya! Sarung bosku! Ada apa dengan sarung? Sejujurnya ya tidak ada masalah apa-apa antara sarung dengan saya, maupun Sampeyan.

Kenapa sarung?

Suatu kali, ketika di kampung waktu kecil, ada simbah-simbah hendak ke sungai, saya menyapanya kencang-kencang, “Mbah meh nang ndi?” dalam bahasa Indonesia, Mbah mau kemana?

“Crigis! Ngising!” jawab simbah-simbah itu, bahasa Indonesianya apa? Ya intinya simbah-simbah itu merasa tertangkap basah, beliau mengatakan pada saya, ndak usah cerewet, saya mau buang air besar, alias berak, tapi menjawab dengan muka dongkol.

Sejak saat itu, karena simbah-simbah memakai sarung ke sungai, dengan tujuan buang air besar, saya menangkap, kalau mau buang air besar itu memang enaknya pakai sarung, kenapa? Nyopotnya gampang, plotrok kemudian diuntel-untel, setelah selesai, diuntel-untel lagi cara pakainya.

Sarung untuk sembahyang

Dalam tradisi Islam di NU khususnya, ataupun dalam tradisi Hindu, di Bali maupun di Jawa. Ada pesan dari para orangtua kurang lebih begini bahasanya, “Le kalau sembahyang itu mbok ya pakai sarung to yo….” poinnya, jika melakukan sembahyang tidak mengenakan sarung, itu ibarat makan tanpa sambal.

Sah sembahyangnya, tapi ada rasa yang kurang, kurang sreg dan kurang marem! Marem itu apa yah, ya mantab gitulah. Ya ini kan rasa bro! Bukan soal dasar kitab sucinya apa.

Orang Jawa itu pakainya roso, ingat Mbah Maridjan, Rosa! Rosa! Rosa! Mungkin Mbah Maridjan penggemar Rosa penyanyi… (Atur salam Mbah, mugi panjenengan tentrem ing ngalam Gusti Pengeran, niki muk guyon kok Mbah) rosa beda dengan roso.

Baca juga: Membudayakan Agama

Rosa itu kekuatan, roso itu rasa, sebuah cipta yang ada di relung terdalam manusia. Kembali lagi ke poin nyaman tadi. Masa iya, antara sembahyang dan ke mall tidak ada bedanya? Lho kok?

Lha iyalah, hayo! Sembahyang pakai baju keseharian, masa ndak ada bedanya? Ya kan intinya kan sebenarnya di hati to? Ya Sampeyan juga bener… sembahyang itu memang urusan hati, itu aspek pertama.

Aspek kedua, manusia merupakan produk sebuah budaya masyarakat, dan sarung adalah salah satu produk budaya kita di Nusantara ini. Kalau kita terlampau kontemporer, akar tradisi budaya kita jadi lemah. Jika terlalu memegangi tradisi, kita kerepotan dalam menghadapi perubahan zaman.

Bagaimana dengan pendapat orang mengenai sarung?

Sasana Sena Hansen

Sarung dah dari dulu. Di negara-negara Buddhis lain seperti Myanmar dan Sri Lanka juga pakai sejenis sarung. Coba lihat di relief Borobudur. Pakai celana apa sarung ya?

Steven Sudjatmiko

Buddhis tidak mengatur baju umat awam yang mau datang mendengarkan khotbah Buddha. Makin lokal kok saya rasa makin bagus.

R Wahyudi

Ada guntingan kliping Kompas tentang sarung. Cuman sampai sekarang belum ketemu. Sarung salah satu pakaian ibadah sejak dulu.

Victor A Liem

Lha jubah bhante itu kan sarung juga.

Ngasiran

Nek aku sederhana, memakai sarung kalau sembhayang ki nyaman.

Bagaimana pendapat Sampeyan soal sarung untuk sembahyang bagi umat Buddha? Atau bagaimana jika Waisak tahun ini, umat Buddha disarankan menggunakan sarung, kamen, atau kain jarik, atau kain tenun sebagai busana sembahyang?

Disarankan lho ya… dianjurkan… bukan diwajibken… tar salah lagi kalau diwajibkan…. kan umat Buddha yang penting meditasi, ngebenerin perilaku, dan similikiti lainnya…

Andre Sam

Penggemar dangdut, seorang Vianisty tapi bukan pembenci Nella Lovers.

Mengurusi band yang sama sekali tidak ndangdut. Motto hidup, “Opo kowe kuat dadi aku?”

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *