“Ndatan len kira Siwa rupa Buddha, maka pati urip ikang trimandala, Sang Sangkan Paraning Sarat ganal alit hita ala ayu kojaring aji, utpett, stithi, linaning dadi kita kocanani paramartha Sogatha”
“Tiada lain Siwa yang berupa Buddha, berkuasa menghidupkan sekalian makhluk penghuni tiga alam semesta, manciptakan besar dan kecil, kasar dan halus, suka dan duka. Engkau yang mengadakan ajaran agama (Dharma), yang berdasarkan nilai-nilai kelahiran, kehidupan, dan akhirnya kematian. Jadi Engkau adalah penyebab tertinggi wahai Buddha”. (Prasasti Samuan Tiga)
Umumnya, Hari Raya Nyepi dikenal sebagai Hari Raya umat Hindu, apakah demikian?
Membicarakan tentang Hari Raya Nyepi tidak bisa jauh dari peran seorang guru dari Jawa bernama Mpu Kuturan, yang merupakan pemuka Siwa-Buddha. Lontar Calon Arang menyebutkan bahwa Mpu Kuturan berasal dari Jawa Timur, Girah. Ia merupakan pendeta Buddha.
Kala itu Bali sedang mengalami kekacauan dari berbagai segi, khususnya sosio-religi, sehingga raja Bali mengundangnya untuk membantu menyelesaikan masalah. Kesepakatan yang tercapai pada waktu itu menjadi keputusan pemerintah kerajaan, di mana ditetapkan bahwa semua aliran di Bali ditampung dalam satu wadah yang disebut “Siwa Buddha” sebagai persenyawaan Siwa dan Buddha.
Semenjak itu penganut Siwa Buddha harus mendirikan tiga buah bangunan suci (pura) untuk memuja Tuhan dalam perwujudannya yaitu Pura “Kahyangan Tiga” yang menjadi lambang persatuan umat Siwa Buddha.
Di Bali, salah satu nama Tuhan adalah Sang Hyang Mbang atau Yang Maha Sunyi yang dalam agama Buddha istilahnya Sunyata. Tahun baru di Bali dirayakan dengan sunyi (sunyata), atau Nyepi.
Sebagaimana dijumpai dalam setiap prasasti, senantiasa mencantumkan tahun Saka, bukan tahun Masehi, bukan tahun Hijriyah. Nyepi merupakan kearifan leluhur Nusantara. Konsep Sunyata, diwujudkan dalam bentuk penyambutan tahun baru, bagi orang Jawa Bali, khususnya, tahun baru leluhurnya adalah tahun baru Saka. Dan leluhur telah mengajari cara menyambut tahun baru dengan cara yang indah, yakni Nyepi. Bukan menyalakan kembang api, turun ke jalan-jalan, melainkan hening.
Hal-hal yang dilakukan ketika Nyepi adalah, Amati geni (tidak menyalakan api termasuk memasak); Amati karya (tidak bekerja), menyepikan indra; Amati lelungan (tidak bepergian), dan Amati lelanguan (tidak mencari hiburan).
Dilihat dari sejarahnya, Hari Raya Nyepi bukan saja milik orang Hindu, tetapi umat Buddha juga, dan milik manusia yang rindu dengan Keheningan Yang Maha Sempurna.
Rahajeng Rahine Nyepi 1938. Selamat Hari Raya Nyepi.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara