• Monday, 11 June 2018
  • Hendrick Tanu
  • 0

Dinasti Ming memunculkan banyak sekali novel legendaris seperti Perjalanan Ke Barat (Xiyou Ji) – kisah kera sakti Sun Wukong dan Kisah Para Dewa (Fengshen Yanyi) yang banyak sekali ditemukan lewat berbagai ilustrasi di kelenteng-kelenteng di Indonesia. Latar belakang kisahnya biasa ada di Tiongkok atau lokasi-lokasi yang hanya ada dalam legenda.

Hanya satu novel fiksi dari Ming yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu latar penting ceritanya, yaitu Sanbao taijian Xiyang ji tongsu yanyi 三寶太監西洋記通俗演義 yang mengisahkan prahara perjalanan pelayaran Zheng He. Ditulis pada tahun 1597 M oleh Luo Maodeng, pertama kali diterjemahkan ke bahasa Jawa dan Indonesia mulai tahun 1850-an.

Kenangan akan kedatangan Laksamana Zheng He ke Jawa dan pulau-pulau lain menjadikan novel Xiyang Ji banyak dibaca kala itu. Beberapa tempat Zheng He di Jawa juga barangkali dikaitkan dengan novel ini. Nama Sanbao 三寶 berikutnya banyak digunakan di Indonesia yang artinya bahwa Laksamana Zheng He adalah murid Triratna (三寶).

Seorang tokoh biksu Chan bernama Jin Bifeng (Kim Pek Hong) berperan besar dalam pelayaran Zheng He. Ia adalah guoshi (guru negara), dianggap sebagai titisan dari Buddha Dipamkara. Selain itu ada pula Zhang Tianshi, sesepuh agama Tao, yang juga turut andil. Keduanya didasarkan atas tokoh yang benar-benar ada di Tiongkok. Biksu Jin Bifeng digadang-gadang sebagai pembuat kapal armada Zheng He. Ia dan Zhang Tianshi menemani Zheng He dalam pelayarannya bak biksu Tang Xuanzang ditemani Sun Wukong dan murid lainnya.

Baca juga: Kunlun: Akar Tionghoa dan Nusantara

Dalam pelayarannya, novel itu mengisahkan bahwa Zheng He bertemu dengan banyak bodhisatwa dan dewata. Semua karakternya fantastis bak kisah Perjalanan ke Barat-nya Sun Wukong.

Suatu kali di Mogadishu ia mendapat bantuan dari Dewa Guan Yu (Guan Gong) menghadapi satu penyihir jahat Chanshi Feibo. Mereka juga mesti berhadapan dengan hewan fantastis berwujud sapi hitam dan putih yang didasarkan atas kisah 10 Kerbau dari lukisan ala Zen.

Di Pulau Jawa, Zheng He juga mesti berhadapan dengan tokoh dewi/ penyihir perempuan yang tinggal di sana seperti Wang Shengu yang menikah dengan orang Jawa, Huomu dan Lishan Laomu. Konflik ini kemudian diselesaikan dengan kehadiran Bodhisatwa Awalokiteswara dan Yuhuang Shangdi.

Kisah ini membuktikan bahwa antara Nusantara dan Tiongkok memang punya hubungan yang amat kuat. Dalam sebuah pujian kuno berbahasa Tionghoa bahkan ada dikatakan, “Awalokiteswara (Cihang Guanyin) banyak dihormati di Nan Yang (Asia Tenggara – Indonesia).”

Hendrick Tanuwidjaja

Penulis, aktivis komunitas Chan Indonesia, dan co-founder dari Mindful Project

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *