Tarian thousand hand Bodhisattva Avalokiteshvara yang dibawakan oleh 21 penari tuna rungu terlihat rapi, indah, dan kompak karena aba-aba yang diberikan oleh instruktur isyarat tangan mereka yang berada di sisi panggung.
Ada satu momen yang mengharukan di Jiang Jing Tang, Aula Jing Si, lantai 4 Tzu Chi Center, Jakarta Utara Sabtu dan Minggu 29-30 Juli 2017 malam. Selepas menampilkan tarian The Soul of a Peacock (Jiwa Sang Merak) para seniman yang tergabung dalam China Disabled People’s Performing Art Troupe (CDPPAT) menyanyikan sebuah lagu berjudul “We are the Word”. Mereka mengajak penonton untuk bernyanyi bersama sambil menyalakan lampu di telepon selular masing-masing, suasana berubah menjadi syahdu.
China Disabled People’s Performing Art Troupe adalah kelompok seniman difabel (berkebutuhan khusus) yang menampilkan My Dream dalam perayaan 10 tahun DAAI TV Indonesia. Dalam kesempatan tersebut mereka membawa 38 anggota dan mempertunjukkan kebolehan mereka dalam menari, menyanyi, dan menampilkan warisan budaya Tiongkok. Penampilan mereka juga diharapkan membuka pemahaman positif bagi kaum disabilitas di Indonesia.
Sambutan luar biasa untuk pertunjukan yang istimewa
Wang Jing, Vice President CDPPAT mengatakan bahwa sambutan penonton membuatnya serasa di rumah sendiri. Setelah mengaku terharu dengan sambutan para relawan Tzu Chi dan penonton yang hadir, ia mengatakan pagelaran ini tak akan menjadi apa-apa tanpa relawan Tzu Chi Indonesia dan penonton. Terlebih penonton bukan hanya hadir dari kalangan biasa, namun juga kaum difabel.
Kaum difabel yang hadir dalam perayaan ulang tahun DAAI TV bukan hanya datang dari Jakarta. Ada yang dari Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) Karanganyar, Solo dan sekitaran Jakarta. Ada Aryo (16) dari Banjarnegara, Jawa Tengah. Ada pula satu keluarga lengkap dan rombongan disabilitas. Bahkan tak sulit menemukan wajah-wajah disabilitas di antara penonton yang hadir.
Pertunjukan My Dream yang memukau tersebut dibantu oleh satu orang instruktur isyarat tangan yang berada di sisi kiri atau kanan panggung. Guru tari merekalah yang menginstruksikan gerakan-gerakan sesuai nada dan musik. Hal ini karena penari-penari CDPPAT tak dapat mendengar dan tak dapat bicara.
Kekompakan mereka mengundang decak kagum, haru, dan tepuk tangan keras diiringi raut wajah gembira penonton. Kostum penari dan tata cahaya serta gerakan tangan dan beberapa formasi gerakan tubuh membius para penonton yang hadir.
Selain berupa tarian, CDPPAT juga menyajikan penampilan alat-alat musik yang tak kalah memukau. Instrumen dan vokal latar dibunyikan di berbagai sudut sehingga menimbulkan kesan penonton sedang dikelilingi jeruji nada. Ketika membawakan alat musik instrumental bertema “Larut Malam”, 10 orang pemusik menggunakan guzheng, piano, cello, erhu, dizi (seruling), yangqin. Mereka paling peka terhadap musik, dengan alat musik di tangan mereka menyapa dunia yang tak pernah mereka lihat.
Para tunanetra tersebut juga seakan membentuk tembok yang sangat rapat. Sangat sulit melarikan diri dari pertunjukan mereka. Tanpa ragu pemain erhu bernyanyi dengan mengambil nada tinggi dengan suara khas Tiongkok dan kembali ke irama mendayu-dayu. Mereka juga membawakan satu lagu Indonesia berjudul “Indonesia Pusaka”, sontak saja tepuk tangan penonton turut membahana.
Tak salah kalau CDPPAT adalah salah satu kelompok pertunjukan seni terbaik dunia. Betapa mereka yang menghadiri pertunjukan ini datang karena cinta dan menjadikannya moment kebangkitan kaum disabilitas di Indonesia untuk terus maju menggapai cita-cita yang diharapkan.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara