Babi ngepet belakangan ini santer diperbincangkan. Warga Kampung Bedahan, Sawangan, Depok, akhir April lalu ramai menangkap seekor babi hitam yang diduga sebagai babi ngepet.
Beruntung, polisi berhasil membongkar kasus tersebut. Pelaku mengaku ingin terkenal. Nampaknya dia tidak menyadari akibat dari perbuatanya itu akan menggemparkan seluruh nusantara. Babi itu pun meregang nyawa karena fitnah yang sama sekali tak bertanggung jawab.
Mitos tentang babi ngepet yang merupakan jelmaan orang yang melakukan pesugihan sudah lama beredar. Sayangnya, hingga saat ini masyarakat kita masih mudah percaya dengan mitos ini. Memang sih, katanya Indonesia adalah negeri yang penuh dengan mitos. Salah satunya mitos babi ngepet.
Mitos ini sendiri muncul sebagai alasan atas kejadian-kejadian aneh yang tak terjawab kala itu. Misalnya kehilangan uang yang sering terjadi sehingga orang-orang mulai mempercayai adanya seorang manusia yang menjelma menjadi babi ngepet untuk mencuri uang-uang tersebut.
Sebagai sebuah bentuk pesugihan, manusia yang ingin kaya secara instan harus membayar pengorbanan yaitu dengan berubah menjadi seekor babi ngepet untuk sementara waktu.
Setelah berubah, si babi akan pergi ke perkampungan dan menggesek atau memepetkan badannya ke dinding, pintu, atau furnitur yang ada dan secara ajaib barang-barang berharga warga akan lenyap dibawa oleh si babi. Dalam aksinya, si babi dibantu oleh seorang asisten yang menjaga lilin agar tidak padam.
Dari sini terlihat adanya hubungan antara seekor babi dengan ritual pesugihan yang mendatangkan kekayaan. Konon katanya, babi hutan atau celeng sudah sejak dulu kala dianggap sebagai simbol kekayaan, keberuntungan dan kemakmuran pada masa kerajaan di nusantara.
Istilah ‘celengan’ sampai sekarang pun masih digunakan untuk merujuk sebuah wadah tabungan di rumah-rumah. Celengan bahkan terkenal sebagai ‘piggy bank’ dalam bahasa inggris yang lagi-lagi berbentuk seekor babi.
Sejarah
Menurut sejarah, wadah tabungan berbentuk babi pertama kali tercatat dibuat pada abad 12 Masehi di pulau Jawa. Arkeolog menemukan banyak sekali celengan berbentuk babi di sekitar Trowulan yang kemungkinan merupakan ibukota Kerajaan Majapahit kala itu.
Berbeda dengan itu, dalam agama Buddha babi menjadi simbol dari delusi atau kebodohan batin. Menurut ajaran Buddha, terdapat tiga racun yang menjadi akar kejahatan yaitu moha (delusi), raga (keserakahan, kemelekatan sensual), dan dvesha (kebencian). Tiga racun ini menyebabkan tanha (kemelekatan) dan penderitaan. Ketiga racun ini disimbolkan dengan ayam jantan (keserakahan), ular (kebencian), dan babi (delusi).
Kebodohan batin atau delusi merupakan kegagalan kita untuk melihat hal-hal sebagaimana adanya. Kita menjadi beranggapan tentang hal-hal yang ada sebagai sesuatu yang solid/pasti. Kita percaya bahwa kebahagiaan muncul dari obyek-obyek eksternal.
Kita cenderung mempercayai omongan orang tanpa memeriksa kebenarannya. Semua ini menjadikan kita hidup dalam suatu delusi. Menurut ajaran Buddha, delusi ini dapat diatasi dengan kebijaksanaan yang dapat dilatih dan dikembangkan dengan mempelajari Dhamma, melaksanakan sila dan bhavana. [MM]
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara