• Saturday, 3 April 2021
  • Sasanasena Hansen
  • 0

Seperti biasanya, umat Buddha terutama orang-orang Tionghoa, akan merayakan festival cheng beng atau qing ming yang berarti cerah dan terang. Saat cuaca cerah inilah masyarakat Tionghoa pergi ke makam keluarga untuk membersihkan makam, menenang dan menghormati mendiang orang tua atau leluhur yang telah meninggal. Oleh sebab itu pula, festival ini dikenal dengan nama festival ziarah kubur.

Meskipun awalnya festival cheng beng merupakan tradisi masyarakat Tionghoa, agama Buddha terutama Mahayana yang berkembang di Tiongkok turut mengadopsi perayaan ini bagi umat buddha disana.

Sebagaimana ajaran Buddha yang mengutamakan rasa bakti kepada orang tua, festival masyarakat Tionghoa ini turut dirayakan pula oleh umat Buddha Tionghoa dengan pemahaman yang sedikit berbeda.

Sutta Tirokudda

Disini, umat Buddha perlu memiliki pemahaman yang benar dalam menghormati dan mengenang orang tua atau leluhurnya yang telah meninggal. Salah satunya adalah dengan memberikan persembahan dengan tepat dan benar. Terdapat satu sutta menarik yang disampaikan oleh Buddha Gotama terkait persembahan dana kepada leluhur. Sutta Tirokudda namanya.

Dalam sutta ini, Buddha menjelaskan bagaimana persembahan dana yang diberikan kepada para bhikkhu dapat menjembatani jasa kebajikan yang dilakukan seseorang atas nama leluhurnya yang telah meninggal. Dengan kata lain, penting bagi seorang umat untuk memiliki empati dan melakukan pelimpahan jasa kepada para leluhurnya, agar para leluhur dapat memperoleh berkat dari pelimpahan jasa tersebut.

Sutta ini sendiri disampaikan oleh Buddha Gotama kepada Raja Bimbisara – yang merupakan sanak saudara 92 kalpa lalu dari para peta kelaparan. Ketika Raja Bimbisara melakukan jasa kebajikan, dia tidak melimpahkannya kepada leluhurnya sehingga para peta ini menjadi sedih, putus asa dan meratap. Setelah dijelaskan oleh Buddha, Raja Bimbisara pun mengundang Buddha dan para bhikkhu untuk menerima persembahan makanan.

Melihat hal itu, para peta berdiri di luar dinding dan dengan kesaktiannya, Buddha membuat para peta ini dapat terlihat oleh raja. Ketika memberikan dana air, raja mempersembahkannya sambil berkata, ‘Biarlah ini untuk sanak saudaraku!’ Pada saat itu juga kolam-kolam teratai bermunculan bagi para peta itu, penuh dengan teratai dan lili air berwarna biru.

Para peta mandi dan minum di dalam kolam-kolam itu. Dan karena kesedihan, keletihan dan kehausan mereka hilang, warna mereka pun berubah menjadi keemasan. Raja memberikan bubur-beras, makanan keras serta lunak, dan mempersembahkan semuanya.

Pada saat itu juga bubur-beras surgawi dan makanan-makanan keras serta lunak pun bermunculan. Ketika memakannya, kemampuan batin para peta menjadi segar. Raja kemudian memberikan pakaian dan tempat tinggal dan mempersembahkan semua itu. Maka pakaian dan istana-istana surgawi yang penuh dengan berbagai macam perabot dan tempat duduk dan kain penutupnya dan lain-lain muncul bagi para peta itu.

Segala kemuliaan mereka ini ditampakkan bagi raja karena Sang Buddha telah menetapkan bahwa memang seharusnya demikian. Ketika raja melihat hal ini, dia merasa amat bersukacita. Setelah selesai makan secukupnya, Sang Buddha menceritakan pada raja Bimbisara cerita Peta di Luar Dinding untuk menunjukkan penghargaan Beliau:

‘Mereka berdiri di luar dinding dan di persimpangan serta pertigaan-jalan; mereka pergi ke rumah mereka sendiri dan berdiri di tiang-tiang pintu. Walaupun makanan dan minuman yang melimpah – makanan yang keras dan lunak- disajikan, tak seorang pun mengingat makhluk-makhluk itu sebagai akibat dari perbuatan-perbuatan mereka.

Jadi mereka yang memiliki belas kasihan memberikan bagi sanak saudara mereka makanan serta minuman yang paling murni, yang pilihan, pada waktu yang tepat dan sesuai (sambil mengatakan), “Biarlah ini untuk sanak saudara kami! Semoga sanak saudara kami berbahagia!”

Dan sanak-saudara-peta yang telah berkumpul dan berkerumun di sana itu dengan penuh hormat akan menunjukkan penghargaan mereka untuk makanan dan minuman yang melimpah itu (sambil mengatakan), “Umur panjang bagi sanak saudara kami. Karena lewat merekalah kami telah memperoleh (semua ini), karena penghormatan telah diberikan kepada kami, dan mereka yang memberi tidaklah mungkin tanpa buah!”

Karena tidak ada pengolahan di sana, tidak juga dikenal di sini kegiatan beternak; tidak juga ada hal-hal seperti perdagangan dan jual-beli emas – para peta, mereka yang telah meninggal, berada di sana ditopang oleh apa yang diberikan dari sini.

Bagaikan air hujan dari dataran tinggi akan mengalir turun ke dataran rendah, demikian pula apa yang diberikan dari sini akan bermanfaat bagi para peta.

Bagaikan aliran-aliran air yang meluap akan memenuhi lautan, demikian pula apa yang diberikan dari sini akan bermanfaat bagi para peta.

“Dahulu dia memberi kepadaku, dahulu dia bekerja untukku, dahulu dia sanak saudara, sahabat dan teman bagiku” – (demikian) dengan mengingat apa yang dahulu mereka lakukan, orang seharusnya memberikan dana bagi para peta.

Tidak ada ratap-tangis, kesedihan dan kesusahan lain apapun yang dapat memberikan manfaat bagi para peta walaupun sanak saudara mereka tetap melakukan hal-hal itu.

Namun dana yang telah dilakukan dan dengan kokoh ditanamkan pada Sangha ini akan berbuah dengan segera, dan memberikan manfaat jangka panjang bagi mereka.

Nah, ini, tugas sanak saudara telah ditunjukkan dan penghormatan tertinggi telah diberikan kepada para peta; kekuatan telah diberikan kepada para bhikkhu dan tidak sia-sialah perbuatan berjasa yang dikejar olehmu.’

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *