• Wednesday, 21 August 2019
  • Adica Wirawan
  • 0

Sebelum menjadi Buddha, boleh dibilang, Pangeran Siddhartha hidup di dalam “impian” banyak orang. Ia bisa menjalani kehidupan dengan nyaman tanpa kesulitan yang berarti. Jika orang lain mesti bekerja keras siang-malam untuk mencari “sesuap nasi”, ia cukup duduk tenang di kediamannya. Semua jenis makanan yang enak-enak bisa langsung tersedia di meja, dan ia bisa menyantapnya kapan pun ingin.

Sewaktu orang-orang sibuk mencari perlindungan dari panas dan dingin, sudah ada tiga istana megah yang siap menaungi pangeran. Di istana itu, ia bisa tinggal lama, dilayani oleh berbagai macam hiburan, tarian, dan nyanyian. Pakaian? Semua lengkap dan kualitasnya bagus-bagus.

Singkat kata, semua kebutuhannya terpenuhi dengan baik, dan Pangeran Siddhartha menjalani hidup yang relatif mudah selama bertahun-tahun. Dengan ditemani istrinya, ia bisa menikmati kesenangan duniawi yang jarang sekali bisa didapat oleh orang-orang pada umumnya.

Namun, anehnya, semua kemewahan tadi kemudian ditinggalkannya. Setelah melihat empat peristiwa, yakni orang sakit, orang tua, orang mati, dan petapa, pandangannya terhadap dunia berubah. Matanya terbuka bahwa semua kemewahan yang dinikmatinya ternyata “semu”, dan suatu saat akan berlalu.

Pangeran sadar bahwa seperti orang lain, ia juga akan mengalami usia tua, sakit, dan mati. Ia tidak bisa mengelak dari “takdir” tersebut. Makanya, ia kemudian menjadi seorang petapa untuk mencari “obat” yang bisa mengatasi usia tua, sakit, dan mati.

Setelah berjuang merealisasi Kebuddhaan, Beliau akhirnya menemukan “obat” yang dicari-Nya. Namun, anehnya, meski tujuan-Nya sudah terwujud, Ia enggan kembali menjalani kehidupan perumahtangga. Kursi raja Kapilavasthu ditampik-Nya. Semua jenis kemewahan yang dulu diperoleh-Nya diabaikan-Nya. Beliau memilih menikmati hidup dalam kesederhanaan sebagai seorang samana.

Meskipun kemudian ada banyak raja, seperti Pasenadi dan Bimbisara, yang mendonasikan beragam jenis barang bagus, Buddha hanya menggunakannya secukupnya. Hidup-Nya tetap seimbang. Pakaian-Nya pun sangat sederhana, hanya terdiri atas beberapa potong jubah. Saking sederhananya, pernah Buddha mengenakan jubah dari potongan kain pembungkus mayat.

Setiap hari, Buddha menerima derma makan dari umat. Ada beragam jenis makanan yang diterima Buddha di dalam patta-Nya. Ada makanan yang rasanya manis, asin, dan asam. Namun, Buddha tidak pilih-pilih makanan. Makanan apa pun yang didermakan diterima-Nya dengan baik, dan Beliau tidak membedakan si penderma apakah ia orang berada ataukah orang susah.

Buddha juga cukup puas beristirahat di bawah pohon yang teduh, atau di dalam kuti yang sederhana. Jika dulu, sewaktu Beliau menjadi perumah tangga, ada istana yang bagus dan megah, yang siap melindunginya dari pengaruh cuaca, Buddha lebih memilih tinggal di tempat yang sangat sederhana dan jauh dari keramaian.

Pernah suatu ketika, Pangeran Hattaka dari Alavi datang mengunjungi Buddha. Pada saat itu, sedang berlangsung musim dingin, dan Pangeran Hattaka bertanya, apakah Buddha dapat tidur dengan nyenyak dalam suhu yang sedemikian dingin. Dengan mantap Buddha menjawab bahwa ia bisa tidur dengan nyenyak.

Di sisa hidup-Nya Buddha terus menjalani kehidupan yang sangat sederhana. Saat orang-orang sibuk mengumpulkan harta, Beliau puas hidup dengan sedikit materi. Meski begitu, dalam kondisi yang terbatas sekalipun, Buddha berkata bahwa Beliau adalah orang yang paling bahagia di dunia!

Gaya hidup minimalis

Gaya hidup yang dijalani Buddha 2600 tahun yang lalu sebetulnya mirip dengan gaya hidup minimalis yang sedang menjadi tren saat ini. Dari berbagai artikel yang bertebaran di internet, kita akan menemukan bahwa masyarakat sekarang tertarik menjalani hidup serba minimal. Ketertarikan itu bisa dilihat dari bermunculannya program gaya hidup minimalis, yang ditayangkan secara streaming di sejumlah situs.

Gaya hidup minimalis dilirik sebagai alternatif karena hal itu bisa “menyingkirkan” sebagian keruwetan hidup. Gaya hidup ini dinilai bisa “menetralisir” tekanan hidup yang umumnya menimpa masyarakat perkotaan. Hal itu tentu bukan sekadar “pepesan kosong”. Sudah ada orang yang menjalankan gaya hidup ini, dan menurutnya, hal itu menjadikan hidup jauh lebih tenang.

Satu di antaranya ialah aktor Chow Yun Fat. Chow Yun Fat adalah bintang film yang bersinar pada tahun 1980-1990-an. Ada begitu banyak judul film yang dibintanginya. Tak hanya film-film dalam negeri, ia juga sampai membintangi beberapa film mancanegara.

Dengan sederet ketenaran tadi, tentu mudah bagi Chow Yun Fat untuk menjalani gaya hidup yang serba wah. Ia bisa memiliki rumah yang lebih besar, memakai barang-barang “branded”, dan menikmati hidup ala sosialita yang sarat foya-foya. Namun, ia memutuskan tidak melakukan hal itu.

Chow Yun Fat lebih tertarik menjalani hidup sederhana. Meskipun punya uang berjibun di rekeningnya, ia hidup sangat hemat. Dalam sebuah wawancara, ia mengaku hanya menghabiskan uang sekitar 2 juta rupiah per bulan.

Chow Yun Fat juga tidak gengsi membeli dan memakai pakaian yang didapat secara diskonan. Model handphone-nya pun sangat “jadul”, hanya bisa dipakai untuk mengirim sms dan menelepon, dan handphone tadi tidak pernah digantinya selama bertahun-tahun.

Kalau pergi ke mana-mana, Chow Yun Fat sering menggunakan transportasi publik, seperti krl atau bis. Untuk soal makanan, ia juga tidak pilih-pilih. Meskipun aktor terkenal, ia tidak sungkan makan di kaki lima. Saat artis lain sibuk mengenakan beragam jenis perhiasan, hampir tidak ada perhiasan yang menempel di tubuhnya. Ia menghabiskan masa tuanya bersama istrinya dengan tenang di sebuah rumah sederhana.

Chow Yun Fat menjalani semua itu tentu bukan tanpa alasan. Semua itu dilakukan karena ia ingin mempersiapkan kematian dengan tenang. Ia berpikir, kelak, jika Sang Dewa Kematian datang, ia bisa menyambutnya dengan santai, dan meninggalkan dunia tanpa beban. Makanya, penting baginya menjalani hidup setenang mungkin dalam kesederhanaan.

Menerapkan gaya hidup minimalis, seperti yang diterapkan Chow Yun Fat, tentu berbeda dengan menjalani hidup susah. Gaya hidup ini boleh diartikan menjalani hidup secukupnya. Seseorang mungkin memiliki harta benda yang berlimpah, tetapi kalau ia memilih menjalani gaya hidup minimalis, semua harta tadi hanya akan dipakai sesuai dengan porsinya.

Kecuali para bhikkhu dan bhikkhuni, Buddha memang tidak mewajibkan umatnya untuk menjalani hidup minimalis. Semua berpulang pada masing-masing pihak. Meski begitu, Buddha sering menekankan pentingnya memanfaatkan kekayaan secara tepat.

Dalam sebuah Sutta, Buddha mewanti-wanti umatnya untuk menjauhi prostitusi, perjudian, konsumsi minuman keras, dan pergaulan buruk karena semua itu bisa “melubangi” kekayaan yang dimiliki seseorang. Jadi, biarpun punya harta berlimpah, untuk melestarikan kekayaannya, umat Buddha diharapkan menggunakannya secukupnya dan sewajarnya.

Salam.

Adica Wirawan

Seorang yang suka menulis

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *